Lalu dibawanya aku menemui si Tina kecil. Kini di mataku, dia tampak bagai malaikat tak berdosa, tapi tampak begitu tegar. Dia tak merengek, tak menangis. Gurunya bilang, tak pernah dia mewek minta bertemu aku. Dia bangun pagi sendiri, mandi tak pernah telat, sikat gigi tanpa diingatkan, mempersiapkan buku pelajarannya sendiri. Makan tanpa dipaksa. Belajar tanpa dipelototi. Dia begitu mandiri. Lagi gurunya bilang, aku benar-benar sukses mendidiknya menjadi anak yang tegar dan bisa berdiri di kaki sendiri. Harusnya aku kembali menepuk dada. Tapi detak dada ini tak lagi bangga.
Waktu aku datang, dia memelukku dan bercanda sebentar denganku. Aku begitu ingin memeluknya. Mendekapnya lama-lama. Mengeluskan pipiku ke lembut pipinya. Menatap binar-binar matanya yang bagai bintang-bintang. Berusaha kuraih tangannya, dia hanya menarik pelan. Lalu dia segera berlalu, kembali sibuk bermain dengan teman-temannya dan buku-bukunya. Berusaha kucuri-curi pandang matanya agar menatapku. Tapi dia tak menangkap sorotku. Saat waktuku habis dan aku mau pamit pulang, dia dengan mantap berkata riang, “nggak usah sering-sering datang, Ra. Kasian, repot pasti banyak kerjaan. Aku di sini nggak apa-apa kok. Banyak temen. PR banyak, jadi banyak kegiatan. Aku sibuk banget. Nanti bisa terganggu. Maaf ya.”
Sakitnya rongga-rongga napas ini mendengarnya.
Begini ternyata rasanya tak dibutuhkan. Udara terasa makin sulit menelusuri paruku. Saraf-sarafku pun terasa berdenyut-denyut menyedot darahku sendiri. Andai tak pernah kualami saat-saat itu. Pengalaman mendekap sesosok tubuh mungil yang begitu lemah dan lembut, dengan mata yang hanya mengenal mataku, yang harap hidupnya hanya tertumpu pada satu aku. Kebergantungan total yang merapuhkan segala ke-maha-aku-an-ku. Dan aku bersumpah, akan kudapatkan semua itu kembali! Dengan, atau tanpa persetujuan Bono!
Cepat-cepat kususun permohonan pengembalikan si malaikat kecil kembali ke rumah, ke pangkuanku. Tentu saja ini yang kudapat:
“Makanya kan, sampai sekarang kita nggak bisa punya anak sendiri! Karena kamu nggak kasih kita waktu, nggak kasih kita kesempatan! Semua energimu tertumpah pada anak itu!” kecam lelaki sebelah sayapku. Dia bilang aku harus memilih, “aku atau anak itu!” Yang saat dia mengucapkan semua itu pelan-pelan dalam gerak lambat kulihat segenap sayapku perlahan rontok satu-satu, lalu habis.
Aku mengutarakan maksudku pada pihak asrama. Dua hari kemudian aku mendapat jawaban. Pihak sekolah menyambut lega lalu mengeluarkan persetujuan surat resmi dengan mudah. Tapi si miss little independent yang kini sudah masuk sekolah dasar itu tak mau.
“Aku mau di sini aja, Ra. Aku lebih senang di sini. Aku biasa di sini. Lagian nanti Bono gimana?”
Aku hanya bisa menghela napas yang makin sesak. Tak mungkin memohon. Bagiku sadar betul, itu seperti memaksa beringin bonsai yang sudah kubentuk untuk kembali tumbuh menjadi pohon beringin raksasa. Aku terpana.
Dia tidak memerlukanku. Duniaku mendadak limbo.
Dia membuatku menderita karena ketegarannya. Dia menghabiskan banyak sekali uangku dengan memasukkannya ke sekolah super mahal ini. Dia membuatku memilih meninggalkan Bono. Dia merampas banyak sekali energiku sampai terbengkalai banyak urusan pekerjaan. Harusnya aku melupakannya, segenap logikaku menarikku ke arah lain untuk mementahkan semua ini. Tapi aku bisa apa?