Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review: Agama dalam Percaturan Politik, Belajar dari Novel "Para Calon Presiden"

5 Oktober 2021   19:15 Diperbarui: 5 Oktober 2021   21:22 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI SEMANGAT DALAM PERHELATAN POLITIK, foto dari internet, Dosenpendidikan.Com

Dalam pelukisan karakter novel misalnya, F. Rahardi tidak hanya berhenti berkutat pada sejumlah tokoh pilpres seperti SBY atau JK, tetapi tak jarang menghadirkan tokoh-tokoh mesianis, seperti Jesus, Ratu Adil, yang de facto tidak jarang pula dijadikan sebagai komoditas politik yang handal di Indonesia.

Novel Para Calon Presiden merupakan sebuah karya sastra kritik, dan juga ajakan untuk merenungkan proses perhelatan politik Indonesia. Floribertus Rahardi mengkritisi fenomena kampanye yang terjadi pada era pra pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden tahun 2009.

Kurang lebih ada 38 partai yang ikut dalam pemilihan itu, hampir dua kali lipat dari peserta pemilu 2004 yang hanya 22 partai, meskipun masih kelihatan sedikit bila dibandingkan dengan pemilu 1955 yang diikuti oleh 172 partai (hal. 202). Rahardi mengupas dengan tegas bahwa kelemahan dari negara demokrasi adalah ketika masa dipelintir dengan politik identitas.

Politik identitas meminimalisir tujuan utama demokrasi; yakni kedaulatan tertinggi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu yang terjadi tahun 2009 dalam kacamata Novel Para Calon Presiden merupakan ajang untuk mengkambinghitamkan rakyat.

Baca Juga Kisah tokoh Manusia

Masyarakat yang memiliki kedaulatan tinggi dalam memilih diombang-ambingkan oleh narasi-narasi kaum elit. Rakyat dipengaruhi dengan opini yang menggiring keambiguan dalam memilih pemimpin yang memiliki integritas dan kemampuan untuk menahkodai sebuah lembaga atau institusi, (dalam konteks ini Negara Indonsia).

Kaum elit memahami betul bahwa, cakrawala berpikir kaum kecil belum memadai, karenanya isu yang sangat sentimental dijadikan bahan sulutan amarah massa.  Isu suku, agama, dan ras menjadi buah bibir di kala adanya konstelasi Pemilu. Berhubungan dengan isu SARA tersebut, lahirlah dua model pemilih: rasional dan emosional.

Pemilih rasional memilih para kontestan politik dengan memperhatikan rekam jejak dan kinerja dari seorang calon tersebut. Sedangkan pemilih emosional biasanya adalah pemilih yang memilih tanpa mempertimbangkan kinerja dari seorang tokoh yang mencalonkan diri tersebut. Biasanya pemilh emosional lebih dominan daripada pemilih rasional.

Pemilih emosional biasanya mengedepankan kesamaan-kesamaan dalam memilih calon pemimpin. Suku, Agama, Ras, dan Budaya menjadi unsur penting dalam memilih calon pemimpin. 

Kesamaan menjadi gerbang untuk memilih, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek rasional dan pertimbangan publik. Bagi saya, hal inilah yang dikritisi oleh Rahardi yang mana tokoh-tokoh mesianis (tokoh keagamaan) dijadikan komoditas politik yang handal.

Pemilih rasional dalam novel ini diwakilkan oleh mereka yang tidak dipengaruhi oleh isu-isu SARA. Salah seorang tokoh liberal tersebut adalah kiai Murwito. Kiai Murwitob adalah seorang Kiai dari Bantul, Yogyakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun