Rahmat debata tersebut disalurkan melalui hulahula dengan perantaraan ulos, ulosulos atau ulos na so ra buruk, boras sipir ni tondi (beras) dan dengke (ikan). Benda-benda tersebut dianggap mampu menjadi sarana dan wujud dari rahmat Batara Guru tersebut.
Ulos merupakan lambang kasih sayang dan penyaluran berkat. Kehangatan dari ulos diyakini dapat memberi kehangatan kepada tubuh dan jiwa. Melalui banyaknya rambu pada ujung ulos termuat harapan dan berkat agar boru memperoleh banyak keturunan. Sedangkan panjang ulos mempunya arti agar boru memperoleh umur yang panjang.
Semua pemberian hulahula terhadap boru selain ulos dalam arti sebenarnya, disebut ulos-ulos atau ulos na so ra buruk (ulos yang tidak pernah tua). Ulos na so ra buruk dapat berupa sebidang sawah, sejumlah uang (ulos tonunan sadari [ulos yang selesai ditenun selama satu hari]), sepetak rumah, sebuah kendaraan, beberapa ekor binatang, dan lain-lain.Â
Melalui benda-benda tersebut tersalur berkat debata. Dengan memberikan sebidang tanah, hulahula berharap agar debata memberkati boru sehingga tetap eksis dan mampu menghidupi dirinya.
Pemberian boras sipir ni tondi juga merupakan tanda pengungkapan kasih sayang dan simpati hulahula kepada boru serentak merupakan tanda syukur kepada debata atas segala karunia, perlindungan, bimbingan dan sukacita yang besar yang dianugerahkan olehnya. Boras sipir ni tondi tersebut serentak menjadi doa agar rumah tangga boru diberkati dan terhindar dari nasib buruk.
Dengke (ikan) adalah lambang kelimpahan, dan orang yang menyantapnya akan dikaruniai umur panjang dan hidup yang bahagia. Seperti halnya ikan Mas yang bertelur sangat banyak, boru diharapkan juga memiliki banyak keturunan.Â
Melalui pemberian dengke tersebut debata mencurahkan berkatnya agar boru memiliki perilaku jujur dan murni, dilimpahi rezeki, harapan tercapai, umur yang panjang, kebahagiaan yang kekal dan keturunan yang banyak.
7. Persfektif Orang Batak Toba Dewasa ini
Untuk mengetahui apakah paham hulahula sebagai debata na tarida masih hidup di tengah-tengah masyarakat Batak Toba dewasa ini, maka penulis mengadakan wawancara terhadap sepuluh orang informan. Penulis memilih informan dari berbagai kategori dan domisili yang berbeda demi menjamin akurasi data.
Berdasarkan hasil wawancara, penulis mengamati bahwa paham tentang hulahula sebagai debata na tarida masih eksis di kalangan masyarakat Batak Toba. Hal itu nampak dalam perilaku orang batak Toba yang masih sungguh menghormati dan menghargai hulahula.Â
Bahkan hidup menjadi seorang biarawati tidak menghalangi orang Batak Toba untuk menghormati hulahulanya. Namun, saat ini telah terjadi beberapa perubahan tradisi yang diakibatkan oleh cara pandang orang yang mulai kritis terhadap budaya.