Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Istirahatlah Kata-kata", Ketakutan dan Kerinduan

28 November 2019   13:48 Diperbarui: 28 November 2019   14:06 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: rappler.com

Aku ora pengen kowe lungo, aku ora pengen kowe muleh, aku mung pengen kowe ono.

(Aku tidak ingin kamu pergi, aku juga tidak ingin kamu kembali, aku hanya ingin kamu ada).

Kalimat yang diucapkan Sipon (istri Widji Thukul) sebagai ending film "Istirahatlah Kata-Kata", dengan diiringi lagu "Bunga dan Tembok" oleh Fajar Merah (anak Widji Thukul dan Sipon).

Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh. Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki adanya.

Kau lebih suka membangun rumah, merampas tanah. Kau lebih suka, membangun jalan, membangun pagar besi. (Bunga dan Tembok, Puisi Widji Tukul yang dinyanyikan Fajar Merah).

***

twitter.com/FilmWijiThukul
twitter.com/FilmWijiThukul
Istirahatlah Kata-Kata merupakan film fiksi sejarah yang menceritakan kehidupan Widji Thukul ketika menjadi buronan aparat. Judul film "Istirahatlah Kata-Kata" diambil dari salah satu puisi Widji Thukul. 

Film ini diproduksi pada tahun 2017 yang diproduseri oleh Yosep Anggi Noen dan Yulia Ervina Bhara. Dibintangi oleh Gunawan Maryanto (sebagai Widji Thukul) dan Marissa Anita (sebagai Siti Dyah Sujirah atau biasa dipanggil Sipon). 

Dirilis secara terbatas pada 19 Januari 2017. Film ini mendapatkan penghargaan dari Festival Film Indonesia, Umar Ismail Award, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival.

Pada 27 November 2019, memperingati hari Hak Asasi Manusia Internasional pada 10 Desember 2019, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) mengadakan pemutaran film dan diskusi "Istirahatlah Kata-Kata" di Aula Fakultas FISIP. 

Pemutaran film dilakukan pukul 15.00 hingga 17.00, dilanjutkan sesi diskusi pukul 17.00 hingga 18.00. Sesi diskusi menghadirkan tiga pembicara yaitu Yulia Evina Bhara (Produser Istirahatlah Kata-Kata), Zaenal Muttaqien (dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia-IKOHI), dan Tommy Trimarsanto (sutradara film dokumenter).

Sinopsis Film Istirahatlah Kata-Kata dan Kehidupan Widji Thukul

Widji Thukul adalah seorang penulis puisi, ia menyuarakan hak asasi manusia melalui puisi-puisinya pada zaman orde baru. Ia bersama istrinya, Sipon dan dua anaknya Fitri Ngathi Wani dan Fajar Merah tinggal di kampung Kalangan, Solo. Sejak kecil Thukul (begitu ia disapa), hidup sangat sederhana, dilingkungan perkotaan ditengah kemiskinan. Ayahnya seorang tukang becak dan ibunya menjual ayam bumbu. Ia terpaksa tidak melanjutkan sekolah, demi dua adiknya bersekolah. Tetapi meski ia tidak bersekolah, ia hobbi membeli buku dan belajar sendiri.

Kehidupan yang tak punya apa-apa, rezim yang otoriter, lingkungan kumuh dan miskin, dan buronan aparat, dari situlah inspirasi karya-karyanya lahir. Demi menyelamatkan diri dari aparat, ia pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, meninggalkan anak-istrinya. Ia numpang di tempat Thomas, di Pontianak.

Dalam perjalanannya ia berpuisi di dalam hatinya,

Kuterima kabar dari kampung. Rumahku kalian geledah. Buku-bukuku kalian jarah. Tapi aku ucapkan banyak terimakasih, karena kalian telah memperkenalkan sendiri pada anak-anakku. Kalian telah mengajar anak-anakku. Membentuk kata penindasan. Sejak dini, ini tak diajarkan di sekolahan. Tapi rezim sekarang ini memperkenalkan pada kita semua. Setiap hari dimana-mana sambil nenteng senapan. Kekejaman kalian adalah bukti pelajaran yang tidak pernah ditulis.

Selama di Pontianak, Tukul mengganti identitasnya menjadi Paul. Tukul hidup dalam ketakutan. Hal ini diperlihatkan melalui adegan ketika lampu mati, seorang ibu menggendong anaknya yang menangis.

"Anaknya takut gelap ya bu?" tanya Paul alias Tukul.

"Iya, pak."

"Bapaknya kemana?"

"Tidak tahu tadi pergi kemana".

Sebuah penggambaran yang apik disajikan, ketakutan Tukul digambarkan melalui percakapan singkat itu. Kegelapan, itulah yang ia rasakan saat itu. Ia tak tahu harus berbuat apa. Teman-teman sesama penyair telah ditangkap. Ia bersembunyi dari para aparat yang setiap hari mengawasi dan menggeledah rumahnya.

Penggambaran film yang introvert dan diwarnai latar kegelapan ini terkadang juga ada hal-hal lucu yang penuh makna. Seperti percakapan Tukul dan Martin (orang Batak yang tinggal di Pontianak dengan istrinya), 

"Mengapa engkau sampai ke Pontianak?" tanya Paul alias Tukul.

"Ketika aku jadi buronan polisi aku datang ke sini." Kata Martin.

"Berarti kau sembunyi juga." Tanya Paul.

"Tidak, aku tidak sembunyi. Tapi aku lari." kata Martin.

"Apa bedanya?" tanya Paul.

"Jika kau sembunyi, kau tak kelihatan, tapi jika kau lari, kau masih kelihatan." Jawab Martin.

Keduanya tertawa.

Ketakutan itu digambarkan Tukul melalui puisi, ketika Martin bertanya, "Paul, mimpi apa kau semalam?" Paul hanya diam. Lalu Martin bertanya pada istrinya, "Ida, mimpi apa kau semalam?" Jawab Ida, "Aku mimpi membunuh."

Aku keluar lewat pintu belakang. Tapi saat pintu ku buka, di belakang rumah itu ternyata ada ratusan tentara. Lengkap berpakaian seragam dan senjata. Belum sempat aku menghilangkan rasa terkejutku, salah seorang diantara mereka mendorongku dengan senapan ditangannya. Aku terjatuh dan mereka memukuli aku beramai-ramai. Mereka menginjak-injak aku.

Adegan setelah puisi itu dibacakan adalah Thomas dan Martin yang sedang bermain bulu tangkis di ruang tertutup dengan suara bergemuruh seperti suara serdadu bersenjata.

Selanjutnya tentang kerinduan, kerinduan yang dirasakan Tukul. Kerinduan kepada istri dan anak-anaknya. Kerinduan untuk kembali ke Jawa, ke Solo. Ketika Sipon menyusulnya ke Pontianak, Sipon bertanya,

"Kau jadi pulang ke Solo?"

"Jadi."

"Jika jadi, jangan lewat depan, lewatlah belakang. Pak Lurah sedang nanggap dangdutan. Pasti banyak aparat di sana." Jelas Sipon.

"Orang-orang tidak pernah menanyakan tentang kamu, karena mereka takut dengan aparat." Lanjutnya.

Percakapan tersebut menggambarkan ketegangan-ketegangan yang terjadi saat itu. Lingkungan masyarakat yang ingin sekali mengetahui keberadaan Tukul, karena ia seorang pemain teater dan memiliki sanggar yang dinamakan Daerah Banjir. Tapi keingintahuan itu harus dipendam dalam-dalam lantaran takut dengan aparat.

Aku diburu pemerintahku sendiri, layaknya aku ini penderita penyakit berbahaya.

Penguasa yang lalim. Ketika mati tak ditangisi rakyatnya. Sungguh memilukan, kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan.

Ending dari film ini adalah, ketika Sipon dituduh oleh orang bahwa ia seorang pelacur. Lalu Sipon marah, mengamuk, dan menangis. Dari kaca jendela Tukul hanya mampu menatap istrinya. Tidak mampu berbuat apa-apa, karena ia buronan, yang jika kelihatan maka akan ditangkap. Sesampainya di kamar, Tukul memberi air minum untuk Sipon. Sipon mengatakan,

Aku tidak ingin kamu pergi, aku juga tidak ingin kamu kembali, aku hanya ingin kamu ada.

***

Catatan: Beberapa percakapan yang saya tulis adalah intisari dari percakapan dalam film tersebut, karena ada beberapa percakapan yang menggunakan bahasa jawa. tapi pada intinya itulah maksud percakapan itu.

Setelah melihat film itu yang saya rasakan adalah perih. Hingga sekarang Widji Thukul tak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal. Ia diduga diculik pada 27 Juli 1998. Tapi Widji Thukul tidak benar-benar hilang, puisi-puisinya masih relevan dengan kehidupan. Puisi-puisinya masih terus dibicarakan. Dan para aktivis Hak Asasi Manusia masih terus menyuarakan hak Widji Thukul untuk dikembalikan.  Seperti dalam puisinya "Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa".

Aku bukan artis pembuat berita, tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa. Puisiku bukan puisi, tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti. Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah, ditusuk-tusuk sepi. Ia tak mati-mati, telah ku bayar yang dia minta, umur-tenaga-luka. Kata-kata itu selalu menagih, padaku ia selalu berkata, kau masih hidup. Aku memang masih utuh dan kata-kata belum binasa.

Luka yang diderita oleh dua anak Widji Thukul, Wani dan Merah (begitu panggilan mereka), mengantarkan dua anak tersebut menjadi seorang seniman seperti bapaknya. Dalam MataNajwa: Penyeru Perlawanan pada 26 Agustus 2015, ketika mbak Najwa bertanya apakah Merah masih berharap pada pemerintah untuk menyelesaikan kasus bapaknya? Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah percaya dengan harapan, selama hari ini ia masih bernyanyi, besok, hingga seterusnya terus bernyanyi, maka ia yakin akan ada yang mendengar, entah kapan.

Widji Thukul menitipkan pesan sebuah puisi untuk Wani melalui pakleknya, Susilo Wahyu,

Wani, Bapakmu Harus Pergi

Wani, bapakmu harus pergi. Kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi, jawab saja: "karena bapakku orang berani." Kalau nanti ibu didatangi polisi lagi, menangislah sekuatmu, biar tetangga kanan kiri datang, dan mengira ada pencuri masuk rumah kita.

Wani dalam MataNajwa: Catatan Perlawanan pada 29 Maret 2017 mengatakan "Dulu waktu saya masih kecil saya menyesali kenapa bapak pergi. Kenapa ini harus dialami keluarga saya. Tapi sekarang, seiring berjalannya waktu, saya sudah ikhlas. Bapak adalah orang yang dipilih Tuhan untuk menjalani ini semua. Kata-katanya bisa menjadi sangat ditakuti penguasa."

Sejarah orde baru, kisah Widji Thukul, dan kisah orang hilang lainnya merupakan sejarah kelam di Indonesia yang sarat akan makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun