Mohon tunggu...
SANG GURU BIMBEL
SANG GURU BIMBEL Mohon Tunggu... Guru - Sang Guru Management

SANG GURU MANAGEMENT LKP SANG GURU LPK SANG GURU TOKO SG BEAUTY

Selanjutnya

Tutup

Horor

Rumah Hening

22 Oktober 2024   13:10 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:33 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com/

Di sebuah desa terpencil bernama Kampung Selaksa, terhampar misteri yang hanya berani dibicarakan dalam bisikan-bisikan lirih, seolah ketakutan mereka akan mengundang sesuatu yang tak kasat mata. Desa itu, meski tampak damai dengan kabut tipis yang menyelimuti perbukitan dan pepohonan tua yang rimbun, menyimpan rahasia kelam di balik ketenangannya. Penduduknya hidup dalam bayang-bayang kepercayaan kuno, tentang sesuatu yang tak berani mereka tantang atau coba singkap.Di batas desa, jauh di tengah hutan lebat yang tidak pernah dikunjungi oleh siapapun yang waras, berdiri sebuah rumah tua yang hampir tertelan oleh semak belukar dan akar-akar besar yang menggeliat di tanah. Rumah itu tidak pernah ditinggali, namun pintu dan jendelanya selalu tertutup rapat, seolah menunggu sesuatu---atau seseorang---untuk datang. Orang-orang desa menyebutnya "Rumah Hening", tempat di mana suara angin pun enggan singgah, karena di sana keheningan membawa teror yang mematikan.

Rumah Hening dipercaya menjadi pusat dari pesugihan, ritual gaib yang menjanjikan kekayaan melimpah bagi mereka yang berani menghadapinya. Tapi kekayaan itu bukanlah hadiah, melainkan kutukan. Para tetua desa sering memperingatkan, "Apa yang kau dapat dari sana, tidak pernah gratis. Ada harga yang lebih besar dari emas dan perak, lebih berat dari beban apa pun yang bisa kau bayangkan."

Bulan purnama selalu membawa kegelisahan bagi warga Kampung Selaksa. Saat malam tiba dan sinarnya menerangi celah-celah hutan, mereka yang putus asa sering terdorong untuk mendatangi Rumah Hening, berharap kekayaan instan. Desakan kehidupan dan kemiskinan yang mencekik sering kali mengalahkan rasa takut mereka. Namun, satu per satu mereka yang masuk ke dalam rumah itu, tidak pernah kembali sama. Sebagian tidak pernah kembali sama sekali.

Desa itu dipenuhi cerita tentang orang-orang yang mendadak kaya setelah kunjungan mereka ke Rumah Hening. Ladang mereka melimpah, perniagaan mereka berkembang, namun kebahagiaan tak pernah menyertai mereka. Tatapan kosong dan tubuh yang mulai lemah menjadi tanda pertama. Lalu, suara-suara aneh terdengar dari balik dinding rumah mereka setiap malam---suara-suara yang hanya bisa mereka dengar. Dan pada akhirnya, mereka akan menghilang. Tidak pernah ditemukan, hanya menyisakan desas-desus yang semakin mencekam.

Bertahun-tahun yang lalu, seorang pria bernama Arga tiba di Kampung Selaksa, sebuah desa yang seolah terputus dari dunia luar, di mana kabut menggantung sepanjang hari, dan desas-desus tentang kuasa gaib beredar tanpa henti. Arga datang dengan beban berat di pundaknya---kesulitan hidup yang tak pernah usai.  

Arga tumbuh dalam kemiskinan yang membelenggunya sejak kecil. Ayahnya seorang petani dengan ladang yang tak pernah menghasilkan lebih dari cukup untuk sekadar bertahan hidup, dan ibunya meninggal ketika Arga masih sangat kecil. Sejak kecil, ia terbiasa melihat keluarganya berjuang keras hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Setiap musim panen yang gagal adalah tambahan luka baru bagi Arga dan ayahnya---bertambah utang di sana-sini, penghinaan dari orang-orang kaya di desa, dan tatapan sinis dari mereka yang hidup lebih baik.

Namun, yang benar-benar menggoreskan luka terdalam dalam hidup Arga adalah kematian ayahnya. Sang ayah jatuh sakit, dan karena kemiskinan yang mereka alami, tidak ada uang untuk membawanya ke dokter atau membeli obat-obatan. Arga hanya bisa menyaksikan ayahnya terbaring lemah di ranjang, tubuhnya kian hari kian kurus, sampai akhirnya hembusan napas terakhir meninggalkan bibir ayahnya, tanpa perlawanan. Kepergian sang ayah menyisakan kehampaan, tetapi juga dendam dalam hati Arga terhadap nasib malang yang selalu menghantuinya.

Sejak saat itu, kehidupan Arga makin terpuruk. Ia harus mengurus ladang kecilnya seorang diri, namun tanah yang ia miliki lebih mirip tanah mati---kering, tandus, dan tidak menghasilkan apa-apa. Hujan jarang turun, dan apa pun yang ia tanam, selalu gagal tumbuh. Setiap hari, ia harus menanggung tatapan kasihan dari para tetangga yang terkadang melemparkan beberapa biji beras untuk sekadar membuatnya tetap hidup. Tetapi bagi Arga, setiap tatapan itu terasa seperti penghinaan yang membakar harga dirinya.

Puncak penderitaannya terjadi ketika seorang saudagar kaya di desa yang terkenal tamak dan licik datang untuk mengambil satu-satunya peninggalan berharga dari almarhum ayahnya---sepetak ladang kecil yang pernah menjadi sandaran hidup keluarganya. Utang yang terus menumpuk karena kegagalan panen membuat ladang itu tak bisa lagi diselamatkan. Di hadapan semua orang, Arga dipaksa menandatangani dokumen penyerahan tanah milik keluarganya. Saudagar itu tersenyum sinis saat menarik dokumen itu dari tangannya, meninggalkan Arga berdiri dalam kekosongan, kehilangan tanah, martabat, dan harapannya.

Tanpa tanah, tanpa uang, dan tanpa keluarga, Arga menjadi bahan cemoohan di desa. Dia hidup dalam kemiskinan yang lebih dalam daripada sebelumnya, merasakan setiap penghinaan yang dilontarkan padanya seperti luka yang tak pernah sembuh. Orang-orang mulai melupakannya, hanya memandangnya sebagai pria miskin yang tak punya masa depan. Setiap malam, Arga duduk di dalam gubuk reyotnya, mengutuki nasib dan memohon kepada langit agar diberi satu kesempatan untuk mengubah hidupnya.

Namun, kesempatan itu tidak pernah datang---sampai malam ketika ia bertemu dengan kakek tua misterius di pinggir hutan. Kakek itu muncul seperti jawaban atas doa-doanya yang penuh keputusasaan. Saat kakek itu menawarkan janji kekayaan, Arga teringat semua luka dan penderitaan yang telah ia alami. Kematian ayahnya yang menyakitkan, hilangnya satu-satunya ladang yang ia miliki, serta penghinaan dan penolakan yang terus-menerus ia rasakan.

Dengan mata yang terbakar oleh rasa putus asa dan kemarahan, Arga memutuskan untuk mengambil jalan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia ingin membuktikan kepada semua orang---dan kepada nasib buruk yang selalu menghantuinya---bahwa ia bisa bangkit. Bahwa ia bisa menjadi kaya, meskipun itu berarti harus mengorbankan segalanya. Bagi Arga, tidak ada yang lebih buruk dari kemiskinan yang telah menghancurkan hidupnya, sehingga ia rela mengorbankan apapun demi kekayaan, demi kebebasan dari belenggu yang selama ini menjeratnya.

Malam itu, hutan di sekitar "Rumah Hening" dipenuhi keheningan yang mencekam. Langit di atas hutan gelap tanpa bintang, hanya bulan purnama yang menggantung di cakrawala, menyinari jalur setapak kecil yang membawa Arga menuju ke tempat ia tak pernah bayangkan akan menginjakkan kakinya. Setiap langkah diiringi oleh gemerisik dedaunan, suara burung hantu yang sesekali terdengar dari kejauhan, dan bisikan angin dingin yang menusuk kulitnya.

"Rumah Hening" berdiri di depan Arga seperti sosok makhluk tua yang terlupakan. Jendela-jendelanya tertutup debu, pintu kayunya berderit seperti mengerang pelan saat dibuka. Begitu Arga melangkah masuk, aroma kayu tua dan tanah basah menyergap hidungnya. Di dalam, hanya ada kegelapan, diterangi sedikit oleh sinar bulan yang menembus celah atap yang sudah mulai runtuh.

Di tengah ruangan utama, sebuah altar berdiri, dikelilingi oleh cermin-cermin besar yang kotor, dan patung-patung kuno yang bentuknya menyerupai makhluk-makhluk aneh dengan wajah mengerikan. Altar itu dipenuhi lilin yang menyala, meski Arga tidak tahu siapa yang menyalakannya. Di atas altar, sebuah mangkuk hitam besar terbuat dari batu, penuh dengan cairan kental yang berwarna merah tua seperti darah.

Arga merasa tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang merayapi setiap inci kulitnya. Ia tahu, tidak ada jalan kembali. Suara kakek misterius yang ia temui malam itu masih terngiang di telinganya, suaranya berat, penuh janji sekaligus ancaman:

"Kekayaan datang dengan harga. Apakah kau siap membayar harganya, Arga?"

Sekarang, di hadapan altar itu, Arga harus menjawab pertanyaan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ia mendekati altar dengan kaki gemetar, jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa hampir pecah. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya yang dipenuhi rasa cemas, namun ada kilatan harapan yang samar di matanya---harapan bahwa kemiskinan yang selalu menghantuinya akan segera berakhir.

Tiba-tiba, dari kegelapan ruangan, terdengar suara berat dan dalam yang bergema di sekelilingnya. Suara itu tidak berasal dari mana pun, tapi ada di mana-mana.

"Apa yang kau inginkan, Arga?" suara itu menembus udara seperti gemuruh petir di malam gelap.

Arga tersentak, suaranya bergetar saat menjawab, "Aku... aku ingin kaya. Aku ingin terbebas dari kemiskinan ini."

Sunyi sejenak. Lalu suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih dingin, seolah merasuk ke dalam tulang-tulangnya.

"Untuk itu, kau harus memberikan sesuatu yang paling berharga."

Arga menelan ludah, kebingungan. Apa yang paling berharga baginya? Tidak ada yang ia miliki kecuali hidupnya yang miskin. "Aku akan memberikan apa saja... apapun... asalkan aku bisa kaya," katanya, suaranya terdengar penuh keputusasaan. Namun, ia tidak tahu apa yang ia tawarkan.

Mendadak, cermin-cermin di sekelilingnya mulai bergetar, menciptakan bayangan-bayangan yang berputar seperti aliran air hitam yang meliuk-liuk, membentuk sosok bayangan besar yang kelam. Dari bayangan itu, muncul sepasang mata merah yang bersinar, memandang langsung ke dalam jiwa Arga.

Bayangan itu bergerak mendekat, menyelimuti tubuh Arga dengan dingin yang menusuk tulang. "Kau siap?" suara itu bertanya sekali lagi.

Arga mengangguk, meski tubuhnya bergetar hebat. "Ya, aku siap. Aku tidak peduli lagi. Aku ingin kekayaan."

Bayangan itu tertawa, tawa yang terdengar seperti ribuan jeritan lemah dari jauh, memenuhi ruangan dengan suara yang menyayat hati. "Kekayaan akan datang kepadamu, Arga. Namun ingat, harga yang kau bayar tidak bisa dibatalkan. Apa yang paling berharga darimu akan diambil, saat waktunya tiba."

Tangan bayangan itu terulur, dingin dan tidak nyata, meraih ke dalam dada Arga, seolah menembus kulit dan tulang tanpa rasa sakit. Arga bisa merasakan sesuatu di dalam dirinya direnggut, sesuatu yang tidak terlihat namun begitu nyata, sesuatu yang tak tergantikan. Namun, dalam keputusasaan dan ambisi, Arga mengabaikan rasa takut itu.

Tiba-tiba, altar di hadapannya bergetar. Mangkuk hitam itu mulai memancarkan cahaya merah yang berkilauan, seolah dipenuhi oleh api yang membara. Cairan merah di dalamnya mendidih, menimbulkan gelembung-gelembung besar yang pecah dengan suara serak, dan dari dalam mangkuk itu, muncul kepingan emas---sejumlah besar emas yang menyilaukan mata. Arga menatapnya dengan penuh takjub, mata yang dulunya dipenuhi kesedihan kini dipenuhi kilatan keserakahan.

"Emas...," bisik Arga dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat ia meraih salah satu kepingan emas itu, merasakan dinginnya logam mulia di telapak tangannya. Ini adalah kekayaan yang ia impikan, kekayaan yang akan membebaskannya dari penderitaan.

Bayangan itu tertawa lagi, tawa yang kini terdengar jauh, namun tetap menusuk hati Arga. "Ingat, Arga, kau tidak pernah mendapatkan sesuatu tanpa kehilangan yang lain."

Saat bayangan itu menghilang ke dalam kegelapan, Arga terdiam di sana, di depan altar yang kini dipenuhi emas. Matanya masih terpaku pada kilauan logam itu, namun di sudut pikirannya, perasaan ganjil mulai merayap. Apa yang telah ia korbankan? Apa yang paling berharga dalam hidupnya?

Tapi malam itu, dalam euforia kekayaan yang baru saja ia raih, Arga mengabaikan semua peringatan. Yang ada di pikirannya hanyalah emas, kekayaan, dan kebebasan dari kemiskinan yang telah lama menghantuinya. Bayaran itu terasa terlalu jauh di masa depan untuk ia khawatirkan sekarang.

Ia keluar dari Rumah Hening dengan tangan penuh emas, tidak menyadari bahwa ia telah menyerahkan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar harta benda---jiwanya, keluarganya, masa depannya.

Setelah pertemuan dengan kakek misterius di pinggir hutan dan menjalani ritual gaib di "Rumah Hening", kehidupan Arga berubah secara drastis. Ketika ia melangkah keluar dari rumah tua itu, malam masih sunyi, namun perasaan aneh memenuhi hatinya. Seolah ada sesuatu yang mengikutinya dari kegelapan, namun rasa takut tertelan oleh gejolak kegembiraan dari janji kekayaan yang sebentar lagi akan ia terima.

Keesokan paginya, perubahan pertama mulai terlihat. Di ladang yang biasanya gersang dan tandus, tanaman jagung dan padi yang ia tanam tumbuh subur, lebih hijau dan tinggi daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Hujan yang sudah lama tidak turun, tiba-tiba mengguyur dengan deras seolah menghidupkan setiap jengkal tanahnya. Para tetangga yang biasanya mengejeknya kini terdiam, takjub melihat ladang Arga yang begitu subur dalam semalam.

Dalam beberapa minggu, hasil panennya melimpah, melebihi harapan siapapun. Para pedagang mulai berdatangan ke rumahnya, menawarkan harga tinggi untuk membeli hasil panen Arga. Dari hasil penjualan itu, Arga bisa melunasi semua utangnya, bahkan membeli ladang tambahan yang dulu diambil oleh saudagar kaya. Tidak lama kemudian, nama Arga mulai dikenal sebagai pria yang berhasil membalikkan nasibnya.

Namun, keberuntungannya tidak berhenti di sana. Entah dari mana, beberapa barang berharga seperti emas dan perhiasan tiba-tiba ditemukan di dalam tanah yang ia gali. Masyarakat desa mulai berbisik, menganggapnya sebagai orang pilihan dewa, atau mungkin orang yang diberkati. Arga tidak peduli, baginya yang terpenting adalah kekayaan terus mengalir tanpa henti. Rumah kecilnya yang dulu reyot kini berubah menjadi rumah megah, dengan dinding kayu kokoh dan halaman yang luas.

Ekspresi Arga berubah total. Dahulu, wajahnya selalu murung dan dipenuhi kecemasan. Namun kini, senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Matanya memancarkan kegembiraan yang penuh dengan keserakahan. Setiap hari ia memeriksa tumpukan emas yang semakin banyak, mengelus-elusnya seperti harta karun. Ia mulai merasakan kekuasaan atas orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang dulu merendahkannya. Sekarang, mereka datang meminta bantuan padanya. Dan Arga, dengan senyum sinis di wajahnya, memberikan mereka secuil, hanya untuk melihat mereka berlutut dan memohon lebih banyak.

Dalam perjalanan kekayaannya, Arga bertemu dengan Mira, seorang perempuan cantik dari desa sebelah. Mira adalah putri seorang pedagang kecil yang tertarik dengan ketenaran dan kekayaan Arga. Pada awalnya, Mira tidak terlalu memperhatikan Arga, tapi setelah mengetahui bagaimana kekayaan mengalir deras ke kantongnya, ia mulai mendekatinya. Arga, yang sudah lama merasa kesepian, melihat Mira sebagai pendamping yang sempurna untuk melengkapi kesuksesannya.

Arga tidak membutuhkan waktu lama untuk menikahi Mira. Pernikahan mereka digelar dengan mewah, pesta besar yang mengundang semua orang di Kampung Selaksa dan desa-desa sekitar. Setiap orang terpana melihat kemewahan pernikahan itu---makanan melimpah, pakaian indah, dan perhiasan yang menghiasi tubuh Mira bersinar terang di bawah cahaya matahari. Arga, yang dahulu hanya bermimpi tentang kehidupan seperti ini, kini menikmati setiap detiknya. Dengan Mira di sisinya, ia merasa seperti raja, tak terkalahkan dan memiliki segalanya.

Setelah beberapa tahun hidup dalam kemewahan yang luar biasa, Arga dan istrinya, Mira, dikaruniai dua anak yang melengkapi kebahagiaan mereka. Seorang anak lelaki yang mereka beri nama Bagas, dan seorang anak perempuan kecil bernama Laras. Keduanya tumbuh dengan sehat, wajah ceria mereka selalu menyinari rumah megah yang dibangun dari kekayaan yang tak habis-habisnya mengalir ke tangan Arga.

Bagas, dengan rambut hitam tebal dan mata cemerlang, adalah anak yang cerdas dan suka berlari ke sana ke mari di halaman rumah. Setiap pagi, tawa riang Bagas akan terdengar saat ia bermain bola, berlarian mengejar ayam-ayam di halaman. Laras, dengan rambut ikal dan pipi bulatnya, selalu berada di sisi ibunya, dengan suara tawa kecilnya yang manis mengisi rumah dengan kebahagiaan. Mereka adalah dua permata yang tidak ternilai bagi Arga.

Di sore hari, Arga sering duduk di beranda rumah, memandangi anak-anaknya bermain. Mereka berdua sering berlarian di antara bunga-bunga, tertawa dan bersorak dengan gembira. Setiap kali melihat wajah ceria mereka, hati Arga terasa begitu hangat. Semua kerja kerasnya, semua perjuangannya selama ini terasa berbuah manis saat ia melihat Bagas dan Laras tumbuh dengan tawa bahagia di wajah mereka.

Suatu sore, Arga duduk bersama Bagas dan Laras di bawah pohon besar di halaman rumah. Angin sore yang sejuk berhembus, membuat daun-daun pohon bergemerisik lembut. Bagas memeluk bola di dadanya dan dengan antusias bertanya kepada ayahnya, "Ayah, kalau aku besar nanti, aku bisa jadi seperti ayah, kan? Kaya dan kuat!"

Arga tertawa kecil dan mengusap kepala Bagas, hatinya penuh kebanggaan. "Tentu saja, Nak. Kau akan lebih hebat dari Ayah. Kau bisa mendapatkan semua yang kau inginkan."

Laras yang duduk di pangkuan Mira, tiba-tiba bertanya dengan suara polosnya, "Ayah, kenapa Ayah selalu sedih kalau lihat aku sama Mas Bagas main?"

Pertanyaan Laras membuat Arga terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi cerah berubah menjadi lebih serius, meski ia berusaha tersenyum di depan anak-anaknya. Dalam-dalam, perasaan takut yang tak ia pahami mulai menghantui hatinya. Selama ini, meski kebahagiaan anak-anaknya begitu nyata, selalu ada rasa gelisah yang tak bisa ia hilangkan---seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.

"Tidak, Ayah tidak sedih," jawab Arga sambil berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Ayah sangat bahagia melihat kalian bermain. Kalian berdua adalah hal terindah yang Ayah miliki."

Namun, di balik senyum dan kata-katanya, Arga tahu bahwa perasaan itu bukan tanpa alasan. Bayangan dari perjanjian kelam yang ia buat bertahun-tahun lalu selalu muncul setiap kali ia menatap mata anak-anaknya. Arga ingat jelas apa yang suara gaib itu katakan---harga termahal adalah yang paling berharga dalam hidupmu. Dan kini, Arga tahu apa yang paling berharga baginya. Bagas dan Laras.

Di suatu malam yang lain, saat Bagas dan Laras sudah tertidur, Arga duduk di ruang tamu, merenungi nasibnya. Mira yang duduk di sampingnya menatapnya dengan mata lembut, meski dalam hatinya ia tahu ada sesuatu yang tidak pernah diceritakan suaminya.

"Ada apa, Mas?" tanya Mira lembut, tangannya menggenggam tangan Arga. "Kau sering melamun seperti ini. Apakah kau tidak bahagia dengan kehidupan kita?"

Arga terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya serak dan penuh beban, "Aku bahagia, Mira. Sangat bahagia. Tapi... aku takut. Aku takut kehilangan semua ini."

Mira tersenyum, meski ia tidak mengerti sepenuhnya, ia mencoba menenangkan suaminya. "Mas, kita sudah punya segalanya. Anak-anak kita sehat dan bahagia. Kau sudah bekerja keras untuk ini semua."

Arga menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Mira... ada sesuatu yang belum pernah kuceritakan padamu."

Mira menatap suaminya, kaget melihat air mata yang jarang sekali keluar dari mata Arga. "Apa itu, Mas?"

Dengan suara gemetar, Arga akhirnya membuka mulut, "Aku... aku telah membuat kesepakatan, Mira. Bertahun-tahun lalu, sebelum aku bertemu denganmu. Aku mencari kekayaan dengan cara yang salah. Dan sekarang, aku takut mereka akan mengambil sesuatu dariku... sesuatu yang lebih berharga daripada kekayaan."

Mira terdiam, hatinya mencelos. Dia bisa merasakan bahwa ada kebenaran yang begitu kelam di balik kata-kata Arga, namun sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara tawa kecil dari kamar anak-anak terdengar, memecah keheningan malam. Tawa yang biasanya membuat Arga tersenyum, kini terdengar seperti lonceng kematian yang menghantui batinnya.

Di dalam hati Arga, ia tahu bahwa waktunya semakin dekat. Bayangan yang pernah ia temui di Rumah Hening akan datang untuk mengambil apa yang telah ia janjikan. Dan apa yang paling berharga baginya sekarang, bukanlah emas, bukanlah kekayaan---melainkan tawa riang dari Bagas dan Laras, anak-anaknya yang polos, yang tanpa disadari telah ia pertaruhkan dalam keserakahannya.

Malam itu, Arga hanya bisa menatap anak-anaknya yang tertidur, tangisannya tertahan di tenggorokan. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar:

"Maafkan Ayah... Maafkan Ayah..."

Meskipun hatinya sering gelisah, Arga tetap bertahan pada ilusi bahwa ia bisa menghindari bayaran dari kesepakatannya. Namun, bayangan dari kegelapan itu semakin sering datang dalam mimpinya. Setiap malam, ia terbangun dengan keringat dingin, merasa bahwa ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan kamar tidurnya. Dan suara tawa serak yang pernah ia dengar di Rumah Hening kini mulai muncul di telinganya saat malam semakin larut.

Dan akhirnya, ketika kekayaan telah melampaui apa yang pernah ia bayangkan, dan keluarganya tampak begitu sempurna, malam kelam itu tiba. Malam saat bayangan dari perjanjian itu datang menagih janji yang Arga buat.

Malam itu, bulan purnama menggantung di langit seperti mata dingin yang mengawasi, memancarkan sinar perak yang menembus kabut tebal di Kampung Selaksa. Di dalam rumah Arga, udara terasa berat, dipenuhi kecemasan yang sulit dijelaskan. Istrinya, Mira, terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat seperti kertas, sementara dua anaknya tergeletak di sampingnya, napas mereka terengah-engah.

Arga duduk di ruang tamu, menggigil, meski api di perapian masih menyala hangat. Bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak bergerak liar seolah memiliki nyawa. Setiap desah angin, setiap derak kayu yang memuai, terasa seperti suara asing yang datang untuk mengambil sesuatu darinya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dalam benaknya, terngiang suara tawa yang pernah ia dengar di malam pertama ia memasuki Rumah Hening---suara yang kini seperti mengerumuni pikirannya tanpa ampun.

Tiba-tiba, TOK! TOK! TOK!

Suara ketukan di pintu membuat jantung Arga berdegup keras, seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Perlahan-lahan, ia berdiri, kakinya terasa berat, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, Arga meraih gagang pintu, membuka perlahan---tapi di sana, hanya angin malam yang dingin dan kosong, menampar wajahnya tanpa ampun.

"Apa..." suaranya terhenti di tenggorokan. Tidak ada siapa-siapa.

Saat Arga berbalik, jantungnya berhenti berdetak sejenak. Sosok itu ada di sana.

Bayangan hitam besar, tubuhnya lebih gelap dari malam, berdiri tegak di tengah ruang tamu, menatap langsung ke arah Arga dengan mata merah menyala yang seolah membara dari dalam kegelapan.

"Sudah saatnya, Arga..." suara bayangan itu terdengar seperti gemuruh guntur, dalam dan tak berperasaan, mengisi seluruh ruangan dengan kehadirannya yang menyesakkan.

Arga terhuyung ke belakang, wajahnya pucat pasi. "Apa yang... apa yang kau inginkan dariku?" suaranya pecah, dipenuhi oleh rasa takut yang selama ini ia tekan.

Bayangan itu melangkah maju, langkahnya berat, menggemakan suara retakan kayu di bawah kakinya, meski ia tak menyentuh tanah. Udara di sekeliling Arga semakin dingin, menusuk kulitnya.

"Kau sudah tahu jawabannya," bayangan itu tertawa, dan suara tawanya terdengar seperti ribuan jiwa yang menangis di dasar kegelapan. "Sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu."

Arga terguncang oleh kata-kata itu. Kepanikannya makin menjadi. "Tidak! Aku tidak punya apa-apa lagi! Aku sudah memberikan segalanya! Ambil uangku, ambil tanahku, ambil apapun yang kau inginkan, tapi jangan ambil keluargaku! Kumohon!"

Bayangan itu terdiam sejenak, lalu suara datar yang dingin menjawab, "Hidup mereka sudah menjadi bagian dari perjanjianmu, Arga. Kau yang membuat pilihan ini. Kekayaanmu tidak pernah gratis."  

"TIDAK!" Arga berteriak, tubuhnya gemetar saat ia berlutut di lantai. Matanya dipenuhi air mata. "Jangan ambil mereka! Jangan ambil keluargaku! Ambil aku sebagai gantinya!" Tangisnya pecah dalam jeritan, hatinya yang hancur memohon belas kasihan dari kegelapan yang tak mengenal ampun.

Tapi bayangan itu tidak menjawab. Tiba-tiba, Mira, istrinya, yang terbaring di tempat tidur, mengeluarkan suara pelan, seperti desahan terakhir sebelum napasnya hilang sepenuhnya. Arga menoleh ke belakang, dan melihat sesuatu yang mengerikan.

Mata Mira terbuka, tapi tidak ada kehidupan di sana. Bibirnya membiru, tubuhnya kaku. Arga melompat berdiri, berlari ke arah istrinya, mengguncang tubuhnya yang dingin. "Mira! Bangun! Kumohon!"

Di saat yang sama, dua anaknya yang masih kecil terbaring di samping sang ibu, diam dan tak bergerak, napas mereka lenyap dalam sekejap. Arga berteriak, tangisnya memenuhi ruangan, namun itu sia-sia. Ia memeluk tubuh anak-anaknya yang sudah tak bernyawa, mengguncang mereka dengan panik, berharap mereka hanya tertidur. Tetapi mereka tidak bangun.

Bayangan itu berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan tenang. "Ini adalah harga dari keserakahanmu, Arga." katanya dengan dingin. "Kekayaan yang kau inginkan telah menelan yang paling berharga dalam hidupmu."

Arga memandang bayangan itu dengan kebencian, namun kebencian itu bercampur dengan rasa putus asa yang mendalam. "Mengapa? Mengapa kau ambil mereka dariku? Mengapa bukan aku yang kau ambil?"

Bayangan itu mendekat, suaranya lebih rendah dan menyeramkan. "Karena kau meminta kekayaan, bukan kematianmu. Kau memilih jalan ini, Arga. Setiap keputusan datang dengan konsekuensi."

Arga terjatuh ke lantai, memeluk tubuh keluarganya yang kaku. Hatinya hancur, tenggelam dalam penyesalan yang tak terhingga. Bayangan itu memudar perlahan, meninggalkan rumah dengan keheningan yang menyakitkan.

Dan malam itu, di bawah sinar bulan purnama, jeritan Arga menggema di Kampung Selaksa. Tetangga yang mendengar tangisannya hanya bisa bergidik dalam ketakutan, mengetahui bahwa kutukan pesugihan telah menuntut korban baru. Keesokan harinya, Arga ditemukan di samping tubuh keluarganya yang tak bernyawa, matanya kosong, meratap tanpa henti.

Ia telah memperoleh kekayaan yang selama ini ia idamkan, tetapi kehilangan semua yang paling berharga. Setiap keputusan yang salah bisa menjadi jurang kehampaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun