Kusibak tirai berdebu yang menutupi jendela kayu. Debu beterbangan, cahaya matahari menembus celah-celah ventilasi.
'Mama janji akan berusaha lebih keras lagi, Disa. Mama janji,' ucapku dalam hati.
***
Langit tampak sepi, bulan malu-malu untuk menampakkan cahayanya. Lampu-lampu jalan mulai memancarkan pendar kekuningan.
Mas Danu pulang dengan membawa raut wajah tak ramah, seolah jiwanya telah tertukar entah di mana. Sama sekali tak seperti lelaki yang mengikrarkan diri menjadi suamiku tujuh tahun lalu. Ia melepas sepatu penuh tanah dan meninggalkan tas jinjing yang biasa dibawanya setiap bekerja di dekat pintu.
Rasa penasaranku tak menemui jawaban, karena begitu kusuguhkan kopi hitam dengan asap mengepul, ia justru menggebrak meja, membuat gelas dengan kopi panas yang kusuguhkan meluncur bebas ke lantai. Hancur. Dengan tangan bergetar kupungut serpihan gelas kaca yang berserak.
"Kalau ada masalah, cerita sama aku, Mas. Disa baru tidur, aku takut dia bangun," lirihku.
Bukannya jawaban yang kudengar, ia justru kembali menggebrak meja berkali-kali. Aku bergegas menjauh begitu mendengar makian serapah keluar dari bibirnya. Sungguh, bukan mas Danu yang kukenal. Aku tak mengerti, hanya bergegas mengunci pintu kamar, membenamkan wajah dalam bantal dan menumpahkan segala sesak di dada.
***
"Mas mau kerja ke luar negeri. Kamu bawa Disa ke kampung!" titahnya suatu pagi setelah aku mengantar putri kami ke taman kanak-kanak.
Tanganku terulur untuk menggenggam tangannya, "kamu bisa cerita sama aku Mas, ada masalah apa?"