Tiba-tiba, TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan di pintu membuat jantung Arga berdegup keras, seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Perlahan-lahan, ia berdiri, kakinya terasa berat, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, Arga meraih gagang pintu, membuka perlahan---tapi di sana, hanya angin malam yang dingin dan kosong, menampar wajahnya tanpa ampun.
"Apa..." suaranya terhenti di tenggorokan. Tidak ada siapa-siapa.
Saat Arga berbalik, jantungnya berhenti berdetak sejenak. Sosok itu ada di sana.
Bayangan hitam besar, tubuhnya lebih gelap dari malam, berdiri tegak di tengah ruang tamu, menatap langsung ke arah Arga dengan mata merah menyala yang seolah membara dari dalam kegelapan.
"Sudah saatnya, Arga..." suara bayangan itu terdengar seperti gemuruh guntur, dalam dan tak berperasaan, mengisi seluruh ruangan dengan kehadirannya yang menyesakkan.
Arga terhuyung ke belakang, wajahnya pucat pasi. "Apa yang... apa yang kau inginkan dariku?" suaranya pecah, dipenuhi oleh rasa takut yang selama ini ia tekan.
Bayangan itu melangkah maju, langkahnya berat, menggemakan suara retakan kayu di bawah kakinya, meski ia tak menyentuh tanah. Udara di sekeliling Arga semakin dingin, menusuk kulitnya.
"Kau sudah tahu jawabannya," bayangan itu tertawa, dan suara tawanya terdengar seperti ribuan jiwa yang menangis di dasar kegelapan. "Sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu."
Arga terguncang oleh kata-kata itu. Kepanikannya makin menjadi. "Tidak! Aku tidak punya apa-apa lagi! Aku sudah memberikan segalanya! Ambil uangku, ambil tanahku, ambil apapun yang kau inginkan, tapi jangan ambil keluargaku! Kumohon!"
Bayangan itu terdiam sejenak, lalu suara datar yang dingin menjawab, "Hidup mereka sudah menjadi bagian dari perjanjianmu, Arga. Kau yang membuat pilihan ini. Kekayaanmu tidak pernah gratis." Â