Mohon tunggu...
SANG GURU BIMBEL
SANG GURU BIMBEL Mohon Tunggu... Guru - Sang Guru Management

SANG GURU MANAGEMENT LKP SANG GURU LPK SANG GURU TOKO SG BEAUTY

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Senja di Hanjung

23 Oktober 2024   20:46 Diperbarui: 23 Oktober 2024   21:30 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil bernama Hanjung, terletak di tepi pantai yang tenang, hiduplah seorang wanita muda bernama Raina. Ia baru saja pindah dari kota besar dengan harapan memulai hidup baru setelah lelah dengan kehidupan perkotaannya yang penuh tekanan. Raina adalah seorang dokter gigi, dan ia membuka klinik kecil di sudut jalan utama desa itu.

Hari-hari pertama di Hanjung terasa sunyi bagi Raina, sampai suatu hari, seorang pria datang ke kliniknya. Namanya Han, pria lokal yang tampan, sering membantu penduduk desa dengan berbagai hal. Han terkenal sebagai "orang serba bisa" di desa itu. Mulai dari memperbaiki jendela rumah, mengurus tanaman, hingga memancing di laut, semuanya ia lakukan dengan senyuman hangat.

Ketika pertama kali bertemu, Raina tak bisa tidak memperhatikan betapa mudahnya Han tersenyum. Senyuman itu menular, membuat hati Raina sedikit lebih ringan. Han datang bukan karena sakit gigi, melainkan untuk memasang papan nama baru klinik Raina. "Dokter baru di desa ini harus punya papan nama yang layak," katanya, sambil tertawa kecil.

Sejak hari itu, Han dan Raina sering bertemu. Entah itu saat Han sedang memperbaiki sesuatu di kliniknya, atau ketika mereka berpapasan di pasar ikan desa. Meski sering terlibat dalam percakapan kecil, keduanya selalu merasa nyaman satu sama lain. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka---sesuatu yang pelan-pelan mengisi kekosongan di hati Raina.

Suatu sore, ketika matahari mulai terbenam dan sinarnya memantul di permukaan laut, Han mengajak Raina berjalan-jalan di dermaga. "Kau tahu," kata Han, memandang jauh ke lautan, "Dermaga ini adalah tempat favoritku. Setiap kali aku merasa bingung atau butuh tempat untuk merenung, aku selalu datang ke sini."

Raina tersenyum dan memandang ke arah yang sama. "Aku mengerti. Tempat ini memang punya suasana yang menenangkan."

Mereka berdiri dalam keheningan untuk beberapa saat, mendengarkan suara ombak yang lembut. Tanpa disadari, hati Raina semakin terbuka kepada Han. Ada sesuatu yang membuatnya merasa aman dan nyaman di dekat pria itu---sesuatu yang berbeda dari kehidupannya di kota. 

------------------

Di desa Hanjung, suasana selalu terasa damai. Udara segar yang bertiup dari laut, suara ombak yang memecah pantai, dan kehidupan yang berjalan perlahan membuat desa itu seperti surga kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Raina semakin nyaman tinggal di desa itu. Setiap hari, ia bertemu dengan penduduk desa yang ramah, dan tentu saja, dengan Han yang selalu hadir di setiap sudut hidupnya.

Hubungan mereka berkembang dengan pelan tapi pasti. Setiap momen bersama Han, Raina merasa hidupnya di desa ini semakin indah. Hingga suatu hari, Han datang ke klinik Raina di sore hari, saat pasien terakhirnya baru saja pulang.

"Dokter cantik," panggil Han sambil menyandarkan tubuhnya di pintu klinik, membuat Raina tersenyum. Han memang sering memanggilnya begitu, dengan nada menggoda yang membuat Raina tersipu.

"Kau tahu, aku tidak pernah meminta panggilan seperti itu, kan?" Raina tertawa kecil sambil membereskan peralatannya.

"Justru karena kau tidak minta, makanya aku memanggilmu begitu," Han mengedipkan mata, mendekat ke meja resepsionis. "Hari ini kau terlihat lelah. Mau aku buatkan teh?"

Raina menatap Han dengan senyum kecil di bibirnya. "Teh buatanmu selalu enak, tapi sepertinya hari ini aku butuh yang lebih dari itu."

"Oh? Apa yang lebih dari teh?" Han mengangkat alisnya, penasaran.

Raina menghela napas sambil tertawa ringan. "Mungkin... jalan-jalan lagi di dermaga? Suasananya selalu menenangkan, dan... mungkin sedikit obrolan santai."

Han tersenyum lebar. "Baiklah, dokter cantik. Mari kita jalan-jalan."

Sore itu, matahari tenggelam perlahan di ufuk barat, meninggalkan jejak warna jingga dan ungu di langit. Mereka berjalan beriringan di dermaga, menikmati pemandangan laut yang tenang. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin khas pantai.

"Han," Raina memecah keheningan, "Aku kadang merasa bersalah karena meninggalkan hidupku di kota. Seperti aku melarikan diri dari masalah-masalahku di sana."

Han menatapnya sejenak, kemudian dengan tenang menjawab, "Semua orang punya caranya sendiri untuk mencari ketenangan, Raina. Kadang, menjauh dari sesuatu bukan berarti melarikan diri. Mungkin itu cara kita menemukan diri kita lagi."

Raina menunduk, mendengar kata-kata Han yang sederhana namun begitu dalam. "Kau benar. Di sini, aku merasa bisa bernapas lagi, seolah ada ruang yang cukup untukku berpikir."

Han berhenti berjalan dan menatapnya dengan serius. "Kau tahu, aku juga merasa seperti itu sejak kau datang ke sini. Desa ini memang selalu damai, tapi sejak kau datang, semuanya terasa... lebih hidup."

Raina tersipu, merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat. "Kau terlalu baik padaku, Han."

Han tertawa kecil, kemudian melangkah sedikit mendekat. Ia meraih tangan Raina perlahan, membuat Raina terkejut namun tidak menarik diri. Mereka berdiri berhadapan, angin laut mengibaskan rambut mereka.

"Raina," suara Han menjadi lembut, "Aku ingin kau tahu, sejak kau datang ke desa ini, aku tidak hanya merasa lebih hidup. Aku... merasa ada alasan lain untuk bangun setiap pagi. Alasan yang berbeda dari sebelumnya."

Mata Raina membesar, menatap Han yang kini begitu dekat. Ia merasa tubuhnya memanas meski angin sore terasa dingin di kulitnya. "Han, aku..."

Sebelum Raina bisa melanjutkan, Han mengangkat tangannya yang masih menggenggam tangan Raina dan berkata, "Aku tidak meminta jawaban apa pun sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, aku selalu ada di sini untukmu. Apa pun yang terjadi."

Keduanya saling berpandangan dalam keheningan, dan di detik itu, segalanya terasa tepat. Raina merasakan hatinya terbuka lebih lebar dari sebelumnya. Tak ada lagi keraguan, hanya kehangatan yang mengisi dadanya.

Dengan lembut, Raina tersenyum dan menggenggam tangan Han lebih erat. "Terima kasih, Han. Aku... aku juga merasa begitu. Kau membuatku merasa diterima, lebih dari yang aku kira."

Han tersenyum lebar, dan seperti biasa, senyum itu menular pada Raina. Mereka kembali berjalan beriringan, dengan tangan yang masih saling menggenggam, melewati dermaga yang mulai diterangi sinar bulan.

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka semakin dekat. Han sering datang ke klinik Raina dengan alasan-alasan kecil---membawa makanan dari pasar, memperbaiki hal-hal sepele di kliniknya, atau sekadar mampir untuk menyapa. Raina tahu bahwa Han mencari alasan untuk menghabiskan waktu bersamanya, dan jujur saja, ia tidak pernah keberatan.

Suatu malam, setelah pesta kecil di desa untuk merayakan festival panen, Han mengajak Raina ke bukit kecil di dekat pantai. Mereka duduk di atas selimut, memandang langit yang penuh dengan bintang.

"Kau tahu," Han mulai berbicara, "Di desa ini, ada sebuah mitos. Jika kau melihat bintang jatuh bersama seseorang yang spesial, permintaanmu akan terkabul."

Raina tertawa kecil. "Apa kau percaya dengan mitos seperti itu?"

Han tersenyum jahil. "Tidak sepenuhnya. Tapi... siapa tahu? Mungkin kita bisa mencobanya."

Raina memandang ke arah langit, berharap melihat bintang jatuh. Mereka duduk dalam diam, menikmati kebersamaan itu. Hingga tiba-tiba, sebuah bintang jatuh melintas di langit.

"Han! Lihat!" seru Raina, menunjuk ke langit.

Han hanya tersenyum, lalu menoleh padanya. "Aku tidak perlu melihat bintang jatuh untuk tahu apa yang aku inginkan."

Raina terdiam, menatap Han yang kini menatapnya dengan serius. "Apa maksudmu?"

Han meraih tangan Raina dan dengan lembut berkata, "Aku sudah tahu apa yang aku inginkan sejak lama, Raina. Itu... kau."

Raina terkejut, matanya berkaca-kaca. Tapi kemudian, ia tersenyum, perasaan hangat mengalir dalam dirinya. "Han, aku... aku juga menginginkan hal yang sama."

Dan di bawah langit penuh bintang, diiringi suara ombak yang menghantam pantai, mereka saling mendekat. Sebuah senyuman penuh harapan dan cinta menghiasi wajah mereka berdua, mengiringi malam yang menjadi awal dari sebuah kisah cinta yang baru di desa Hanjung.

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Raina dan Han merasakan momen yang tak terlupakan. Cinta mereka yang tumbuh pelan namun pasti, kini terungkap tanpa keraguan. Hari-hari di desa Hanjung semakin terasa hangat dengan kehadiran satu sama lain, dan kehidupan Raina yang semula tenang kini penuh dengan senyuman.

Namun, tak lama setelah momen indah itu, Raina menerima sebuah surat dari kota besar. Surat itu berasal dari klinik besar yang pernah ia impikan untuk bekerja sebelum ia pindah ke desa. Mereka menawarkan Raina posisi impian---kesempatan langka untuk memimpin departemen gigi di salah satu rumah sakit terbaik di negara itu.

Raina tertegun. Ini adalah hal yang pernah ia impikan bertahun-tahun, tetapi mengapa sekarang ia merasa ragu? Tawaran itu begitu menggoda, tapi memikirkan meninggalkan Hanjung---meninggalkan Han---membuat hatinya berat. Ia memutuskan untuk tidak langsung memberi jawaban dan menyimpan surat itu di laci meja kliniknya.

Beberapa hari kemudian, Han menemui Raina di kliniknya. Wajahnya cerah seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu di tatapannya yang seolah mengerti bahwa ada hal besar yang sedang Raina pikirkan.

"Ada yang ingin kau bicarakan, Raina?" tanya Han, menyadari perubahan di wajahnya.

Raina terdiam sesaat, menatap Han, kemudian akhirnya menyerahkan surat itu kepadanya. Han membaca surat itu dengan seksama, kemudian meletakkannya di meja tanpa ekspresi yang berarti. "Ini... luar biasa," katanya pelan.

"Ya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana," jawab Raina. "Ini adalah kesempatan yang dulu aku impikan. Tapi sekarang... semuanya terasa berbeda."

Han mendekati Raina, meletakkan tangan di pundaknya, memberi sentuhan yang menenangkan. "Apa yang membuatmu merasa berbeda?"

Raina menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Karena sekarang aku punya alasan untuk tetap di sini. Kau."

Han tersenyum, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. "Raina, aku selalu ingin yang terbaik untukmu. Jika ini adalah impianmu, aku tidak bisa menjadi penghalang bagimu."

"Tapi aku takut kehilanganmu," suara Raina bergetar.

Han menarik napas dalam-dalam, lalu memegang tangan Raina dengan lembut. "Aku tidak akan ke mana-mana. Aku di sini. Di Hanjung. Dan jika kau pergi, desa ini akan selalu menjadi rumahmu. Aku... akan selalu menjadi rumahmu."

Raina merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Han..."

Han menghapus air matanya dengan ibu jarinya, senyuman lembut menghiasi wajahnya. "Jangan takut. Jika memang takdir kita untuk bersama, jarak tak akan memisahkan kita."

Beberapa minggu berlalu, Raina terus bimbang dengan keputusannya. Han tak pernah memaksanya untuk memilih. Ia tetap menjadi sosok yang penuh pengertian, mendukung Raina dengan segala yang ia butuhkan. Hingga akhirnya, malam sebelum Raina harus memberikan keputusan pada rumah sakit, Han mengajaknya ke dermaga lagi.

Malam itu sangat tenang, hanya suara ombak dan angin yang terdengar. Han dan Raina duduk berdua, tangan mereka saling menggenggam.

"Apa pun keputusanmu besok," kata Han, suaranya tenang namun tegas, "Aku akan selalu mendukungmu. Ini hidupmu, dan aku ingin kau memilih jalan yang paling membahagiakanmu."

Raina menatap Han, dan saat itu, ia menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan. Bukan soal mimpi besar atau karir yang gemilang, tapi tentang rasa tenang, rasa aman, dan kebahagiaan yang hanya ia rasakan ketika bersama Han di desa ini. Semua ambisinya di kota besar terasa jauh lebih kecil dibandingkan apa yang ia miliki sekarang di Hanjung.

Ia tersenyum, senyum yang penuh keyakinan. "Aku sudah tahu apa yang aku inginkan, Han."

Han menatapnya dengan rasa penasaran, tapi tidak mengatakan apa-apa, membiarkan Raina berbicara.

"Aku ingin tetap di sini. Bersamamu. Di desa ini." Raina berkata sambil menatap laut, lalu berbalik menatap Han. "Aku sudah menemukan tempat yang membuatku bahagia, dan itu adalah di sampingmu."

Han terdiam sesaat, kemudian tersenyum lebar, senyum yang selama ini membuat hati Raina berdebar. "Aku sangat senang mendengarnya, Raina. Aku janji, aku akan selalu ada di sini untukmu, seperti aku selalu ada sebelumnya."

Mereka saling berpandangan, dan di bawah langit malam yang penuh bintang, Han mendekatkan wajahnya ke wajah Raina. "Aku cinta padamu, Raina."

Raina merasa seolah waktu berhenti saat kata-kata itu keluar dari bibir Han. Dengan lembut, ia membalas, "Aku juga cinta padamu, Han."

Mereka berciuman lembut di bawah sinar bulan, dengan ombak yang menjadi saksi bisu cinta mereka. Suara laut, desiran angin, dan hangatnya pelukan Han membuat Raina merasa bahwa ia telah membuat keputusan yang benar.

Beberapa bulan kemudian, Raina tetap berada di Hanjung. Ia menjalani hari-hari di klinik dengan pasien-pasien yang semakin akrab, dan di malam hari, ia selalu bisa menikmati kehadiran Han di sisinya. Kehidupan di desa kecil itu mungkin tidak penuh dengan gemerlap seperti di kota, tapi di sana, Raina menemukan cinta, kedamaian, dan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Dan setiap kali mereka berjalan di dermaga, mereka selalu ingat malam itu, ketika mereka memutuskan untuk saling mencintai dan tetap bersama, di desa kecil yang penuh kenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun