[caption caption="Sumber ilustrasi: gulalives.com"][/caption]
“Aku lebih baik mati dipukuli daripada kehilangan dia”
“Jadi orang tuh jangan bodoh! Ngapain cinta sama laki-laki yang bisanya cuma nyakitin kamu?!”
“Nggak usah komentar sampai kamu ngerasain cinta mati!”
“Yakin cinta? Apa obsesi?!”
“Yesus mati dirajam, disalib, menurut kamu cinta apa obsesi?”
Hm.
Kalau sudah bicara cinta, Tina dan aku bagai cupid dan zombie. Tak peduli berapa sering hancur lebur hidupnya sebab urusan hati, tak pernah Tina pantang jatuh hati. Selalu ada persediaan panah-panah asmara yang berhasil tertancap kembali di hatinya yang berdarah-darah. Beda sama aku. Lelaki yang tak memberi keuntungan apa-apa, sudah pasti tak kinclong di mataku, boro-boro buat dicintai. Rugi amat! Apalagi kalau orang itu sampai bikin kumenderita? Hm. Mendekatpun tak perlu. Tapi Tina?!
“Aaaaahhhhh!!!” Teriakan gadis berusia lima tahun itu menghentikan lamunanku. Apa lagi ini, sesahku. Dengan malas kumenoleh. Anak itu jatuh, lututnya berdarah. Dasar bocah ceroboh. Lalu kuhampiri sambil kubawakan kotak P3K yang barusan diambilkan seorang pelayan kebaktian. Cepat-cepat kubersihkan lukanya dengan kapas dan alkohol. Dia meringis tapi tak protes. Lalu kububuhi obat merah, kuplester dengan tempelen mungil bergambar kartun tikus. Dia tersenyum. Kata orang-orang senyumnya manis. Bagiku itu tak penting. Aku malah mengomel seharusnya dia hati-hati. Ini benar-benar buang waktuku. Masih lagi harus kubersihkan noda darah berbentuk awan sedikit menodai gaun putihnya yang berpita sama warna.
“Makanya kalau dibilangin tuh didengar! Jadi kotor bajunya, kan!” kataku keras bagai militer mengomando bawahan.
“Iya. Makasih Ira,” dia mengangguk, melengos sok-sok ngambek lalu lari-lari sambil mengibas roknya. Kembali dia bermain dengan para sebayanya sebelum pentas Natal dimulai. Perayaan hari kelahiran Sang Juru Kasih memang belum tiba, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya perayaan kadang dilakukan jauh-jauh dari hari H.
Aku menatapnya di antara dekorasi pita-pita, lampu warna-warni, dan malaikat-malaikat plastik yang bertebaran di dinding dan lantai gereja kayu ini. Matanya yang berbinar bersih benar-benar mengingatkanku pada Tina. Hidungnya, bibirnya, caranya melirik, caranya menarik bibir saat berpikir. Semuanya Tina banget. Indah memang. Tapi kuberi nama dia Lara. Karena semua tentang anak ini mengingatkanku hanya pada kepedihan. Setiap ingat itu, aku selalu nyaris menitikkan air mata, hal yang paling aku anti.
Tapi aku menangis bukan karena simpati pada Tina atau anaknya, tapi karena betapa lemahnya aku sampai tak mampu merubah pikiran sahabat masa kecilku itu. Tapi detik itu juga aku langsung mengingatkan diriku, Tina memang bodoh! Wanita paling nggak pakai otak yang pernah kutemui. Sudah berkali-kali kukatakan padanya untuk menjauhi lelaki yang sering menendanginya sampai babak belur itu, tapi Tina tak pernah peduli. Dia bertahan di sisi penjahat itu, bahkan membelanya!
“Kenapa aku harus meninggalkan dia?! Aku mau mencintai dia apa adanya! Aku nggak akan pernah ninggalin dia! Yesus aja nggak pernah ninggalin aku! Dia nggak ninggalin aku walaupun aku ninggalin Dia!
Itu-itu terus dijadikan alasan tiap aku mengingatkan Tina. Memang pernah ia menukar imannya untuk cinta. Sudah pakai bersaksi kemana-mana pula. Sudah bikin heboh orang sekampung. Sampai bapaknya yang tetua adat angkat parang nyaris membelahnya jika saja dia gagal melarikan diri. Tetapi sebuah mimpi suci menyelamatkannya kembali. Dalam alam maya itu, Kristus menemuinya dan memeluknya erat. Menyapanya dengan anggur yang selalu ingin diteguknya.
“Aku mengasihimu,” lembut suara itu dan pintu langit terbuka. Tina terbangun hanya untuk menemukan seekor burung merpati mematuk-matuk kaca jendelanya. Titik-titik patuk itu mengukir tanda hati. Pasti lah pesan dari surga.
Tak lama, bagai pahlawan kesiangan, asmara baru itu datang bersama seraut wajah kharismatik dan suara bagai Bapa memanggil anak-Nya. Dia mengingatkan Tina adalah orang pilihan. Bersama-sama mereka melayani Sang Raja di gereja yang sama. Tina terjerat cinta lagi, bahkan lebih kuat, dan yang sempurna. Karena cinta si pelayan mimbar itu tak pernah salah di matanya. Setiap Tina membantah, panah-panah firman yang bagai pedang bermata dua akan ditancapkan lelaki itu ke akalnya. Lebih baik tinggal di padang gurung daripada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah. Dan Tina tak ingin lelakinya meninggalkannya pergi ke padang gurun. Jadilah Tina kekasih yang manut dan lembut. Bila aku mengingatkannya, perempuan yang dimabuk cinta itu malah menasihatiku balik dengan petuah-petuah lebih menusuk.
“Kamu jadi wanita jangan terlalu duniawi,” katanya pelan dan terdengar bagai utusan dari langit. Wanita yang cakap seperti dia, kata yayangnya, ia lebih berharga dari permata. Pria itu telah menyulap Tina bagai wanita idaman ter-Amsal di antara gadis-gadis kosmopolitan.
Tina makin kagum dan mendalam. Dengan setia dan tanpa mengeluh sedikitpun diikutinya lelaki itu kemanapun dia diutus melayani umat. Ke desa di atas gunung, di tengah pulau yang sebutir obat sakit kepala pun sulit didapat, di antara massa kelaparan, korban banjir bandang, pengidap-pengidap kanker yang putus harapan, semua yang letih lesu berbeban berat. Puji dan kagum mengalir menyirami eksistensi wanita yang setia mendampingi lelakinya dalam susah dan lebih dari susah. Calon penolong yang sempurna. Sesempurna keahliannya menutupi lukisan biru-hitam-kemerahan di sana-sini tubuhnya.
Sampai suatu hari lelaki berdarah panas itu menendangnya dari anak tangga yang tinggi hingga jatuh ke lantai, mematahkan tulangnya, membentur kepalanya ke lantai marmer yang bagai besi dan membuatnya sampai memar otak, koma, dan nyaris mati. Bangun-bangun, oleh dokter Tina dinyatakan “miring” alias gila! Parahnya, setelah dinyatakan sedeng bersamaan didapati dia hamil. Dan tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Begitulah kenapa Lara kini dalam asuhanku.
Sejak Lara lahir, aku yang menjaganya. Kutampung dia di istanaku bersama seorang pengasuh. Bukan, bukan karena aku menyayangi Lara. Atau karena dia anaknya karibku. Tapi hanya sekadar tanggung jawab moral membantu seorang sahabat saja. Aku gitu loh, yang aktivis perempuan, masa’ tega nggak melakukan perkara moral ini? Rasa kemanusiaanku terlalu tinggi untuk tidak melakukannya. Sebatas rasa kemanusiaan ya.... Nggak ada yang personal. Kalaupun ini terjadi sama pengemis nggak kukenal pun, aku akan tetap melakukan hal yang sama. Dan nggak pernah ada istilah hubungan ibu-anak antara aku dan anaknya si Tina ini. Lara kuperlakukan setara. Aku bahkan memintanya memanggil namaku. Aku nggak mau dia memanggilku mama, Ibu, bunda, tante atau tetek bengek sedemikian. Aku nggak mau dia lembek kayak ibunya. Aku mau dia dewasa. Tegar. Kuat.
Denting piano mulai bersyahdu. Lara sudah berdiri di tengah-tengah panggung, wajahnya yang dibuat serius siap menyanyikan kemulian Sang Al Maseh di hari nan penuh pengampunan. Aku malah sibuk mengintip layar gadget air-ku dan nggak sabaran menunggu telepon balik dari supir yang mendadak tadi sore tak bisa menjemput anak ini.
***
Bukan hal sulit mencintai Bono. Dia ganteng, gagah, baik, tegas, dari keluarga terpandang, lulusan hukum universitas terkenal di Boston, Amerika, juga pengusaha muda sukses, plus... setia. Kurang apa lagi? Oh ya, satu lagi. Kalau lihat dia main gitar, wuih! Perempuan mana yang tak meleleh?
Mencintaiku pun rasanya bukan hal sulit. Akulah si semampai berkulit putih bersih sang penghantar ceria kemanapun aku pergi. Rambut panjang lebatku yang wangi sempat “memaksaku’ menjadi bintang iklan. Sebuah produk sabun kecantikan pun hendak “membeli” kulitku dan menawari membuka sebagian auratku di depan kamera dengan tawaran mahal, aku menolak. Terlalu jauh dari idealismeku. Sementara yang paling kubanggakan adalah gelar Master-ku di bidang Negotiation And Conflict Resolutions keluaran universitas ternama di California, Amrik. Karirku sebagai aktivis perempuan pun membuatku banyak disegani publik. Aku dan Bono, sejoli serasi profesional muda masa kini. Kamilah Brangelina* versi non-celeb. Begitu komentar yang sering kudengar.
Segalanya berjalan lancar. Hubungan kami tumbuh seperti bunga hutan tropis bersanding derai musim hujan. Kami siap membangun keluarga ideal. Hanya satu, lelakiku tak setuju membawa si “anak haram” ke dalam bahtera kami. Alasannya...
“Aku nggak mau kamu bawa “PR” dalam pekawinan kita.” Satu syarat yang dilontar Bono sebelum kami menikah itu sungguh gampang dan masuk akal bagiku. Aku setuju. Aku siap menitipkan Lara ke sebuah asrama Katholik terbaik paling disiplin di kota ini. Nggak ada masalah. Memang lebih baik memulai pernikahan tanpa ada “orang ketiga”. Pun sebagai anak yg terlahir dalam situasi ini, aku rasa sudah saatnya Lara belajar menghadapi kenyataan, persis seperti mentalnya yang selama ini aku asah. Aku sudah membentuk karakternya jadi anak yang tegar dalam rentang lima tahun usia golden age-nya.
Malamnya kuutarakan rencana ini pada Lara. Esoknya dia sudah bangun dan mengepang rambut panjangnya sendiri, mengepak barang-barangnya sendiri dan siap berangkat. Tak satu protes pun keluar dari celotehnya. Tak ada tangis, ngambek, takut. Aku melepasnya dengan bertepuk dada.
Life is a garden of roses.
Pernikahan kami indah. Tapi lama-lama seperti ada yang kurang. Kasih sayang, belaian, perhatian, atau uang belanja...., bukan, bukan itu. Semua kebutuhanku dilimpahi oleh Bono. Sebaliknya, aku tidak pernah tahu apa yang suamiku butuh. Bono terlalu punya segalanya sendiri. Bila aku terlalu sibuk pun, dia nggak protes. Dia tak pernah minta diperhatikan, minta diurusi, minta pendapat, atau sekadar senyumku. Sementara aku butuh dia perlu aku. Harapan itu makin sirna seiring dirinya yang kian hari kian sempurna bagi dirinya. Rasanya andai kupunya segala yang di dunia pun, dia tak akan pernah meminta apapun dariku. Dan kalau dia mau, dia bisa menikahi dirinya sendiri dan menafkahi dirinya sendiri lahir batin. Semua itu membuatku hilang. Dan andai aku hilang benaran pun, dia tak bakal tahu.
Aku tak lagi ceria, kurang bersemangat, tak lagi suka bercerita, jadi sering melamun. Kupandang-pandangi sering-sering foto-foto si kecil Lara tak jemu-jemu. Fotonya waktu tertawa, waktu menangis, waktu ngambek. Di samping tempat tidur kami, kutempatkan foto Lara lebih banyak dari foto kami sendiri. Setiap hari kutelepon asrama tempat Lara tinggal, walau sering menyalahi jadwal. Walau kadang Lara malas ngomong.
Makin lama-lama, baju-baju yang kukenakan mulai tampak membosankan, kadang kusut. Bukannya beli baju baru buatku sendiri, aku malah sering belanja baju-baju baru dan sepatu buat Lara. Selemari sudah. Dan aku tak tahu bagaimana cara memberikan semua ini, tanpa penolakan.
Bono mencurigai satu sebab.
Lalu dibawanya aku menemui si Tina kecil. Kini di mataku, dia tampak bagai malaikat tak berdosa, tapi tampak begitu tegar. Dia tak merengek, tak menangis. Gurunya bilang, tak pernah dia mewek minta bertemu aku. Dia bangun pagi sendiri, mandi tak pernah telat, sikat gigi tanpa diingatkan, mempersiapkan buku pelajarannya sendiri. Makan tanpa dipaksa. Belajar tanpa dipelototi. Dia begitu mandiri. Lagi gurunya bilang, aku benar-benar sukses mendidiknya menjadi anak yang tegar dan bisa berdiri di kaki sendiri. Harusnya aku kembali menepuk dada. Tapi detak dada ini tak lagi bangga.
Waktu aku datang, dia memelukku dan bercanda sebentar denganku. Aku begitu ingin memeluknya. Mendekapnya lama-lama. Mengeluskan pipiku ke lembut pipinya. Menatap binar-binar matanya yang bagai bintang-bintang. Berusaha kuraih tangannya, dia hanya menarik pelan. Lalu dia segera berlalu, kembali sibuk bermain dengan teman-temannya dan buku-bukunya. Berusaha kucuri-curi pandang matanya agar menatapku. Tapi dia tak menangkap sorotku. Saat waktuku habis dan aku mau pamit pulang, dia dengan mantap berkata riang, “nggak usah sering-sering datang, Ra. Kasian, repot pasti banyak kerjaan. Aku di sini nggak apa-apa kok. Banyak temen. PR banyak, jadi banyak kegiatan. Aku sibuk banget. Nanti bisa terganggu. Maaf ya.”
Sakitnya rongga-rongga napas ini mendengarnya.
Begini ternyata rasanya tak dibutuhkan. Udara terasa makin sulit menelusuri paruku. Saraf-sarafku pun terasa berdenyut-denyut menyedot darahku sendiri. Andai tak pernah kualami saat-saat itu. Pengalaman mendekap sesosok tubuh mungil yang begitu lemah dan lembut, dengan mata yang hanya mengenal mataku, yang harap hidupnya hanya tertumpu pada satu aku. Kebergantungan total yang merapuhkan segala ke-maha-aku-an-ku. Dan aku bersumpah, akan kudapatkan semua itu kembali! Dengan, atau tanpa persetujuan Bono!
Cepat-cepat kususun permohonan pengembalikan si malaikat kecil kembali ke rumah, ke pangkuanku. Tentu saja ini yang kudapat:
“Makanya kan, sampai sekarang kita nggak bisa punya anak sendiri! Karena kamu nggak kasih kita waktu, nggak kasih kita kesempatan! Semua energimu tertumpah pada anak itu!” kecam lelaki sebelah sayapku. Dia bilang aku harus memilih, “aku atau anak itu!” Yang saat dia mengucapkan semua itu pelan-pelan dalam gerak lambat kulihat segenap sayapku perlahan rontok satu-satu, lalu habis.
Aku mengutarakan maksudku pada pihak asrama. Dua hari kemudian aku mendapat jawaban. Pihak sekolah menyambut lega lalu mengeluarkan persetujuan surat resmi dengan mudah. Tapi si miss little independent yang kini sudah masuk sekolah dasar itu tak mau.
“Aku mau di sini aja, Ra. Aku lebih senang di sini. Aku biasa di sini. Lagian nanti Bono gimana?”
Aku hanya bisa menghela napas yang makin sesak. Tak mungkin memohon. Bagiku sadar betul, itu seperti memaksa beringin bonsai yang sudah kubentuk untuk kembali tumbuh menjadi pohon beringin raksasa. Aku terpana.
Dia tidak memerlukanku. Duniaku mendadak limbo.
Dia membuatku menderita karena ketegarannya. Dia menghabiskan banyak sekali uangku dengan memasukkannya ke sekolah super mahal ini. Dia membuatku memilih meninggalkan Bono. Dia merampas banyak sekali energiku sampai terbengkalai banyak urusan pekerjaan. Harusnya aku melupakannya, segenap logikaku menarikku ke arah lain untuk mementahkan semua ini. Tapi aku bisa apa?
***
Hari itu setelah pulang kebaktian pagi Natal, aku menjenguk Tina. Dia melempar mukaku dengan segumpalan kertas coret-coret yang nyaris cabik. Kubuka dan kubaca, sebuah puisi...
“Siapa Yang Tak Terobsesi Candu?”
Kuracik cinta selayak candu
yang kutagih-tagih sampai berderai
yang membuatku menggelapar setiap gagal kureguk
yang kan kukejar meski ku, tinggal sebuah nama
candu yang mengikatku
melepas semua takutku
mempersembahkanku di singgasana
kenikmatan paling raga
kutiti indah
kugumul nikmat
kusentuh terang
kuselam gelap
kuakrab asing
kutantang liar
kupecah nirwana
tapi tak kutemu,
sebuah puas
lalu kuracik candu lain
jauh bersenyawa dari cinta
ah, sesederhana itu
Kusumpahi kau putri-putri Bumi
jangan bangkitkan cinta sebelum diingininya!
Kuremuk kembali kertas itu. Nyaris bersamaan dengan remuknya dokumen tuntutan cerai Bono. Separuh jiwaku melayang membayangkan terpisah dari Bono. Tapi aku rela asal tubuh mungil itu bersedia kudekap lagi.
Cintakah ini? Obsesikah? Ya Yesus... Tolong putihkan kutukan semerah kirmizi ini. Aku telah menjadi perempuan yang mati-matian mengingini kasihnya.
END_
Brangelina*=pasangan artis Hollywood Brad Pitt dan Angelina Jolie.
Selamat Natal dan Tahun Baru 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H