Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Bagaimana Aku Harus Memahamimu?

24 Desember 2019   15:49 Diperbarui: 24 Desember 2019   16:02 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kisah yang masih membekas di memoriku adalah sebuah kisah tentang Tuhan, bayi, dan ibu. Kisah ini terkenal, sering di putar dalam kegiatan motivasi tentang ibu, atau kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan peringatan hari ibu. Ceritanya seorang bayi akan lahir di bumi, sebelum lahir ia bertanya pada Tuhan.

"Tuhan, siapa yang akan menjagaku ketika di bumi? saya senang berada di sini, di sisiMu. Saya begitu bahagia."

Tuhan menjawab, "Di bumi ada seorang malaikat yang akan menjagamu di pagi, siang, hingga malam hari. Tidak akan membiarkanmu kelaparan dan kedinginan. Ia akan mendidikmu, mengajarimu berhitung, bernyanyi, membaca, menjadikanmu cerdas. Ia akan selalu mendukungmu, memotivasimu, mencintaimu lebih dari siapapun di muka bumi. Ia akan selalu mengingatmu meski kau pergi jauh untuk mewujudkan impian-impianmu. Ia akan selalu mendoakan untuk keberhasilanmu. Ia tidak akan mengharap apapun kecuali kau selalu dalam lindunganKu." 

Lalu bayi itu bertanya, "siapa malaikat itu Tuhan?" Tuhan menjawab, "kau akan memanggil malaikat itu dengan sebutan Ibu." Maka tatkala bayi itu lahir di muka bumi, wajah ibunyalah yang pertama ia kenal, suara lembut ibunya, lalu dengan mudah ia memanggilnya, "mama."

***

Ibu adalah seluruh perempuan di muka bumi. Ibu adalah profesi sepanjang hayat para wanita. Ibu adalah cita-citaku.

Ketika nama ibu disebut maka yang ada dalam memoriku adalah ibuku. Masih membekas di pikiranku bagaimana ibu harus menggendongku dan menggandeng kakakku, mengantar sekolah kakak di taman kanak-kanak yang berjarak sekitar 1 km dari rumah. Lalu ketika kakak sudah masuk sekolah dasar, gantian aku yang digandeng ibu. Aku senang sekali.

Ketika aku di sekolah dasar, aku senang bisa membaca dan menulis. Apalagi ibu membelikanku majalah bobo setiap satu minggu sekali, aku jadi suka membaca.

Tapi ketika pembagian rapot pernah ibuku bilang malu kepadaku karena aku mendapat peringkat sepuluh, sedangkan Mita, temanku yang rumahnya di belakang rumahku mendapat peringkat tiga. Aku telah merusak hari-hari ibu hari itu. Maafkan aku bu, ibu malu karena aku tak pandai.

Hari-hari berlalu, ketika usiaku tumbuh menjadi gadis remaja di sekolah menengah pertama, ibu mulai melarangku bergaul dengan lawan jenis. Ketika aku smsan dengan teman laki-laki, ibu menginterogasiku, "smsan sama siapa?". Dan aku menjawab dengan sebal, "bukan siapa-siapa!".

Suatu ketika aku kepergok ibu, diantar teman laki-laki pulang ke rumah, ibu semakin menginterogasiku. "Siapa laki-laki itu?" Aku menjawab, "teman."

Lalu ibu menasehatiku, "jangan terlalu dekat dengan laki-laki. Belajar yang rajin. Nanti kalau kamu pacaran kelewatan, hamil, perempuan yang menanggung resiko. Kamu akan menyesal." ibu menuduhku? ibu mengancam aku akan hamil? Apakah perbuatanku sudah terlalu buruk? Haruskah aku hanya berteman dengan yang sejenis denganku?

Demi menjaga pergaulanku, ketika aku SMA, ibu memasukkanku ke sebuah pondok. Ibu mengancam, jika aku tidak sekolah di pondok, ibu tidak akan menyekolahkanku. Baiklah, aku menuruti kata ibu.

Di pondok banyak hal yang mampu merubah hidupku. Aku tidak mengenal laki-laki. Hanya ustadz-ustadzku. Beberapa temanku memotong rambutnya seperti laki-laki. Aku terpengaruh. Aku pun ikut-ikutan memotong rambutku menjadi seperti laki-laki. 

Sebulan sekali aku pulang ke rumah. Ketika pulang ibu kaget melihat rambutku. "Kenapa kamu memotong rambutmu jadi seperti ini?" aku jawab, "supaya tidak gerah, bu." Ibu pun memaklumi.

Tiga tahun di Pondok, gara-gara rambutku seperti laki-laki, adek tingkat mulai menggangguku dengan mengirimiku surat. Macam orang pacaran, perempuan mengirim surat pada laki-laki.

Supaya tidak dibilang sombong, aku pun merespon surat-surat itu, seperti teman-temanku yang lain, mereka juga merespon surat dari adik tingkat. Kami menyebutnya kakak-adik. Hingga ada satu adik tingkatku yang begitu dekat denganku, dia bilang ngefans sekali denganku, dan berharap aku menjadi kakaknya. Namanya Kena.

Ketika di rumah, aku sibuk smsan dengan Kena, menggunakan HP ibu. Ia sering curhat apa saja padaku. Ibu mulai curiga. Dia pikir aku memiliki pacar. Ibu lalu bertanya siapa Kena. Aku menjawab, "Adik tingkatku yang ngefans sekali denganku." Aku kira ibu bakal bangga mendengar itu. Tidak! Ibu malah bilang aku lesbi. Menyukai sesama perempuan.

Oleh sebab itu, ibu menyuruhku menjauhi Kena. Aku pun berjanji pada ibu akan menjauhi Kena. Akhirnya aku menjauhi Kena. Aku lulus lalu masuk ke Perguruan Tinggi.

Di Perguruan Tinggi ketika pertama masuk kuliah, aku berkenalan dengan Reynando. Panggilannya Rey. Aku menyukai Rey, dan Rey pun menyukaiku. Aku dan Rey berpacaran.

Empat tahun aku berpacaran dengan Rey secara diam-diam, tanpa sepengetahuan ibu, karena aku tahu ibu akan marah jika tahu aku pacaran. Ibu hanya ingin aku belajar dengan baik, lulus dengan cumlaude, bahkan aku harus jadi mahasiswa terbaik di fakultasku.

Pada akhirnya aku lulus dengan cumlaude, meski bukan yang terbaik. Saat itulah Rey mulai menampakkan wajahnya di depan Ibu. Rey mau melamarku. Tentu saja aku bahagia. Tapi ibu?

Ibu menolak Rey karena aku belum bekerja. Ibu ingin aku mendapat pekerjaan yang mapan terlebih dahulu. Ibu tidak ingin melihat aku menjadi perempuan yang tidak memiliki jenjang karir, hanya suka minta pada suami. Aku menuruti perintah ibu untuk mencari kerja dan meminta Rey untuk menungguku. Aku sibuk mencari lowongan pekerjaan. 

Tapi tiba-tiba aku mendapat undangan pernikahan. Undangan dari Rey. Dia menikah dengan perempuan lain. Aku menangis, aku menyalahkan ibu, aku mendiamkan ibu, aku membenci ibu.

Tuhan, sekarang aku berkata jujur padamu, aku membenci malaikat yang kau kirimkan. Ibu selalu mengatur hidupku, aku benci ibu!

Waktu terus berlalu, kali ini ibu suka membanding-bandingkan aku dengan anak tetangga. Teman SD ku sekarang ada yang bekerja di Trans tv, ibuku iri mendengar ucapan tetangga yang diberi anaknya uang setiap bulan 1 juta.

Ibuku juga iri melihat anak tetangga lulus SMK pergi ke Malaysia. Ibuku iri anak tetangga sudah menikah dan memiliki anak. Ibuku mudah iri, dan aku hanya mendiamkannya saja.

Ketika aku bilang mendapat pekerjaan di luar jawa, ibu tampak gelisah. Dia bilang, "tidak rela jika anaknya pergi ke luar jawa." Ibu, apa maumu sebenarnya?

***

Seiring berjalannya waktu aku sadar, tidak mudah menjadi seorang ibu. Ibu selalu menginginkan hal-hal yang baik-baik tentang anaknya, seperti anaknya mendapat peringkat lebih baik dari tetangga, anaknya fokus belajar, anaknya tidak pacaran, anaknya memiliki karir yang baik, gaji yang baik, bisa memberi ibunya uang, bisa menabung untuk masa depan.

Tapi tidak setiap anak bisa mewujudkan mimpi-mimpi ibu. Anak hanya berusaha sebatas yang dia bisa, anak juga ingin melakukan yang dia suka, anak juga ingin mewujudkan mimpinya sendiri.

Maka akhirnya aku memiliki cita-cita untuk menjadi seorang ibu yang harus belajar setiap hari. Belajar memahami keinginan anak, belajar mencari dan mengembangkan potensi-potensi anak, belajar untuk tidak egois, belajar untuk tidak membatasi pergaulan anak, belajar untuk membiarkan anak memilih, belajar untuk membiarkan anak menyelesaikan permasalahannya.

Semua anak tidak sama. Jika ingin mendidik anak, bukan dengan kekangan, bukan dengan aturan klasik, bukan dengan penyalahan-penyalahan, bukan dengan tuduhan-tuduhan, bukan dengan celotehan-celotehan yang menjatuhkan.

Ketika anak berusia anak-anak, lihat potensi apa yang dia miliki, dan bantu dia untuk mengembangkan potensi-potensinya. Bantu dia untuk berani berkompetisi. Bantu dia untuk mencintai teman sebayanya dan tidak membeda-bedakannya. Biarkan dia bermain, dan melakukan hal-hal yang dia suka.

Ketika anak berusia remaja, maka ia mulai merasakan jatuh cinta, ingin mendapatkan penghargaan, ingin diakui, ingin diberi pujian, maka seorang ibu seharusnya tidak mengguruinya, tidak membatasi pergaulannya, tidak menakut-nakutinya, tidak menuduhnya sembarangan, tidak menginterogasinya. Tapi ibu bisa menjadi teman curhatnya, menjadi seorang yang nyaman untuk anak ajak bicara.

Ketika anak berusia dewasa, ijinkan dia menjalin relasi yang sehat dengan siapapun, jangan menjadi ibu sebagai momok yang menakutkan untuk anak, dukung dan beri motivasi saat anak sedang down, katakan hal-hal yang baik, bantu anak untuk tidak stress dengan kehidupan orang dewasa, bantu anak untuk melupakan kesalahan-kesalahannya.

Bantu anak untuk memahami bahwa takdir kehidupan setiap manusia itu berbeda, jangan membanding-bandingkan kehidupan kita dulu dengan kehidupan anak kita yang sekarang, bahkan jangan banding-bandingkan kehidupan orang lain yang tampak menyenangkan dengan kehidupan anak kita.

Ibu, sejak dini, bantu anakmu mencintaimu, bukan membencimu karena aturan-aturan yang kau terapkan tanpa kesepakatan kita berdua.

Selamat hari ibu untuk ibuku, dan untuk ibu sedunia.

Baca: Orangtua Harus Belajar Sepanjang Hayat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun