Mohon tunggu...
M. Sapwan
M. Sapwan Mohon Tunggu... Musisi - photo traveling di malang

saya dari Lombok

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lagu Berbahasa Lokal Sebagai Modal Dakwah Maulana Syaikh TGKHM. Zainuddin Abdul Madjid

9 Maret 2017   06:32 Diperbarui: 9 Maret 2017   16:00 2532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Dalam perjalanan penulisan lagu, Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid mengekspresikan buah ilhamnya melalui tiga bahasa. Yang pertama bahasa Ibunya yaitu bahasa Sasak, yang kedua Bahasa Indonesia, dan yang ketiga bahasa Arab.  Tentu penggunaan tiga bahasa ini memliki tujuan-tujuan, menggambarkan waktu pembuatan, menggambarkan perasaan dan banyak hal tentang proses mencipta.  Saya mencatat beberapa lagu dengan lirik bahasa sasak seperti :  

Lirik berbahasa Sasak , Nahdlatain, Sakit Jahil, Beguru Agame, Pacu Gamaq

Lirik berbahasa Indonesia , Mars NWDI , Bersatulah Haluan, Mars Nahdlatul Wathan.

Lirik berbahasa Arab :Ahlan Biwafdi Dzairi,Tanawwaro mahfaluna,Nilnal ‘Ula,Ya Fata Sasak,Ya Man Yarumul Ula,Ya Zaljala li wal ikrom,Imamuna Syafi’I,Fityatul Ulum. 

Pada bahasan ini saya ingin mengurai tentang lagu-lagu berbahasa lokal, yang diciptakan oleh Pendiri Nahdlatul Wathan. Penggunaan sarana komunikasi lokal semisal bahasa lokal sebagai elemen dakwah, adalah upaya cerdas dalam tujuan-tujuan meraih hasil dakwah yang maksimal. Komunikasi dalam dunia dakwah sangat amat vital. Jangan berharap berharap banyak dari cara komunikasi yang buruk. Bisa jadi justru kesia-siaan dan lebih buruk lagi cara komunikasi yang buruk akan membuat juru dakwah dimusuhi. Juru dakwah yang faham akan kearifan lokal akan memanfaatkan elemen kebudayaan lokal, semisal seni budaya yang sedang diminati sebagai tools meraup simpati dan memuluskan jalan dakwah. Adalah para Sunan penyebar Islam di tanah Jawa, juga sangat cekatan meramu elemen budaya lokal sebagai sarana dakwahnya. Wayang adalah media yang sangat diminati di masa lalu, maka para da’i penyebar Islam memanfaatkan wayang sebagai sarana dakwahnya. Mungkin telinga kita juga tidak asing dengan lagu yang dipopulerkan artis lagu lagu berirama religious, Opick berjudul Tombo Ati.  Konon lagu tersebut juga adalah karya da’i di masa silam. Beliau adalah Sunan Bonang.  Lagu tersebut menjadi pengantar tidur bagi anak-anak bayi ketika digendong oleh ibunya. Lagu dibuat dengan desain populer, tidak rumit, gampang dihafal serta easy listening. Tapi jika dicermati, lagu tersebut memiliki penekanan penekanan yang kuat, padat dan berat dari segi konten.

Wali Songo, sebelum memulai dakwah, terlebih dahulu melakukan pengamatan di medan dakwahnya. Mereka mempelajari bahasa, mepelajari adat istiadat, mempelajari kepelajari seni budaya dan kegemaran masyarakat setempat.  Masyarakat Jawa sangat gemar memainkan gamelan dan tembang-tembang. Maka muncullah kreatifitasnya. Wali Songo melahirkan karya tembang, gamelan serta wayang yang berisi konten dakwah. Setelah masyarakat tertarik dengan karya-karya tersebut, barulah masyarakat diajarkan bersuci, wudlu dan shalat. Di masa silam saja, sebelum berkembangnya ilmu strategi dakwah, para wali sangat cerdas dan peka terhadap medan dakwahnya. Mereka tidak main labrak dan tidak menaruh peduli terhadap kultur setempat. Hal-hal yang sudah melekat dengan masyarakt tidak serta merta dihapus dan dihilangkan, justru dilestarikan dan diberi muatan dakwah dan disesuaikan dengan ajaran islam.

Nah kita kembali ke lagu-lagu karya  Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid, yang menggunakan bahasa Sasak. Lagu-lagu tersebut juga menggunakan bahasa Sasak sebagai pengantar dalam upaya mendekatkan dakwah ke tengah masyarakat. Lagu berbahasa Sasak akan mengantarkan dakwah yang disampaikan menjadi lebih hangat dan lebih cepat diterima. Salah seorang masyaikh Ma’had menceritakan bahwa lagu-lagu yang diciptakan Maulana Syaikh Zainuddin Abdul Madjid, memberi dampak positif dan efek yang luas. Lagu-lagu berbahasa Sasak  dengan cepat meraih simpati dan populer dengan cepat. Dalam buku music populer yang ditulis Mauli Purba dan Ben M. Pasaribu, dijelaskan beberapa jenis music populer yaitu pertamalagunya pendek keduamelodinya, harmoni, dan ritmenya cepat akrab ditelinga pendengar, ketiga liriknya akrab. Mari kita urai ciri populer tersebut dengan lirik lagu berbahasa lokal yang lahir dari ilham yang diterima oleh Maulana syaikh. Pertama ,lagunya pendek-pendek. Empat lagu yang diciptakan maulan Syaikh tiga diantaranya terbilang pendek. Lagu Sakit Jahil hanya tiga bait, Beguru Agame hanya dua bait,  dan Pacu Gamak tiga bait. Hanya lirik lagu  Nahdlatain saja yang diciptakan enam bait. Artinya unsur pendek dari ciri music populer ada dalam lagu-lagu berbahasa lokal yang dicipta Maulana Syaikh. KeduaMelodi, harmoni, dan ritmenya cepat akrab dengan telinga kebanyakan pendengar. Cepat akrab yang dimaksud adalah tergantung kebiasaan musical ditengah masyarakat. Pada masa-masa itu, telinga masyarakat Lombok sangat akrab dengan irama mendayu-dayu, laras slendro-pelog, atau lagu-lagu berilama lambat semacam pengantar tidur. Maka kemunculan lagu berbahasa lokal dengan irama slow bisa cepat akrab dan menjadi nyanyian para santri dan orang-orang tua.  KetigaTema liriknya akrab. Tentu akan akrab karena menggunakan bahas yang digunakan sehari-hari. Ketika kita melihat sebuah karya lagu, film atau buku yang mengupas lokalitas atau diri kita sebagai sebuah suku, maka secara otomatis kita akan tergerak untuk tahu. itulah yang kemudian menjadi daya tarik lagu-lagu reigi ciptaan Maulana Syaikh di hadapan para jamaah dan murid-muridnya. Setelahnya lagu-lagu berbahasa Indonesia pun diciptakan, dalam rangka mengindonesiakan masyarakat Lombok. Walaupun berikutnya beliau mencipta lagu berlirik Melayu dan bahasa Arab.

Dari sisi konten, lagu-lagu berbahasa Sasak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, terutama menuntut ilmu agama.  Simak saja lirik dari lagu Sakit Jahil.

Sakit Jahil

Sakit jahil Ndek narak oatne

Selainan sik te beguru ngaji

Semeton Jari Si masi sakit

Te pade beroat lek Nahdlatul Wathan

Agente Selamet Eraq Le Akhirat

Te Pae beroat Le Nakdlatul Banat

Agente Selamet Eraq lek Akhirat

Pade ngaji lek Nahdlatul Wathan

Pade Ngaji lek Nahdlatul Banat

Bilang jelo ndek te mele telat

Rumu dirikte sampung masih sehat

Tebeguru ngaji lek Nahdlatul Wathan

Agen ndekta nyesel  era leq akhirat

Te beguru ngaji lek Nahdlatu Banat

Agen ndek te nyesel erak lek akhirat

Terjemahan :

Sakit jahil tak ada obatnya

Selain dari belajar mengaji

Saudaraku yang masih sakit

Mari berobat di Nahdlatul Wathan

Agar kita selamat di akhirat

Mari berobat di Nahdlatul Banat

Agar kita selamat di akhirat

Mari mengaji di Nahdlatul Wathan

Mari mengaji di Nahdlatul Banat

Setiap hari jangan terlambat

Urus diri mumpung kita masih sehat

Belajar mengaji di Nahdlatul Wathan

Agar tidak menyesal di akhirat

Belajar mengaji di Nahdlatul Banat

Agar tidak menyesal di akhirat

Lagu Sakit Jahil mengibaratkan orang yang tidak berilmu atau jahil sebagai orang yang sakit. Sakit adalah kondisi di mana badan didera rasa sakit, lemah, dan tak bisa beraktifitas dengan leluasa. Orang sakit mengalami tekanan tidak hanya fisik, tapi juga psikologinya. Tidak banyak pekerjaan yang bisa diperbuat oleh orang sakit. Paling hanya bisa berbaring di tempat tidur, kalaupun bisa bergerak, hanya mondar mandir ke kamar mandi, atau sekitar rumah saja sambil menahan sakit yang dideritanya.

Sakit lawannya sembuh. Jika ingin bergerak dan berpikir lebih sehat, maka ia harus diberi obat agar tersembuhkan. Tanpa obat maka tak mungkin bisa disembuhkan. Begitu logika berpikir dari lagu ini. Sang pencipta lagu menawarkan kesembuhan bagi mereka yang mengalami peyakit kebodohan.  Sakit jahil Ndek narak oatne, Selainan sik te beguru ngaji,artinya Sakit jahil itu tak mungkin diobati selain dengan berguru dan menggaji. Pada bait berikutnya pencipta langsung mengarahkan agar mereka yang sakit jahil untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan yang beliau dirikan yaitu Madrasah Nahdlatul Wathan.  Orang yang tidak berilmu harus diobati dengan belajar di dua madrasah utama yaitu Nahdlatul Wathan bagi yang pria dan Madrasah Nahdlatul Banat untuk yang wanita.

Pada bait berikutnya terdapat kalimat Rumu dirikte sampung masih sehat.Kalimat ini terjemahan bebasnya “asuhlah atau peliharalah diri selagi masa sehat. Kerjakanlah hal-hal yang berguna untuk kehidupan pribadi dan orang lain semasa badan masih sehat. Jika sudah sakit atau tak sehat lagi, maka yang ada adalah ketidakberdayaan. Kita tak punya daya lagi untuk belajar, mengaji, pergi ke tempat pengajian atau melakukan ibadah lain yang menuntut kehadiran kita secara fisik. Menggunakan waktu luang dengan maksimal, sebelum datangnya kesempitan, menggunakan waktu sehat sebelum datangnya rasa sakit, menggunakan waktu muda dengan baik sebelum datangnya masa tua, adalah anjuran Rasulullah SAW kepada ummatnya. Lagu ini memiliki semangat yang sama dengan ajaran nabi tersebut. Manusia diajarkan untuk menggunakan sebaik-baiknya waktu luang untuk belajar dan menuntut ilmu agar tidak timbul penyesalan di hari tuanya.

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(Hadits)

Ilmu adalah cahaya yang bisa menerangi perjalanan peradaban suatu bangsa. Tanpa keberadaan ilmu, sebuah bangsa akan gampang ditindas, gampang diperdaya, gampang diinjak-injak dan dijajah oleh bangsa lain. Di masa awal kedatangan maulana syaikh dari menuntut ilmu di Makkah, masyarakat Sasak di Lombok dalam kondisi masih sangat terbelakang. Selain dijajah oleh Belanda dan Jepang, sebelumnya rakyat Lombok juga mendapat tekanan oleh pemerintah kerajaan Bali.  Hanya sebagian saja diantara rakyat Lombok yang bisa mengecap dunia pendidikan. Mereka hanya terdiri dari orang-orang kaya. Ilmu pengetahuan adalah barang mahal. Itulah sebabnya maulana syaikh kemudian mengambil langkah untuk mendorong masyarakat agar tergerak untuk rajin mengaji, rajin belajar, rajin menuntut ilmu agar terlepas dari belenggu “sakit jahil” dan terbebas dari penjajah. Lirik bertemakan kewajiban menuntut ilmu ada dalam empat lagu berbahasa Sasak yang diciptakan Maulana Syaikh yaitu Sakit Jahil, Beguru Ageme, Pacu gamak dan Nahdlatain. Logisnya jika masyarakat telah sukses didorong untuk gemar menuntut ilmu, maka kemajuan dalam bidang lain akan gampang pula dicapai. Selain lagu sakit jahil, berikut teks lagu Beguru Ageme dan Pacu gamak.  

BEGURU AGAME

Inaq amaq ku

Si demen lek agama

Serah gamak anak de

Beguru agame lek madrasah si arak due

Nahdlatul Wathan taokne mun ne mama

Nine lek Nahdlatul banat

Agen ndek te pade nyesel erak lek akhirat

Lamun ndek te pade serah anakde

Lelah doing upakde

Si meranakang ye

Lek dunie sampe akhir mase

Terjemah

Ibu bapakku yang gemar pada agama

Serahkalnah anaknya

Belajar agama di madrasah yang dua

Nahdlatul Wathan tempatnya untuk pria

Wanita di Nahdlatul Banat

Agarlah tidak menyesal kelak di alkhirat

 Kalau anaknya tidak di serahkan

Lelah saja yang menjadi upah

Yang melahirkannya

Dari dunia sampai akhir masa

PACU GAMAK

Inaq amaq ku

Semeton jarin ku pade

Ndek narak ite

Gen kekel lek dunie

Dakaq te sugi

Dakakte bangse mulie

Ndeq narak gune

Mun ndek narak agame

Pacu Gamakne

Ngaji sembahyang pause

Mudahan gamak

Te pade tame sorge

 Terjemah

Ibunda Ayahanda

Serta semua saudara

Tak ada diantara kita

Yang akan kekal di atas dunia

Walaupun kaya raya

Walaupun menjadi bangsawan mulia

Itu semua tak berguna

Jika tak memiliki ilmu agama

Rajin-rajinlah semua

Mengaji, Shalat, dan berpuasa

Semoga kita

Masuk sorga bersama-sama

Ada pelajaran penting dari proses kreatif  Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, melahirkan lagu-lagu berbahasa Sasak. Generasi penerus serta murid-muridnya, harus pandai menempatkan diri memantapkan strategi dakwah di manapun ia berada. Pemilihan konten bermuatan lokal sebagai strategi dakwah, adalah cara-cara cerdas yang harus ditiru dan dimodifikasi sesuai zamannya. Artinya, di zaman teknologi seperti saat ini, generasi Nahdlatul Wathan harus pandai bersikap, berkreasi, dan berkarya. Penulisan lagu berbahasa Sasak saat di mana bahasa komunikasi penting di masa itu adalah bahasa Sasak, menjadi semacam kepekaan berdakwah. Peka dalam arti paham kondisi, mengerti cara menempatkan diri, serta bisa melakukan inovasi. Jangan justru secara ekstrim melawan arus dalam menjalankan dakwah. Hasilnya pasti tidak maksimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun