Raina tertegun. Ini adalah hal yang pernah ia impikan bertahun-tahun, tetapi mengapa sekarang ia merasa ragu? Tawaran itu begitu menggoda, tapi memikirkan meninggalkan Hanjung---meninggalkan Han---membuat hatinya berat. Ia memutuskan untuk tidak langsung memberi jawaban dan menyimpan surat itu di laci meja kliniknya.
Beberapa hari kemudian, Han menemui Raina di kliniknya. Wajahnya cerah seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu di tatapannya yang seolah mengerti bahwa ada hal besar yang sedang Raina pikirkan.
"Ada yang ingin kau bicarakan, Raina?" tanya Han, menyadari perubahan di wajahnya.
Raina terdiam sesaat, menatap Han, kemudian akhirnya menyerahkan surat itu kepadanya. Han membaca surat itu dengan seksama, kemudian meletakkannya di meja tanpa ekspresi yang berarti. "Ini... luar biasa," katanya pelan.
"Ya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana," jawab Raina. "Ini adalah kesempatan yang dulu aku impikan. Tapi sekarang... semuanya terasa berbeda."
Han mendekati Raina, meletakkan tangan di pundaknya, memberi sentuhan yang menenangkan. "Apa yang membuatmu merasa berbeda?"
Raina menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Karena sekarang aku punya alasan untuk tetap di sini. Kau."
Han tersenyum, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. "Raina, aku selalu ingin yang terbaik untukmu. Jika ini adalah impianmu, aku tidak bisa menjadi penghalang bagimu."
"Tapi aku takut kehilanganmu," suara Raina bergetar.
Han menarik napas dalam-dalam, lalu memegang tangan Raina dengan lembut. "Aku tidak akan ke mana-mana. Aku di sini. Di Hanjung. Dan jika kau pergi, desa ini akan selalu menjadi rumahmu. Aku... akan selalu menjadi rumahmu."
Raina merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Han..."