Respon dari kedua pihak ini juga menunjukan kematangan mereka dalam memilih, yang satu menolak uang (gambaran pemilih rasional) dan yang satu menerima untuk disuap (pemilih emosional). Hal inilah yang menjadi kelemahan praktek politik Indonesia.
Rahardi dalam novelnya juga mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang didominasi oleh penduduk Muslim, dan tentunya menguasai politik Indonesia.
Agama Katolik dinilainya adalah agama yang terlalu taat pada kebijakan Vatikan. Kebijakan yang digariskan oleh Bapa Suci, menjadi acuan dalam menghadapi pemilu. Para imam, biarawan, rahib, dan terlebih uskup tidak boleh terlibat dalam politik praktis (Bdk. 38).
Para hierarkis Gereja hanya memberi petunjuk kepada umat agar bisa menggunakan hak pilih mereka dengan baik dan memilih pemimpin yang paling baik.
Pemuka gereja tidak boleh langsung memberi petunjuk kepada umat, pilihlah si A, bukan si B, atau si C, sebab dengan demikian dia telah berfugsi sebagai alat kampanye bagi calon yang bersangkutan. Demikian juga dengan tokoh atau pemimpin islam, salah satu tokoh yang disebutkan dalam novel ini adalah Kiai Murwito.
Kelemahan lain dari sebuah negara yang memiliki sistem demokrasi adalah adanya praktik-praktik kampanye hitam (black Campaign). F Rahardi menekankan bahwa agama-agama dan tokoh-tokoh Mesianis seperti Yesus Kristus dan Ratu adil, Nabi Muhamad menjadi sarana empuk untuk meraup suara dari masa-masa yang kental dengan nilai-nilai religius dalam masyrakat Indonesia.
Pemilih emosional inilah yang sering menjadi 'buronan' politikus sebagai motor untuk melaju menjadi pemimpin negeri. Tanggapan dari lembaga keagamaan di Indonesia menjadi arah yang cukup menentukan proses perpolitikan Indonesia. KWI, PGI dan MUI sama-sama memberikan arahan kepada jemaatnya untuk memilih secara rasional.
Sayangnya ada beberapa oknum dalam diri ketiga lembaga ini, masih menerapakan prinsip politik identitas (Bdk. 37-40). Tokoh-tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Hamengkubuwono IX, Prabowo dan Megawati menjadi tokoh sentral yang bermain dibalik tokoh-tokoh lain. Mereka tidak terlalu tampak dalam proses kampanye.
Novel ini sangat cocok untuk mengembangkan pemikiran masyrakat Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi. Benturan-benturan politik identitas bisa dikaji dengan baik dalam novel Para Calon Presiden ini.
Walaupun ini hanya novel, tapi kita bisa belajar untuk menjadi masyrakat demokratis yang menekankan kebaikan bersama (bonumm commune), dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H