"Iya ...," sahut istrinya.
Muhesan memiliki sepetak tanah di belakang rumah, ia membuat rumah plastik yang ditimbun pasir pantai. Tempat itu dibuat hangat sehingga memungkinkan untuk telur-telur menetas. Di sana Muhesan biasa menimbun telur-telur penyu yang ia beli dari pemburu telur. Beberapa berhasil menetas, sedangkan yang lainnya mati. Ia memilih cara itu karena menetaskan di pantai juga berisiko ditemukan pemburu telur.
Muhesan mengusaikan makan dan mengambil air wudu sebelum beranjak ke pembaringan. Ia menatap ke atap rumah, memandangi kayu-kayu yang menyokong tempat tinggalnya. Sebelum terlelap, ia merapal doa dalam hati, memuja Sang Pencipta dan memohon ampun atas segala alpa yang ia lakukan sepanjang usia.
***
Bunyi gemericik memenuhi pendengarannya. Muhesan terbangun karena suara hujan yang jatuh di seng rumahnya. Dilihatnya jam dinding, jarum panjang menunjuk pukul 11 sedangkan jarum pendek berada di pukul 4. Muhesan bergegas bangkit untuk membersihkan diri.
Tubuhnya sedikit menggigil ketika menyentuh air. Muhesan berharap tak lama kehangatan akan datang menyapa pagi.
Muhesan tersungkur, menyentuh tanah dengan keningnya dalam hening. Mengucap lirih setiap kalimat doa yang dihafalnya di luar kepala.
"Aamiin,"
Muhesan baru saja berdiri, melipat sajadah ketika suara anak sulungnya memekik bunyi gemericik.
"Ada apa, Kak?" Muhesan melihat wajah anak sulungnya basah, anak sungai mengalir dari kedua ujung matanya.
Muhesan melangkah ke ranjang, istrinya masih meringkuk di balik selimut. Ia duduk di tepi ranjang, menyentuh kening istrinya yang terasa hangat.