Mohon tunggu...
Saroh Jarmin
Saroh Jarmin Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Tinggal di Kab. Lebak, Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Desas-desus Si Nambo

27 Maret 2018   08:58 Diperbarui: 27 Maret 2018   09:32 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lelah, kami naik kembali ke atas punggung Si Nambo, mengeringkan baju basah kami yang melekat di badan sambil saling bercerita atau bermain tebak-tebakan. Rasanya tidak ada satu hal pun yang bisa menggantikan rasa senang kami bisa bergembira di sepanjang waktu bersama Si Nambo di antara deru air sungai yang terus mengalir. Sampai suatu peristiwa merenggut kebahagiaan itu.

Samsul. Dia adalah biang kerok yang merusak kebahagiaan kami. Pemuda yang berusia 20 tahun anak bungsu dari Pangiwa Sumardi yang katanya seorang mahasiswa itu, tiba-tiba saja kesurupan. Tak tanggung-tanggung kesurupannya pun menjadi peristiwa rutin di setiap malam Jumat pada saat pengajian bapak-bapak di mushola berlangsung.

Samsul menjerit-jerit tak keruan dengan mata melotot. Ia meronta-ronta seperti ingin berlari. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Orang-orang pun segera datang ke rumahnya. Mereka mencoba membantu memulihkan kesadaran Samsul. Ada yang memegangi kedua tangan dan kakinya. Ada juga yang membacakan ayat-ayat suci dan mantra-mantra untuk menyadarkannya. Ada juga yang hanya sekadar menonton.

Satu dua kali Samsul kesurupan, reaksi orang-orang biasa saja. Samsul kesambet almarhum kakek buyutnya, katanya. Ketiga kali Samsul kesurupan, orang-orang mulai berdesas-desus, menduga-duga mengapa Samsul kesurupan lagi. Kali ini katanya dia kemasukan jurig di sungai, karena sore harinya Samsul sempat nguseup belut di sawah-sawah pinggir sungai. Setelah siuman Samsul bercerita bahwa ia dibawa oleh seorang raksasa hitam yang bertanduk dan bergigi taring yang selalu menyeringai dan membawanya ke sebuah tempat.

Di tempat yang seperti gua itu, kedua tangan dan kaki Samsul diikat dengan tali, mulutnya dibekap, dan ia disuruh menyampaikan pesan kepada orang-orang di kampungnya agar tidak mengganggu rumah sang raksasa. Sontak orang-orang bertanya di mana rumah raksasa itu. Secara mengejutkan, Samsul menjawab bahwa rumah raksasa itu adalah batu besar Si Nambo. Aku dan teman-temanku yang mendengar kabar itu hanya saling diam. Kami saling menatap tak percaya.

Otakku mencoba menyangkal semuanya. Tidak mungkin, pikirku. Selama ini Si Nambo baik-baik saja. Tidak pernah memperlihatkan keadaan yang mengerikan. Kami pun tak pernah memiliki niat jahat kepadanya. Tidak ada yang berniat mengganggu dan diganggu. Kami hanya bermain dan bercengkerama.

Tapi rupanya desas-desus Si Nambo sebagai rumah sang raksasa makin kuat. Pada saat Samsul mengalami kesurupan untuk yang keempat kalinya, kelima kalinya, dan seterusnya, ia menunjukkan amarah yang hebat. Matanya merah dan tajam menatap orang-orang yang mengelilinginya. Dalam ketidaksadarannya itu, Samsul memaki-maki bapaknya agar segera bertindak supaya tidak ada lagi orang-orang yang mengganggu rumah sang raksasa.

Sebagai seorang tokoh kampung dan mantan kepala desa yang masih sangat berpengaruh, harusnya Pangiwa Sumardi secepatnya melarang orang-orang untuk menjauhi batu Si Nambo. Pada kesurupannya yang terakhir, Samsul bahkan menunjuk-nunjuk bapaknya dan mengancam akan membunuh siapa saja yang masih berani mengganggu rumah sang raksasa.

Aku dan teman-temanku hanya bisa menarik napas ketika mendengarkan cerita kesurupan Samsul itu. Sampai akhirnya dalam sebuah kesempatan, aku dan teman-temanku yang biasa bermain di batu Si Nambo memutuskan untuk sementara waktu tidak ke sana dulu.

Desas-desus Si Nambo masih menjadi perbincangan hangat di kampungku, ketika bapakku memanggilku di suatu malam, seminggu menjelang ujian nasional.

"Anwar, Bapak mau menyampaikan sesuatu." Bapak memulai pembicaraan. Di tangannya sebatang rokok yang hampir habis terbakar mengepulkan asap. Aku duduk tertunduk. Jari-jariku menuliskan huruf-huruf tidak jelas di tikar alas tempat duduk kami. Ada cemas yang menyelinap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun