"Dewa, kaulah yang mengendalikan roda nasib manusia. Meski suka duka terus beradu di jembatan nasibmu, aku ingin kau meleburkan jembatan itu agar mereka terpisah untuk selamanya. Dan jika kau menghendaki, pada roda-roda itu agar aku dan kelahiranku di masa selanjutnya tak bertemu lagi dengan Bhisma. Aku mohon dengan segala nafas yang tersisa di baris usiaku, leburkanlah suka duka itu menjadi waktu yang membentang panjang. Dan izinkanlah roda nasibku berbalik menopang segala doa dan dosa yang telah terjadi. Perkenankanlah doaku menahan senja ini untuk selamanya."
Bhisma terdiam menahan ribuan panah di tubuhnya. Dia tersenyum meski luka di tubuhnya kian meraja. Kemudian bayangan Amba perlahan hadir di kelopak matanya. Dia tersenyum puas, mengharap senja tak pernah mereda.
***
"Itu versimu?" Aku menjawab sekenanya.Â
"Kau tak pernah paham soal perempuan kan Rah?" tiba-tiba perempuan di hadapanku membuang muka ke jendela.
"Oke-oke, baiklah, begini saja, kita pulang dan lekas pergi belanja. Katamu, kamu penginbeli sepatu di pusat kota kan?" sudah habis kesabaranku menghadapi perempuan ini.
"Kau memang tidak benar-benar memahamiku, Rah."
Shinta tiba-tiba pergi meninggalkanku dengan menenteng tas. Di mejanya, sebuah amplop putih bergambar merpati dia tinggalkan dengan sebuah tujuan nama di sana. Aku sontak mencoba mengejarnya.
***
                                                Surakarta, November 2017
                       Â