Mohon tunggu...
Saragih alam
Saragih alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Disela-sela liburan

Telah memperoleh S-1 Filsafat di Fakultas Filsafat Santo Thomas Medan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hulahula adalah Debata Na Tarida, Mengapa Tulang Sangat Dihormati dalam Suku Batak Toba?

14 Maret 2022   10:31 Diperbarui: 14 Maret 2022   10:40 9819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Adat dan Budaya

Masyarakat Indonesia terdiri dari pelbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki tradisi dan budaya tersendiri. Masyarakat Batak Toba, memiliki tradisi yang terungkap dalam adatnya yang disebut Dalihan Na Tolu. 

Adat adalah falsafah dan tatanan hidup suatu bangsa. Kata "adat" berasal dari bahasa Arab. Dari kata "ada" yang berarti berbalik kembali, datang kembali. Adat pertama-tama merupakan kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus hingga memperoleh kekuatan hukumnya sendiri. 

Sejalan dengan pengertian itu, adat juga merupakan suatu lembaga tata tertib yang bersifat mewajibkan dan menentukan serta diyakini sebagai sumber kehidupan dan jalan menuju kesejahteraan. 

Adat berfungsi untuk mengatur segala aspek kehidupan dan menjadi rangkuman segala hukum. Dalam budaya Batak Toba, seseorang yang tidak bertingkah laku sesuai dengan adat disebut "na so maradat" (orang yang tidak taat pada adat) dan otomatis akan tersisihkan secara sosial.

2. Dalihan Na Tolu (DNT)

Selain menjadi norma, landasan identitas dan aturan hidup bersama, adat juga merupakan sistem religi. Adat datang dari debata (dewata) yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. 

Pelanggaran terhadap adat membawa kutukan ilahi. Besarnya hukuman tergantung pelanggaran terhadap adat. Sistem kekerabatan orang Batak Toba berakar pada marga. 

Bagi masyarakat Batak Toba,  Dalihan Na Tolu menempati posisi yang sentral dan menjadi pola utama dalam interaksi sosial, kekeluargaan dan struktur adat istiadat. 

Secara harafiah DNT berasal dari kata "dalihan" berarti "tungku", "na" artinya "yang" dan "tolu" artinya "tiga". 

Maka DNT berarti sebuah tungku yang terdiri dari tiga batu atau tiga tiang penyangga. Ketiga tiang penyangga ini menggambarkan tiga unsur penting dalam sistem kekerabatan Batak Toba, yakni hulahula, dongan tubu, dan boru.

Sistem kekerabatan itu didasari oleh dua hal, yaitu agnate (hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan), dan affinity (hubungan kekerabatan berdasarkan garis keturunan). Agnate menjadi dasar penentuan kelompok hulahula dan boru, sedangkan affinity menjadi dasar bagi penentuan kelompok dongan tubu.

Dalam kamus Batak Toba, hulahula adalah kelompok marga pemberi mempelai istri.   Dongan tubu adalah kawan sebuyut, semarga. Istilah ini memiliki makna yang sama dengan dongan sabutuha (semarga). 

Boru memiliki beberapa arti yakni putri, anak perempuan, wanita, anak perempuan dengan suaminya. Namun dalam konteks ini kata boru merujuk  kepada parboru (pemilik mempelai perempuan, yang mengawinkan, menerima mas kawin atau pihak pemberi istri).

Keharmonisan di antara hulahula, dongan tubu, dan boru terjalin dengan saling menjaga sikap antara yang satu dengan yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, hulahula harus dihormati (disomba). 

Berhadapan dengan sesama na mardongan tubu atau dongan samarga, perlu kehati-hatian (manat) agar tidak terjadi konflik dan perselisihan. Sedangkan sikap yang harus diperbuat terhadap boru adalah membujuk (elek).

Selain ketiga unsur utama DNT tersebut, masih terdapat satu unsur tambahan yakni sihalsihal. Sihalsihal bukanlah unsur yang wajib ada, tetapi dibutuhkan ketika tungku terlalu renggang atau jika salah satu batu tunggu terlalu pendek. 

Sihalsihal dibutuhkan untuk mengisi kekosongan serta turut ambil bagian mendukung pekerjaan bersama dalam adat. Kelompok yang termasuk ke dalam sihalsihal ialah dongan sahuta (satu kampung), raja adat dan ale-ale (famili).

3. Kestimewaan Hulahula

Secara konseptual, peranan hulahula, dongan tubu, dan boru adalah setara. Namun, dalam implementasinya hulahula memperoleh status yang lebih istimewa. Keistimewaan itu terlihat dari ungkapan hulahula sebagai debata na tarida. Pemikiran ini berimplikasi dalam kehidupan nyata. 

Dalam hidup sehari-hari, hulahula diperlakukan dengan sangat hormat oleh boru walaupun dalam situasi perselisihan. Status sosial hulahula yang rendah tidak pernah mengurangi sikap hormat boru terhadap hulahula. Boru selalu mengalah meskipun hulahula benar-benar salah. 

Selain itu, walaupun boru tau apa yang harus dilakukan, tetapi dengan rendah hati boru selalu meminta nasihat dari hulahula. Nasihat dan perintah yang diberikan oleh hulahula tersebut wajib dilaksanakan. Boru juga tidak pernah memperhitungkan segala pemberian, pelayanan, dan pertolongan yang diberikannya kepada hulahula. 

Dalam melaksanakan tugas sosialnya, boru tidak pernah merasa terhina. Justru ketika boru tidak dilibatkan dalam kegiatan hulahula, boru akan merasa tidak dihargai dan dikucilkan. 

Dengan demikian, sikap hormat dan pelayanan kepada hulahula tidak dianggap sebagai tindakan yang merendahkan derajat boru.

Debata yang dimaksudkan dalam ungkapan hulahula sebagai debata na tarida adalah Batara Guru. Artinya, hulahula dipahami sebagai perwujudan atau representasi dari Batara Guru. 

Melalui hulahula, masyarakat Batak Toba merasakan kehadiran nyata Batara Guru. Sebagai representasi Batara Guru, hulahula memiliki sahala yang lebih tinggi daripada dongan tubu ataupun boru. 

Dengan sahala tersebut hulahula dimampukan menjadi sarana penyaluran berkat debata. Melalui hulahula, debata mencurahkan berkatnya kepada boru.

4. Konsep Religi Batak Toba

Untuk membantu memahami ungkapan hulahula sebagai debata na tarida, maka pentinglah untuk memahami konsep religi Batak Toba. Mulajadi Nabolon merupakan paham ilahi tertinggi Batak Toba. 

Mulajadi Nabolon bersifat kekal dan tidak satupun ciptaan yang tidak berasal dari padanya. Ia menciptakan Debata Na Tolu (yakni Batara Guru, Soripada, Mangalabulan) sebagai perpanjangan tanggannya. 

Sebagai perpanjangan tanggannya, Mulajadi Nabolon menganugerahkan kuasanya kepada para debata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kuasa yang dimiliki oleh setiap debata ada dan berasal dari Mulajadi Nabolon.

Mulajadi Nabolon memiliki sifat yang berbeda dari para debata. Sama seperti manusia, para debata juga merupakan ciptaan sehingga mereka juga terikat dengan hukum kodrati. Misalnya, setiap debata kawin dan memiliki keturunan. 

Hal itu nyata dalam perkawinan Raja odap-odap (putra Mangalabulan) dengan Si Boru Deak Parujar (putri Batara Guru). Dengan perkawinan itu, Batara Guru menjadi hulahula dan Mangalabulan menjadi boru. 

Relasi inilah yang mendasari hubungan kekerabatan antara hulahula dan boru. Dengan demikian dapat dipahami bahwa relasi kekerabatan Batak Toba bersifat religius.

5. Hulahula Rapresentasi dari Batara Guru (debata na tarida)

Dalam mitologi penciptaan Batak Toba, Batara Guru memperoleh tugas dan kuasa sebagai pencipta, penyelenggara, pemelihara, dan sumber kebijaksanaan dan hukum. sebagai pencipta, Batara Guru menjadi sumber berkat dan kehidupan. 

Sedangkan sebagai penyelenggara dan pemelihara, Batara Guru menjadi sumber pengayoman. Karena hulahula merupakan rapresentasi Batara Guru, maka dalam diri hulahula juga terdapat kuasa yang dimiliki Batara Guru. Dengan demikian, hulahula menjadi sumber kehidupan, berkat, kebijaksanaan, dan pengayoman bagi boru.

Hulahula sebagai sumber kehidupan secara kongkret tampak ketika putri hulahula menikah dengan helanya (menantunya). Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan tersebut akan berfungsi sebagai penerus marga keluarga pihak boru. 

Tanpa peran hulahula keberadaan marga boru akan terhenti, karena perempuan (istri) yang melahirkan penerus marga boru berasal dan ada karena hulahula. 

Berkat hulahula sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup boru, karena berkat hulahula tersebut dapat mengubah nasib boru dari miskin menjadi kaya serta membuat boru terhindar dari bahaya sampai tujuh generasi. Hulahula sebagai debata na tarida juga terlihat dari kebijaksanaan yang dimiliki hulahula. 

Dikala terjadi perselisihan dalam keluarga boru, hulahula bertindak sebagai hakim yang adil dan bijaksana sehingga keputusannya adalah mutlak dan menjadi solusi. Hulahula sebagai debata na tarida juga sangat nampak dalam pengayomannya terhadap boru. 

Bila kehidupan boru tidak selaras dengan harapan, ada keinginan besar yang tidak terwujud, kematian sanak keluarga, kekurangan dana untuk berobat, mengalami bencana seperti kebakaran dan nasib sial, boru akan pergi kepada hulahula meminta pertolongan, berkat, dan pengayoman.

6. Penyaluran Berkat debata oleh Hulahula

Rahmat debata tersebut disalurkan melalui hulahula dengan perantaraan ulos, ulosulos atau ulos na so ra buruk, boras sipir ni tondi (beras) dan dengke (ikan). Benda-benda tersebut dianggap mampu menjadi sarana dan wujud dari rahmat Batara Guru tersebut.

Ulos merupakan lambang kasih sayang dan penyaluran berkat. Kehangatan dari ulos diyakini dapat memberi kehangatan kepada tubuh dan jiwa. Melalui banyaknya rambu pada ujung ulos termuat harapan dan berkat agar boru memperoleh banyak keturunan. Sedangkan panjang ulos mempunya arti agar boru memperoleh umur yang panjang.

Semua pemberian hulahula terhadap boru selain ulos dalam arti sebenarnya, disebut ulos-ulos atau ulos na so ra buruk (ulos yang tidak pernah tua). Ulos na so ra buruk dapat berupa sebidang sawah, sejumlah uang (ulos tonunan sadari [ulos yang selesai ditenun selama satu hari]), sepetak rumah, sebuah kendaraan, beberapa ekor binatang, dan lain-lain. 

Melalui benda-benda tersebut tersalur berkat debata. Dengan memberikan sebidang tanah, hulahula berharap agar debata memberkati boru sehingga tetap eksis dan mampu menghidupi dirinya.

Pemberian boras sipir ni tondi juga merupakan tanda pengungkapan kasih sayang dan simpati hulahula kepada boru serentak merupakan tanda syukur kepada debata atas segala karunia, perlindungan, bimbingan dan sukacita yang besar yang dianugerahkan olehnya. Boras sipir ni tondi tersebut serentak menjadi doa agar rumah tangga boru diberkati dan terhindar dari nasib buruk.

Dengke (ikan) adalah lambang kelimpahan, dan orang yang menyantapnya akan dikaruniai umur panjang dan hidup yang bahagia. Seperti halnya ikan Mas yang bertelur sangat banyak, boru diharapkan juga memiliki banyak keturunan. 

Melalui pemberian dengke tersebut debata mencurahkan berkatnya agar boru memiliki perilaku jujur dan murni, dilimpahi rezeki, harapan tercapai, umur yang panjang, kebahagiaan yang kekal dan keturunan yang banyak.

7. Persfektif Orang Batak Toba Dewasa ini

Untuk mengetahui apakah paham hulahula sebagai debata na tarida masih hidup di tengah-tengah masyarakat Batak Toba dewasa ini, maka penulis mengadakan wawancara terhadap sepuluh orang informan. Penulis memilih informan dari berbagai kategori dan domisili yang berbeda demi menjamin akurasi data.

Berdasarkan hasil wawancara, penulis mengamati bahwa paham tentang hulahula sebagai debata na tarida masih eksis di kalangan masyarakat Batak Toba. Hal itu nampak dalam perilaku orang batak Toba yang masih sungguh menghormati dan menghargai hulahula. 

Bahkan hidup menjadi seorang biarawati tidak menghalangi orang Batak Toba untuk menghormati hulahulanya. Namun, saat ini telah terjadi beberapa perubahan tradisi yang diakibatkan oleh cara pandang orang yang mulai kritis terhadap budaya.

Sebagian orang memandang perubahan ini sebagai kemunduran tetapi dipihak lain orang menanggapinya sebagai suatu penyempurnaan adat agar semakin sesuai dengan konteks dan keadaan orang Batak Toba dewasa ini. 

Somba marhulahula sejatinya masih diamalkan orang Batak Toba, walaupaun tidak persis seperti dahulu lagi tetapi nilai-nilai dan etika yang terdapat di dalamnya masih dijaga. 

Penghayatan dan pelaksanaan adat tersebut tidak dipengaruhi situasi, tempat, dan lingkungan tempat tinggal. Buktinya kendatipun orang Batak Toba sudah tinggal di kota dengan budaya yang beragam, orang Batak Toba tetap melestarikan dan menjaga tradisi serta adatnya.

7.1 Hulahula Sebagai Sumber Berkat, Pengayoman, Kebijaksanaan

Hulahula disebut sebagai debata na tarida karena merekalah sumber berkat bagi boru. Artinya hulahula senantiasa berdoa kepada Tuhan agar boru dan berenya memperoleh karunia yang berlimpah. Berkat tersebut tidak berasal dari hulahula tetapi diberikan oleh Tuhan melalui hulahula. 

Orang Batak Toba masih meyakini jika kita sungguh menghormati hulahula, maka keiinginan kita juga akan dikabulkan oleh Tuhan. Berkat hulahula itu tidak dapat langsung dirasakan, tetapi perlahan-lahan terwujud dalam kehidupan. 

Berkat itu juga tidak senantiasa berupa materi tetapi juga kedamaian keluarga, cita-cita anak-anak tercapai, kesehatan, keluarga yang akur sehingga menjadi teladan di masyarakat.

Pengayoman dan perlindungan hulahula khususnya bagi berenya masih sungguh dirasakan. Bere akan meminta doa dan restu hulahula atau tulang ketika ia hendak mengejar cita-citanya. 

Nasehat hulahula diyakini adalah baik sehingga nasihatnya masih sungguh dihargai dan dihormati boru. Akibat pola pikir yang makin matang, boru harus selektif terhadap nasihat hulahula yakni melaksanakan apa yang sungguh berguna, baik, dan membangun. 

Tidak salah juga jikalau boru datang kepada hulahulanya untuk meminta rahmat hagabeon, karena hulahula sebagai orang tua hanya berharap dan berdoa kepada Tuhan agar borunya memperoleh keturunan. Keturunan itu tidaklah berasal dari hulahula tetapi hulahula hanya berperan sebagai pengantara doa atau permohonan boru.

Agar berkat hulahula diperoleh, maka boru haruslah somba marhulahula. Orang yang tidak somba marhulahula akan memperoleh hal buruk. Boru tidak akan pernah merasa pamrih terhadap hulahula karena mereka meyakini bahwa boru akan memperoleh berkat yang lebih berlimpah. 

Hal itu nyata dalam pesta adat yang diselenggarakan boru. Keluarga pihak boru tidak akan pernah mengalami kerugian karena hulahula akan memberikan sumbangan yang besar (tumpak) kendatipun boru hanya memberikan sejumlah kecil uang (batu ni demban) kepada hulahula.

7.2 Adat Mulai Hilang

Dewasa ini nilai-nilai adat mulai hilang. Sudah banyak generasi muda yang tidak pernah mendengar bahwa hulahula disebut sebagai debata na tarida. Banyak orang tidak sungguh memahami lagi apa semangat dan nilai dibalik somba marhulahula. 

Karena ketidaktahuan tersebut, adat hanya dilaksanakan berdasarkan formalitas, sehingga seiring berjalannya waktu adat tidak lagi dianggap penting. 

Konsekuensinya orang tua tidak mengajarkan dan mewariskan lagi adat tersebut kepada keturunannya. Minat orang untuk mencari dan memperdalam adat cukup rendah. 

Selain itu ada juga agama tertentu yang melarang penganutnya untuk menghidupi adat. Padahal agama dan adat tidak lah bertentangan tetapi integral. Iman tidak selayaknya terpisah dari kehidupan, bahkan harus mengakar di dalamnya. 

Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya, bila dicermati, disaring, dan diperbaharui dengan terang Injil dapat menjadi ungkapan otentik dan perwujudan nyata dari nilai iman kristiani.

8. Masukan dan Harapan

Diharapkan agar para imam yang berkarya di daerah Batak Toba sungguh memahami adat dengan baik yakni mampu menempatkan diri ketika berhadapan dengan hulahula, dongan tubu dan boru serta harus memahami relasi yang terdapat dalam ketiga unsur tersebut, sehingga iman dapat dibumikan dan diterima. Warta Gereja terus menerus menjernihkan dan mengangkat adat Batak Toba. 

Dengannya kita dapat membuka dunia orang Batak Toba kepada nilai-nilai kristiani, dimana diwujudkan cinta persaudaraan sejati melampaui batas-batas hubungan darah dan kekeluargaan. 

Jika hal itu terjadi maka gereja akan sungguh menjadi garam dan terang dalam masyarakat Batak Toba. Hal itu sesuai dengan, agama mentransformasi budaya dan budaya mewujudkan nilai-nilai agama.

Agar tradisi tersebut tetap eksis, penting untuk melakukan pendekatan serta memperkenalkan budaya kepada masyarakat Batak Toba khususnya generasi muda sehingga mereka semakin memahami dan bahkan mendalami nilai-nilai yang terdapat dalam budaya tersebut. 

Perlu juga digalakkan kembali cinta terhadap budaya dalam diri generasi muda. Salah satu caranya ialah memperkenalkan adat sedini mungkin kepada anak, baik di sekolah, di rumah dan di tengah-tengah masyarakat. Memasukkan kembali pelajaran tentang budaya ke dalam salah satu mata pelajaran merupakan langkah yang sangat tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun