Mohon tunggu...
Sapta Arif
Sapta Arif Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pepuisi, cerita-cerita, kopi, dan diskusi hingga pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Hari Senja Tak Kunjung Mereda

1 Maret 2018   14:39 Diperbarui: 1 Maret 2018   14:47 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bhisma menanggalkan busur panah di tangan kirinya. Kemudian dia membuang segala persenjataan yang melekat di tubuh. Aku takkan melawanmu, pergilah, ucap sang pendeta.

Namun Srikandhi merentangkan busur panahnya. Tiga anak panah siap meluncur mengoyak tubuh Sang Pendeta. Tanpa ragu, Perempuan itu melepaskan tiga anak panahnya, lalu tiba-tiba ada ribuan anak panah---menyusul, menghujani kereta perang Bhisma. Sang Pendeta terkejut, ribuan anak panah itu menancap dan melontarkan tubuhnya ke tanah. Ribuan panah yang menembus tubuh itu, menyangga Sang Pendeta hingga tak menyentuh tanah. Darah mengucur di sekujur tubuhnya. Bhisma melihat Arjuna yang berada jauh di belakang Srikandhi tersenyum puas. Senja itu, Bhisma terkapar dengan ribuah panah di dada.

 "Mengapa kau tanggalkan senjatamu, Bhisma?" ucap Srikandhi yang mendekat ke tubuh Bhisma.

Sang Pendeta diam. Dia memalingkan wajahnya dari tatapan mata Srikandhi. Ada sedikit gaduh yang menyeruak di dadanya. Kemudian kegaduhan itu menjelma genderang perang yang begitu dahsyat yang menggetarkan ingatannya. Bhisma terkapar, terluka dengan segala luka di dadanya.

Mata itu kembali menelisik mencari kepastian di balik wajah Bhisma. Cukup Srikandhi. Cukup sudah,ucapnya lirih.

"Kau takkan paham."

"Apa yang harus kupahami Pak Tua! Apa?!" Srikandhi membentak, lalu dia kembali membetangkan busur panahnya.

"Kau takkan paham, untuk apa kau dilahirkan jika hanya untuk mengusung dendam. Untuk apa..."

"Untuk apa? Untuk apa katamu?"  Srikandhi merentangkan busur panahnya kuat-kuat.

"Untuk apa seorang perempuan berusaha mati-matian menghapus masa lalunya, melewati titik batas suka duka, setelah sebelumnya perempuan itu merobek tenunan kisah kehidupannya, lalu membakar benang-benang yang menghubungkan dengan lelaki yang dicintainya? Untuk apa, perempuan itu kini justru bersusah payah menenun kembali kisah yang telah lama ingin dia hapus dengan berbagai cara dan berbagai upaya, meski raga lelaki yang dicintainya sudah tidak bersemayam di dunia." Bola mata Srikandhi memerah, rupanya dendam di dadanya telah menyeruak keluar.

"Untuk apa Pak Tua... Untuk apa??" Perempuan itu membentak hendak menghujani tubuh Bhisma dengan tiga anak panahnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun