Di sore hari, Arga sering duduk di beranda rumah, memandangi anak-anaknya bermain. Mereka berdua sering berlarian di antara bunga-bunga, tertawa dan bersorak dengan gembira. Setiap kali melihat wajah ceria mereka, hati Arga terasa begitu hangat. Semua kerja kerasnya, semua perjuangannya selama ini terasa berbuah manis saat ia melihat Bagas dan Laras tumbuh dengan tawa bahagia di wajah mereka.
Suatu sore, Arga duduk bersama Bagas dan Laras di bawah pohon besar di halaman rumah. Angin sore yang sejuk berhembus, membuat daun-daun pohon bergemerisik lembut. Bagas memeluk bola di dadanya dan dengan antusias bertanya kepada ayahnya, "Ayah, kalau aku besar nanti, aku bisa jadi seperti ayah, kan? Kaya dan kuat!"
Arga tertawa kecil dan mengusap kepala Bagas, hatinya penuh kebanggaan. "Tentu saja, Nak. Kau akan lebih hebat dari Ayah. Kau bisa mendapatkan semua yang kau inginkan."
Laras yang duduk di pangkuan Mira, tiba-tiba bertanya dengan suara polosnya, "Ayah, kenapa Ayah selalu sedih kalau lihat aku sama Mas Bagas main?"
Pertanyaan Laras membuat Arga terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi cerah berubah menjadi lebih serius, meski ia berusaha tersenyum di depan anak-anaknya. Dalam-dalam, perasaan takut yang tak ia pahami mulai menghantui hatinya. Selama ini, meski kebahagiaan anak-anaknya begitu nyata, selalu ada rasa gelisah yang tak bisa ia hilangkan---seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.
"Tidak, Ayah tidak sedih," jawab Arga sambil berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Ayah sangat bahagia melihat kalian bermain. Kalian berdua adalah hal terindah yang Ayah miliki."
Namun, di balik senyum dan kata-katanya, Arga tahu bahwa perasaan itu bukan tanpa alasan. Bayangan dari perjanjian kelam yang ia buat bertahun-tahun lalu selalu muncul setiap kali ia menatap mata anak-anaknya. Arga ingat jelas apa yang suara gaib itu katakan---harga termahal adalah yang paling berharga dalam hidupmu. Dan kini, Arga tahu apa yang paling berharga baginya. Bagas dan Laras.
Di suatu malam yang lain, saat Bagas dan Laras sudah tertidur, Arga duduk di ruang tamu, merenungi nasibnya. Mira yang duduk di sampingnya menatapnya dengan mata lembut, meski dalam hatinya ia tahu ada sesuatu yang tidak pernah diceritakan suaminya.
"Ada apa, Mas?" tanya Mira lembut, tangannya menggenggam tangan Arga. "Kau sering melamun seperti ini. Apakah kau tidak bahagia dengan kehidupan kita?"
Arga terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya serak dan penuh beban, "Aku bahagia, Mira. Sangat bahagia. Tapi... aku takut. Aku takut kehilangan semua ini."
Mira tersenyum, meski ia tidak mengerti sepenuhnya, ia mencoba menenangkan suaminya. "Mas, kita sudah punya segalanya. Anak-anak kita sehat dan bahagia. Kau sudah bekerja keras untuk ini semua."