Mohon tunggu...
Sapta Arif
Sapta Arif Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pepuisi, cerita-cerita, kopi, dan diskusi hingga pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Hari Senja Tak Kunjung Mereda

1 Maret 2018   14:39 Diperbarui: 1 Maret 2018   14:47 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapan kau akan berhenti memburuku?" Bhisma menatap Srikandhi nanar. Ada sebuah penyesalan di ceruk matanya.

"Apa maksudmu?"  

"Kapan kau akan berhenti memburuku? Berpuluh tahun sudah kupendam dengan segala doa dan mantra."

"Aku tak paham arah pembicaraanmu." Srikandhi mulai mengendurkan busur panahnya.

"Kau tak paham. Perasaan itu, kubawa di pertapaan lalu ku-penjarakan di goa-goa hingga aku paham." Suara Bhisma terhenti, tertahan.

"Hingga aku paham takdir, waktu, dan dirimu adalah beberapa hal yang tak mau berdamai denganku. Aku datang di sayembara itu, bukan untuk memberikan tahta kepada saudaraku, bukan juga untuk memperluas kekuatan dengan menjalin kerja sama dengan kerajaanmu, bukan itu. Namun jiwa ragamu secara utuh---waktu itu, adalah sebuah kemauan yang maha dahsyat untukku keluar dari pertapaan."

Srikadhi tercekat, memorinya melayang pada bayangan sayembara puluhan tahun silam. Ribuan orang datang, sebuah pertempuran, sang pendeta, dan Salwa---kekasihnya. Kemudian secara utuh ingatannya membuka memori lama: seorang putri raja bernama Amba dengan segala luka di dada.

Tiba-tiba, busur dan anak panahnya dijatuhkan. Tubuhnya jatuh-lunglai ke tanah, wajahnya tertunduk, terisak. Perempuan itu benar-benar tak percaya. Bhisma bukan tidak mencintainya. Namun semestalah yang tidak merestui mereka, meski doa dan mantra terus menerus dipanjatkan dan diadu. Perempuan itu baru sadar, kelahirannya bukan untuk membalaskan dendam, namun untuk menunaikan rindu yang tak pernah padam.

"Kau tak paham, Pak Tua. Kau tak tahu apa-apa soal perempuan yang kau maksud."

"Bagaimana mungkin seorang pendeta rela menukar kesuciannya untuk merebut perempuan yang sudah ditawan hatinya oleh Salwa. Bagaimana mungkin? Pendeta itu   datang untuk membuktikan, mana yang lebih ksatria antara Ia dan lelaki yang sudah menjadi panjatan hati perempuan itu. Namun, pada akhirnya, mereka tidak membuktikan apa-apa. Hanya duka yang tersisa."

Srikandhi bersimpuh, kepalanya yang tertunduk menjatuhkan hujan air mata. Namun kemudian Ia menegakkan kepalanya ke langit. Genggaman tangannya ia rapatkan ke dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun