"Untuk itu, kau harus memberikan sesuatu yang paling berharga."
Arga menelan ludah, kebingungan. Apa yang paling berharga baginya? Tidak ada yang ia miliki kecuali hidupnya yang miskin. "Aku akan memberikan apa saja... apapun... asalkan aku bisa kaya," katanya, suaranya terdengar penuh keputusasaan. Namun, ia tidak tahu apa yang ia tawarkan.
Mendadak, cermin-cermin di sekelilingnya mulai bergetar, menciptakan bayangan-bayangan yang berputar seperti aliran air hitam yang meliuk-liuk, membentuk sosok bayangan besar yang kelam. Dari bayangan itu, muncul sepasang mata merah yang bersinar, memandang langsung ke dalam jiwa Arga.
Bayangan itu bergerak mendekat, menyelimuti tubuh Arga dengan dingin yang menusuk tulang. "Kau siap?" suara itu bertanya sekali lagi.
Arga mengangguk, meski tubuhnya bergetar hebat. "Ya, aku siap. Aku tidak peduli lagi. Aku ingin kekayaan."
Bayangan itu tertawa, tawa yang terdengar seperti ribuan jeritan lemah dari jauh, memenuhi ruangan dengan suara yang menyayat hati. "Kekayaan akan datang kepadamu, Arga. Namun ingat, harga yang kau bayar tidak bisa dibatalkan. Apa yang paling berharga darimu akan diambil, saat waktunya tiba."
Tangan bayangan itu terulur, dingin dan tidak nyata, meraih ke dalam dada Arga, seolah menembus kulit dan tulang tanpa rasa sakit. Arga bisa merasakan sesuatu di dalam dirinya direnggut, sesuatu yang tidak terlihat namun begitu nyata, sesuatu yang tak tergantikan. Namun, dalam keputusasaan dan ambisi, Arga mengabaikan rasa takut itu.
Tiba-tiba, altar di hadapannya bergetar. Mangkuk hitam itu mulai memancarkan cahaya merah yang berkilauan, seolah dipenuhi oleh api yang membara. Cairan merah di dalamnya mendidih, menimbulkan gelembung-gelembung besar yang pecah dengan suara serak, dan dari dalam mangkuk itu, muncul kepingan emas---sejumlah besar emas yang menyilaukan mata. Arga menatapnya dengan penuh takjub, mata yang dulunya dipenuhi kesedihan kini dipenuhi kilatan keserakahan.
"Emas...," bisik Arga dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat ia meraih salah satu kepingan emas itu, merasakan dinginnya logam mulia di telapak tangannya. Ini adalah kekayaan yang ia impikan, kekayaan yang akan membebaskannya dari penderitaan.
Bayangan itu tertawa lagi, tawa yang kini terdengar jauh, namun tetap menusuk hati Arga. "Ingat, Arga, kau tidak pernah mendapatkan sesuatu tanpa kehilangan yang lain."
Saat bayangan itu menghilang ke dalam kegelapan, Arga terdiam di sana, di depan altar yang kini dipenuhi emas. Matanya masih terpaku pada kilauan logam itu, namun di sudut pikirannya, perasaan ganjil mulai merayap. Apa yang telah ia korbankan? Apa yang paling berharga dalam hidupnya?