Tanganku mendorong pintu kayu bercat biru. Perlahan, bunyi berderit terdengar. Dinding rumah terbuat dari kayu dengan warna cat mulai memudar. Rumah ini peninggalan orang tua mas Danu, letaknya dekat bukit Peramun.
Aku menjinjing tas dengan sebelah tangan, sedang yang lainnya menggenggam tangan kecil itu. Perlahan kami melangkah masuk.
Pandanganku mengamati sekeliling. Cahaya matahari menembus dari celah atap berlubang. Sebuah kursi plastik menjadi pendamping meja kayu. Ada sebuah ceret dari tanah liat di atasnya. Bagaimanapun, inilah keadaan yang harus disyukuri.
"Ma ..., ini di mana? Disa takut Ma," kalimat dari gadis kecil di sampingku membuat pijakan kakiku limbung. Tangan kecilnya bergerak memeluk pinggangku.
Kulepas genggaman tangan darinya, membiarkan tas yang kujinjing menyentuh lantai. Aku menyamakan tinggi badan putriku, gadis kecil bermata bulat yang belum mengerti terjalnya perjalanan hidup yang harus kami lalui. Kubelai rambut hitam putriku.
"Disa, sekarang kita akan tinggal di sini, Sayang. Disa nggak keberatan, kan?"
"Memangnya Papa nggak ikut kita, Ma?" ia kembali bertanya.
"Papa 'kan lagi kerja, cari uang buat keperluan kita. Papa pulangnya masih lama, Sayang. Jadi, selagi nunggu papa pulang, kita tinggal di sini dulu. Disa nggak keberatan, 'kan?" kutarik bibir membentuk lengkung bulan sabit. Gadis kecil di depanku mengangguk.
"Makasih ya, Sayang ...!" ucapku.
Melihat binar mata gadis kecil di hadapanku membuat api dalam diriku menyala. Kurengkuh tubuh kecil gadisku sesaat sebelum menuntun langkah kecilnya ke ruangan dengan sekat papan tripleks, bilik yang akan menjadi kamar kami.
"Disa main boneka dulu, ya. Mama mau beres-beres," ucapanku dibalas anggukan putri kecilku.