Judul: Sebuah Novel: Para Calon Presiden
Penulis: F. Rahardi
Kategori: Fiksi
ISBN13:9789792548181
Tanggal Terbit:8 November 2009
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Lamalera
Tebal: 391 hal
Baca juga Manusia dan Kerumitannya
"Ini negara mau hajatan Pemilu, ada-ada saja akal orang untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dan ulah mereka memang sudah keterlaluan. Kalau ada orang mengaku bisa melakukan penyembuhan, masih bisa dimaklumilah. Ini EO mengaku-ngaku telah mendatangkan Jesus Kristus, Isa Alaihissalam. Kelewatan bener lo ngibulnya. Tetapi orang-orang sekarang ini hobinya memang dikibulin mentah-mentah yah?"
Yang historis politis dan yang mesianistik, amat kentara dalam novel karya F. Rahardi ini, Para Calon Presiden. Rahardi di satu sisi bergumul dengan realitas aktual Indonesia, yakni hajatan politik pemilihan presiden (pilpres), tapi tidak jarang, lebih dari itu, novel ini menunjukkan apa yang telah dan sedang menjadi harapan dari hajatan politik itu, sebuah noumenon pilpres.
Dalam pelukisan karakter novel misalnya, F. Rahardi tidak hanya berhenti berkutat pada sejumlah tokoh pilpres seperti SBY atau JK, tetapi tak jarang menghadirkan tokoh-tokoh mesianis, seperti Jesus, Ratu Adil, yang de facto tidak jarang pula dijadikan sebagai komoditas politik yang handal di Indonesia.
Novel Para Calon Presiden merupakan sebuah karya sastra kritik, dan juga ajakan untuk merenungkan proses perhelatan politik Indonesia. Floribertus Rahardi mengkritisi fenomena kampanye yang terjadi pada era pra pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden tahun 2009.
Kurang lebih ada 38 partai yang ikut dalam pemilihan itu, hampir dua kali lipat dari peserta pemilu 2004 yang hanya 22 partai, meskipun masih kelihatan sedikit bila dibandingkan dengan pemilu 1955 yang diikuti oleh 172 partai (hal. 202). Rahardi mengupas dengan tegas bahwa kelemahan dari negara demokrasi adalah ketika masa dipelintir dengan politik identitas.
Politik identitas meminimalisir tujuan utama demokrasi; yakni kedaulatan tertinggi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu yang terjadi tahun 2009 dalam kacamata Novel Para Calon Presiden merupakan ajang untuk mengkambinghitamkan rakyat.
Masyarakat yang memiliki kedaulatan tinggi dalam memilih diombang-ambingkan oleh narasi-narasi kaum elit. Rakyat dipengaruhi dengan opini yang menggiring keambiguan dalam memilih pemimpin yang memiliki integritas dan kemampuan untuk menahkodai sebuah lembaga atau institusi, (dalam konteks ini Negara Indonsia).
Kaum elit memahami betul bahwa, cakrawala berpikir kaum kecil belum memadai, karenanya isu yang sangat sentimental dijadikan bahan sulutan amarah massa. Isu suku, agama, dan ras menjadi buah bibir di kala adanya konstelasi Pemilu. Berhubungan dengan isu SARA tersebut, lahirlah dua model pemilih: rasional dan emosional.
Pemilih rasional memilih para kontestan politik dengan memperhatikan rekam jejak dan kinerja dari seorang calon tersebut. Sedangkan pemilih emosional biasanya adalah pemilih yang memilih tanpa mempertimbangkan kinerja dari seorang tokoh yang mencalonkan diri tersebut. Biasanya pemilh emosional lebih dominan daripada pemilih rasional.
Pemilih emosional biasanya mengedepankan kesamaan-kesamaan dalam memilih calon pemimpin. Suku, Agama, Ras, dan Budaya menjadi unsur penting dalam memilih calon pemimpin.
Kesamaan menjadi gerbang untuk memilih, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek rasional dan pertimbangan publik. Bagi saya, hal inilah yang dikritisi oleh Rahardi yang mana tokoh-tokoh mesianis (tokoh keagamaan) dijadikan komoditas politik yang handal.
Pemilih rasional dalam novel ini diwakilkan oleh mereka yang tidak dipengaruhi oleh isu-isu SARA. Salah seorang tokoh liberal tersebut adalah kiai Murwito. Kiai Murwitob adalah seorang Kiai dari Bantul, Yogyakarta.
Dia memiliki pesantren kecil dengan Masjid yang kecil dan sederhana juga. Ia dipamdang sebagai tokoh panutan baik. Banyak orang mengenalnya dan kaum muslim memiliki kecintaan padanya. Dia baru berusia 48 tahun tetapi kiai-kiai sepuh menaruh hormat padanya.
Dia dihormati bukan karena hebat, melainkan karena dia sederhana dan baik hati. Kebaikannya ini membuat dia dikenal banyak orang dan memiliki masa atau pengikut (penggemar) yang banyak.
Kiai Murwito punya hubungan baik dengan siapa saja. Termasuk dengan mereka yang punya prinsip-prinsip hidup yang bertentangan dengan prinsip hidup yang ia yakini (bdk. 169-171).
Baca Juga Cerpen
Kiai Murwito juga dekat dengan Romo Mangun dan keduanya sering membahas tentang isu keagamaan.
Berikut ini adalah monolog Kiai Murwito,
"Maka, meskipun dicaci maki banyak orang, saya tetap saja berhubungan baik dengan Kanjeng Sultan. Dulu dengan Romo Mangun, dengan para mantan anggota PKI, dengan beberapa germo di Sarkem, juga dengan pak Suryo yang sering dibilang jenderal korup. Pak Kiai kok dekat-dekat dengan pak Suryo dia itu kan korup? Apa saya harus bergaul dengan KPK? Apanya dengan departemen agama dan dengan MUI? Lah di sana juga ada korupsi. Pak Kiai jangan dekat-dekat dengan Romo Sindhu lo, dia itu kan Kristen, orang kristen itu kalau mati akan di pentang, di kayu salib lho. Nanti pak Kiai ikut-ikutan kalau mati dibentang di kayu salib. orang sudah mati mau dipentang di kayu salib, di kayu segitiga, diceburkan ke laut, ya sudah tidak merasa apa-apa. Kalau masih hidup dibentang di kayu salib baru terasa sakit. Dulu dengan Romo Mangun saya sering sama-sama pusing melihat ulah umat. Umat saya bilang Nabi Isa tidak pernah disalib, baca coba Alquran yang disalib orang yang diserupakan dengan dia oleh Allah SWT" (hal.172-173).
Pernyatannya ini menunjukan bahwa dia adalah orang yang sangat liberal dan menjadi wakil pemilih rasional.
Sedangkan pemilih emosional dalam novel diwakilkan tokoh Suwito. Suwito adalah orang yang dekat dengan Pak SBY, sama bu Mega, sama pak JK dan banyak politikus lain yang dikenalnya (bdk. 77).
Dia memilih kedekatan dengan mereka karena mereka memiliki latar belakang agama yang sama dengan mereka. Kedekatannya juga disebabkan adanya keinginannya untuk diangkat menjadi tim sukses dengan iming-iming jabatan.
Ia berusaha menggunakan perhelatan politik ini sebagai jalan menuju popularitasnya. Untuk menarik hati para pengikut dari Suwito dan Kiai Murwito para politikus memberikan mereka uang.
Respon dari kedua pihak ini juga menunjukan kematangan mereka dalam memilih, yang satu menolak uang (gambaran pemilih rasional) dan yang satu menerima untuk disuap (pemilih emosional). Hal inilah yang menjadi kelemahan praktek politik Indonesia.
Rahardi dalam novelnya juga mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang didominasi oleh penduduk Muslim, dan tentunya menguasai politik Indonesia.
Agama Katolik dinilainya adalah agama yang terlalu taat pada kebijakan Vatikan. Kebijakan yang digariskan oleh Bapa Suci, menjadi acuan dalam menghadapi pemilu. Para imam, biarawan, rahib, dan terlebih uskup tidak boleh terlibat dalam politik praktis (Bdk. 38).
Para hierarkis Gereja hanya memberi petunjuk kepada umat agar bisa menggunakan hak pilih mereka dengan baik dan memilih pemimpin yang paling baik.
Pemuka gereja tidak boleh langsung memberi petunjuk kepada umat, pilihlah si A, bukan si B, atau si C, sebab dengan demikian dia telah berfugsi sebagai alat kampanye bagi calon yang bersangkutan. Demikian juga dengan tokoh atau pemimpin islam, salah satu tokoh yang disebutkan dalam novel ini adalah Kiai Murwito.
Kelemahan lain dari sebuah negara yang memiliki sistem demokrasi adalah adanya praktik-praktik kampanye hitam (black Campaign). F Rahardi menekankan bahwa agama-agama dan tokoh-tokoh Mesianis seperti Yesus Kristus dan Ratu adil, Nabi Muhamad menjadi sarana empuk untuk meraup suara dari masa-masa yang kental dengan nilai-nilai religius dalam masyrakat Indonesia.
Pemilih emosional inilah yang sering menjadi 'buronan' politikus sebagai motor untuk melaju menjadi pemimpin negeri. Tanggapan dari lembaga keagamaan di Indonesia menjadi arah yang cukup menentukan proses perpolitikan Indonesia. KWI, PGI dan MUI sama-sama memberikan arahan kepada jemaatnya untuk memilih secara rasional.
Sayangnya ada beberapa oknum dalam diri ketiga lembaga ini, masih menerapakan prinsip politik identitas (Bdk. 37-40). Tokoh-tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Hamengkubuwono IX, Prabowo dan Megawati menjadi tokoh sentral yang bermain dibalik tokoh-tokoh lain. Mereka tidak terlalu tampak dalam proses kampanye.
Novel ini sangat cocok untuk mengembangkan pemikiran masyrakat Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi. Benturan-benturan politik identitas bisa dikaji dengan baik dalam novel Para Calon Presiden ini.
Walaupun ini hanya novel, tapi kita bisa belajar untuk menjadi masyrakat demokratis yang menekankan kebaikan bersama (bonumm commune), dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H