"Kapan kau akan berhenti memburuku?" Bhisma menatap Srikandhi nanar. Ada sebuah penyesalan di ceruk matanya.
"Apa maksudmu?" Â
"Kapan kau akan berhenti memburuku? Berpuluh tahun sudah kupendam dengan segala doa dan mantra."
"Aku tak paham arah pembicaraanmu." Srikandhi mulai mengendurkan busur panahnya.
"Kau tak paham. Perasaan itu, kubawa di pertapaan lalu ku-penjarakan di goa-goa hingga aku paham." Suara Bhisma terhenti, tertahan.
"Hingga aku paham takdir, waktu, dan dirimu adalah beberapa hal yang tak mau berdamai denganku. Aku datang di sayembara itu, bukan untuk memberikan tahta kepada saudaraku, bukan juga untuk memperluas kekuatan dengan menjalin kerja sama dengan kerajaanmu, bukan itu. Namun jiwa ragamu secara utuh---waktu itu, adalah sebuah kemauan yang maha dahsyat untukku keluar dari pertapaan."
Srikadhi tercekat, memorinya melayang pada bayangan sayembara puluhan tahun silam. Ribuan orang datang, sebuah pertempuran, sang pendeta, dan Salwa---kekasihnya. Kemudian secara utuh ingatannya membuka memori lama: seorang putri raja bernama Amba dengan segala luka di dada.
Tiba-tiba, busur dan anak panahnya dijatuhkan. Tubuhnya jatuh-lunglai ke tanah, wajahnya tertunduk, terisak. Perempuan itu benar-benar tak percaya. Bhisma bukan tidak mencintainya. Namun semestalah yang tidak merestui mereka, meski doa dan mantra terus menerus dipanjatkan dan diadu. Perempuan itu baru sadar, kelahirannya bukan untuk membalaskan dendam, namun untuk menunaikan rindu yang tak pernah padam.
"Kau tak paham, Pak Tua. Kau tak tahu apa-apa soal perempuan yang kau maksud."
"Bagaimana mungkin seorang pendeta rela menukar kesuciannya untuk merebut perempuan yang sudah ditawan hatinya oleh Salwa. Bagaimana mungkin? Pendeta itu  datang untuk membuktikan, mana yang lebih ksatria antara Ia dan lelaki yang sudah menjadi panjatan hati perempuan itu. Namun, pada akhirnya, mereka tidak membuktikan apa-apa. Hanya duka yang tersisa."
Srikandhi bersimpuh, kepalanya yang tertunduk menjatuhkan hujan air mata. Namun kemudian Ia menegakkan kepalanya ke langit. Genggaman tangannya ia rapatkan ke dada.