"TIDAK!" Arga berteriak, tubuhnya gemetar saat ia berlutut di lantai. Matanya dipenuhi air mata. "Jangan ambil mereka! Jangan ambil keluargaku! Ambil aku sebagai gantinya!" Tangisnya pecah dalam jeritan, hatinya yang hancur memohon belas kasihan dari kegelapan yang tak mengenal ampun.
Tapi bayangan itu tidak menjawab. Tiba-tiba, Mira, istrinya, yang terbaring di tempat tidur, mengeluarkan suara pelan, seperti desahan terakhir sebelum napasnya hilang sepenuhnya. Arga menoleh ke belakang, dan melihat sesuatu yang mengerikan.
Mata Mira terbuka, tapi tidak ada kehidupan di sana. Bibirnya membiru, tubuhnya kaku. Arga melompat berdiri, berlari ke arah istrinya, mengguncang tubuhnya yang dingin. "Mira! Bangun! Kumohon!"
Di saat yang sama, dua anaknya yang masih kecil terbaring di samping sang ibu, diam dan tak bergerak, napas mereka lenyap dalam sekejap. Arga berteriak, tangisnya memenuhi ruangan, namun itu sia-sia. Ia memeluk tubuh anak-anaknya yang sudah tak bernyawa, mengguncang mereka dengan panik, berharap mereka hanya tertidur. Tetapi mereka tidak bangun.
Bayangan itu berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan tenang. "Ini adalah harga dari keserakahanmu, Arga." katanya dengan dingin. "Kekayaan yang kau inginkan telah menelan yang paling berharga dalam hidupmu."
Arga memandang bayangan itu dengan kebencian, namun kebencian itu bercampur dengan rasa putus asa yang mendalam. "Mengapa? Mengapa kau ambil mereka dariku? Mengapa bukan aku yang kau ambil?"
Bayangan itu mendekat, suaranya lebih rendah dan menyeramkan. "Karena kau meminta kekayaan, bukan kematianmu. Kau memilih jalan ini, Arga. Setiap keputusan datang dengan konsekuensi."
Arga terjatuh ke lantai, memeluk tubuh keluarganya yang kaku. Hatinya hancur, tenggelam dalam penyesalan yang tak terhingga. Bayangan itu memudar perlahan, meninggalkan rumah dengan keheningan yang menyakitkan.
Dan malam itu, di bawah sinar bulan purnama, jeritan Arga menggema di Kampung Selaksa. Tetangga yang mendengar tangisannya hanya bisa bergidik dalam ketakutan, mengetahui bahwa kutukan pesugihan telah menuntut korban baru. Keesokan harinya, Arga ditemukan di samping tubuh keluarganya yang tak bernyawa, matanya kosong, meratap tanpa henti.
Ia telah memperoleh kekayaan yang selama ini ia idamkan, tetapi kehilangan semua yang paling berharga. Setiap keputusan yang salah bisa menjadi jurang kehampaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H