Mohon tunggu...
Mita Yulia H (Mita Yoo)
Mita Yulia H (Mita Yoo) Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Penulis fiksi, karya yang telah terbit antara lain KSB, R[a]indu, dan Semerah Cat Tumpah di Kanvasmu Bergabung dalam beberapa komunitas menulis dengan dua puluhan buku antologi cerpen dan puisi Lihat karya lainnya di Wattpad: @mita_yoo Dreame/Opinia/KBM/YouTube: Mita Yoo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggantang Asa di Bukit Peramun

30 September 2021   13:59 Diperbarui: 30 September 2021   14:08 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanganku mendorong pintu kayu bercat biru. Perlahan, bunyi berderit terdengar. Dinding rumah terbuat dari kayu dengan warna cat mulai memudar. Rumah ini peninggalan orang tua mas Danu, letaknya dekat bukit Peramun.

Aku menjinjing tas dengan sebelah tangan, sedang yang lainnya menggenggam tangan kecil itu. Perlahan kami melangkah masuk.

Pandanganku mengamati sekeliling. Cahaya matahari menembus dari celah atap berlubang. Sebuah kursi plastik menjadi pendamping meja kayu. Ada sebuah ceret dari tanah liat di atasnya. Bagaimanapun, inilah keadaan yang harus disyukuri.

"Ma ..., ini di mana? Disa takut Ma," kalimat dari gadis kecil di sampingku membuat pijakan kakiku limbung. Tangan kecilnya bergerak memeluk pinggangku.

Kulepas genggaman tangan darinya, membiarkan tas yang kujinjing menyentuh lantai. Aku menyamakan tinggi badan putriku, gadis kecil bermata bulat yang belum mengerti terjalnya perjalanan hidup yang harus kami lalui. Kubelai rambut hitam putriku.

"Disa, sekarang kita akan tinggal di sini, Sayang. Disa nggak keberatan, kan?"

"Memangnya Papa nggak ikut kita, Ma?" ia kembali bertanya.

"Papa 'kan lagi kerja, cari uang buat keperluan kita. Papa pulangnya masih lama, Sayang. Jadi, selagi nunggu papa pulang, kita tinggal di sini dulu. Disa nggak keberatan, 'kan?" kutarik bibir membentuk lengkung bulan sabit. Gadis kecil di depanku mengangguk.

"Makasih ya, Sayang ...!" ucapku.

Melihat binar mata gadis kecil di hadapanku membuat api dalam diriku menyala. Kurengkuh tubuh kecil gadisku sesaat sebelum menuntun langkah kecilnya ke ruangan dengan sekat papan tripleks, bilik yang akan menjadi kamar kami.

"Disa main boneka dulu, ya. Mama mau beres-beres," ucapanku dibalas anggukan putri kecilku.

Kusibak tirai berdebu yang menutupi jendela kayu. Debu beterbangan, cahaya matahari menembus celah-celah ventilasi.

'Mama janji akan berusaha lebih keras lagi, Disa. Mama janji,' ucapku dalam hati.

***

Langit tampak sepi, bulan malu-malu untuk menampakkan cahayanya. Lampu-lampu jalan mulai memancarkan pendar kekuningan.

Mas Danu pulang dengan membawa raut wajah tak ramah, seolah jiwanya telah tertukar entah di mana. Sama sekali tak seperti lelaki yang mengikrarkan diri menjadi suamiku tujuh tahun lalu. Ia melepas sepatu penuh tanah dan meninggalkan tas jinjing yang biasa dibawanya setiap bekerja di dekat pintu.

Rasa penasaranku tak menemui jawaban, karena begitu kusuguhkan kopi hitam dengan asap mengepul, ia justru menggebrak meja, membuat gelas dengan kopi panas yang kusuguhkan meluncur bebas ke lantai. Hancur. Dengan tangan bergetar kupungut serpihan gelas kaca yang berserak.

"Kalau ada masalah, cerita sama aku, Mas. Disa baru tidur, aku takut dia bangun," lirihku.

Bukannya jawaban yang kudengar, ia justru kembali menggebrak meja berkali-kali. Aku bergegas menjauh begitu mendengar makian serapah keluar dari bibirnya. Sungguh, bukan mas Danu yang kukenal. Aku tak mengerti, hanya bergegas mengunci pintu kamar, membenamkan wajah dalam bantal dan menumpahkan segala sesak di dada.

***

"Mas mau kerja ke luar negeri. Kamu bawa Disa ke kampung!" titahnya suatu pagi setelah aku mengantar putri kami ke taman kanak-kanak.

Tanganku terulur untuk menggenggam tangannya, "kamu bisa cerita sama aku Mas, ada masalah apa?"

"Aku difitnah di kantor, Dek. Aku nggak bisa jelasin sekarang, yang jelas kita butuh uang banyak buat melunasi utang. Kamu juga boleh ajukan cerai. Terserah kamu, aku nggak akan ngelarang Kamu," kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir mas Danu.

"Nggak Mas, aku nggak mau cerai. Tapi tolong cerita ke aku ada masalah apa?" pintaku.

Cerita mengalir dari bibirnya. Tentang seseorang yang berniat jahat pada kami. Rekan kerjanya memalsukan tanda tangan mas Danu untuk mencairkan pinjaman dana kantor untuk keperluan pribadi. Mas Danu tak mengerti apa pun, hingga akhirnya kantor meminta ganti rugi pada mas Danu karena utang karyawan begitu banyak.

Aku merengkuh wajahnya, mencari kebohongan lewat sorot matanya yang sama sekali tak menyembunyikan apa pun. Ia membawaku dalam dekap.

"Maaf, Mas bukan suami yang baik. Maaf, Dek. Maaf!" ucapnya.

Kalimat itu membuat pertahananku runtuh. Air mataku luruh.

Tuhan tak pernah salah, tak pernah menguji di luar batas kemampuan seorang hamba. Aku hanya harus tetap kembali bangkit ketika terjatuh. Dan masih ada harap untuk hidup lebih baik selama aku masih bernyawa.

#MY, 070621

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun