"Apa yang kau tahu soal perempuan?"
"Apa yang kutahu? Maksudmu?"
"Ayolah Rah, tidak semua perempuan sama dengan yang kau gambarkan dari batok kepalamu itu. Tidak semuanya."
"Ehm... Iya, aku paham. Tapi..."
"Dan tidak semua hal yang kau pahami itu, adalah jawaban yang harusnya kau lontarkan."
"Eh.. Sebentar, sebentar. Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu."
"...................................... kapan kau bisa benar-benar mengerti, Rah?"
Kau adalah gelisah pertama yang diciptakan oleh Tuhan padaku. Di tubuhmu, aku kerapkali merasakan kelahiran yang berulang. Kelopak mata yang menyimpan gerimis yang kekal, pipi halus-licin yang menggelincirkan segala duka di dada. Dari sanalah aku kerapkali meramu cerita di dapur kepalaku.
Namun sore itu ada yang berbeda darimu, sepiring cerita yang sudah siap disajikan, tiba-tiba harus kubuang sia-sia, lantaran kau mengambil alih peranku di sana. Bercerita di sebuah kedai dengan secangkir kopi, senja, pantai, dan kamu.
"Lalu, apakah Srikandhi itu mencintai Bhisma?" Pupil matamu membesar berharap aku meng-iya-kan pertanyaanmu.
"Tentu tidak!"
"Bagaimana mungkin? Katamu Srikandhi adalah jelmaan Amba kan?"
"Iya si, tapi gini lhoShin..."
Ssssttttt. Kau merapatkan telunjukmu di bibirku. Sekarang giliranku bercerita, ucapmu.
***
Senja itu Kuru Seta menggelegar, banjir darah, petir, dan angin menggelar pesta anggur di sana. Langit penuh warna, ada yang merah bersimpah darah, ada yang biru dengan percikan oranye, ada juga warna hitam kelam disertai kilat yang begitu ganas. Bebatuan, pohon-pohon, telaga, binatang, hingga langit akan menjadi saksi: ribuan orang yang adu kekuatan untuk membuktikan siapa yang paling pantas bertahta di Astinapura. Kau tentu paham cerita ini kerapkali diceritakan oleh kakek-nenek kita, namun bukan perang baratayudha yang akan kuceritakan, sebuah cerita tentang Amba dan Bhisma.
Di sudut sebuah pertempuran waktu itu, Bhisma kokoh berdiri di atas kereta perang. Dia menunggu muridnya-Arjuna, datang menantang. Tangan kirinya menggenggam busur panah dan sebuah anak panah diambil dari punggung. Kemudian ia melihat sejurus kilat mendekat di depan kereta kudanya. Srikandhi datang menantang sang pendeta.
Bhisma menanggalkan busur panah di tangan kirinya. Kemudian dia membuang segala persenjataan yang melekat di tubuh. Aku takkan melawanmu, pergilah, ucap sang pendeta.
Namun Srikandhi merentangkan busur panahnya. Tiga anak panah siap meluncur mengoyak tubuh Sang Pendeta. Tanpa ragu, Perempuan itu melepaskan tiga anak panahnya, lalu tiba-tiba ada ribuan anak panah---menyusul, menghujani kereta perang Bhisma. Sang Pendeta terkejut, ribuan anak panah itu menancap dan melontarkan tubuhnya ke tanah. Ribuan panah yang menembus tubuh itu, menyangga Sang Pendeta hingga tak menyentuh tanah. Darah mengucur di sekujur tubuhnya. Bhisma melihat Arjuna yang berada jauh di belakang Srikandhi tersenyum puas. Senja itu, Bhisma terkapar dengan ribuah panah di dada.
 "Mengapa kau tanggalkan senjatamu, Bhisma?" ucap Srikandhi yang mendekat ke tubuh Bhisma.
Sang Pendeta diam. Dia memalingkan wajahnya dari tatapan mata Srikandhi. Ada sedikit gaduh yang menyeruak di dadanya. Kemudian kegaduhan itu menjelma genderang perang yang begitu dahsyat yang menggetarkan ingatannya. Bhisma terkapar, terluka dengan segala luka di dadanya.
Mata itu kembali menelisik mencari kepastian di balik wajah Bhisma. Cukup Srikandhi. Cukup sudah,ucapnya lirih.
"Kau takkan paham."
"Apa yang harus kupahami Pak Tua! Apa?!" Srikandhi membentak, lalu dia kembali membetangkan busur panahnya.
"Kau takkan paham, untuk apa kau dilahirkan jika hanya untuk mengusung dendam. Untuk apa..."
"Untuk apa? Untuk apa katamu?" Â Srikandhi merentangkan busur panahnya kuat-kuat.
"Untuk apa seorang perempuan berusaha mati-matian menghapus masa lalunya, melewati titik batas suka duka, setelah sebelumnya perempuan itu merobek tenunan kisah kehidupannya, lalu membakar benang-benang yang menghubungkan dengan lelaki yang dicintainya? Untuk apa, perempuan itu kini justru bersusah payah menenun kembali kisah yang telah lama ingin dia hapus dengan berbagai cara dan berbagai upaya, meski raga lelaki yang dicintainya sudah tidak bersemayam di dunia." Bola mata Srikandhi memerah, rupanya dendam di dadanya telah menyeruak keluar.
"Untuk apa Pak Tua... Untuk apa??" Perempuan itu membentak hendak menghujani tubuh Bhisma dengan tiga anak panahnya lagi.
"Kapan kau akan berhenti memburuku?" Bhisma menatap Srikandhi nanar. Ada sebuah penyesalan di ceruk matanya.
"Apa maksudmu?" Â
"Kapan kau akan berhenti memburuku? Berpuluh tahun sudah kupendam dengan segala doa dan mantra."
"Aku tak paham arah pembicaraanmu." Srikandhi mulai mengendurkan busur panahnya.
"Kau tak paham. Perasaan itu, kubawa di pertapaan lalu ku-penjarakan di goa-goa hingga aku paham." Suara Bhisma terhenti, tertahan.
"Hingga aku paham takdir, waktu, dan dirimu adalah beberapa hal yang tak mau berdamai denganku. Aku datang di sayembara itu, bukan untuk memberikan tahta kepada saudaraku, bukan juga untuk memperluas kekuatan dengan menjalin kerja sama dengan kerajaanmu, bukan itu. Namun jiwa ragamu secara utuh---waktu itu, adalah sebuah kemauan yang maha dahsyat untukku keluar dari pertapaan."
Srikadhi tercekat, memorinya melayang pada bayangan sayembara puluhan tahun silam. Ribuan orang datang, sebuah pertempuran, sang pendeta, dan Salwa---kekasihnya. Kemudian secara utuh ingatannya membuka memori lama: seorang putri raja bernama Amba dengan segala luka di dada.
Tiba-tiba, busur dan anak panahnya dijatuhkan. Tubuhnya jatuh-lunglai ke tanah, wajahnya tertunduk, terisak. Perempuan itu benar-benar tak percaya. Bhisma bukan tidak mencintainya. Namun semestalah yang tidak merestui mereka, meski doa dan mantra terus menerus dipanjatkan dan diadu. Perempuan itu baru sadar, kelahirannya bukan untuk membalaskan dendam, namun untuk menunaikan rindu yang tak pernah padam.
"Kau tak paham, Pak Tua. Kau tak tahu apa-apa soal perempuan yang kau maksud."
"Bagaimana mungkin seorang pendeta rela menukar kesuciannya untuk merebut perempuan yang sudah ditawan hatinya oleh Salwa. Bagaimana mungkin? Pendeta itu  datang untuk membuktikan, mana yang lebih ksatria antara Ia dan lelaki yang sudah menjadi panjatan hati perempuan itu. Namun, pada akhirnya, mereka tidak membuktikan apa-apa. Hanya duka yang tersisa."
Srikandhi bersimpuh, kepalanya yang tertunduk menjatuhkan hujan air mata. Namun kemudian Ia menegakkan kepalanya ke langit. Genggaman tangannya ia rapatkan ke dada.
"Dewa, kaulah yang mengendalikan roda nasib manusia. Meski suka duka terus beradu di jembatan nasibmu, aku ingin kau meleburkan jembatan itu agar mereka terpisah untuk selamanya. Dan jika kau menghendaki, pada roda-roda itu agar aku dan kelahiranku di masa selanjutnya tak bertemu lagi dengan Bhisma. Aku mohon dengan segala nafas yang tersisa di baris usiaku, leburkanlah suka duka itu menjadi waktu yang membentang panjang. Dan izinkanlah roda nasibku berbalik menopang segala doa dan dosa yang telah terjadi. Perkenankanlah doaku menahan senja ini untuk selamanya."
Bhisma terdiam menahan ribuan panah di tubuhnya. Dia tersenyum meski luka di tubuhnya kian meraja. Kemudian bayangan Amba perlahan hadir di kelopak matanya. Dia tersenyum puas, mengharap senja tak pernah mereda.
***
"Itu versimu?" Aku menjawab sekenanya.Â
"Kau tak pernah paham soal perempuan kan Rah?" tiba-tiba perempuan di hadapanku membuang muka ke jendela.
"Oke-oke, baiklah, begini saja, kita pulang dan lekas pergi belanja. Katamu, kamu penginbeli sepatu di pusat kota kan?" sudah habis kesabaranku menghadapi perempuan ini.
"Kau memang tidak benar-benar memahamiku, Rah."
Shinta tiba-tiba pergi meninggalkanku dengan menenteng tas. Di mejanya, sebuah amplop putih bergambar merpati dia tinggalkan dengan sebuah tujuan nama di sana. Aku sontak mencoba mengejarnya.
***
                                                Surakarta, November 2017
                       Â
*)Terinspirasi dari cerita Bhisma dan Amba dengan berbagai perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H