Arga menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Mira... ada sesuatu yang belum pernah kuceritakan padamu."
Mira menatap suaminya, kaget melihat air mata yang jarang sekali keluar dari mata Arga. "Apa itu, Mas?"
Dengan suara gemetar, Arga akhirnya membuka mulut, "Aku... aku telah membuat kesepakatan, Mira. Bertahun-tahun lalu, sebelum aku bertemu denganmu. Aku mencari kekayaan dengan cara yang salah. Dan sekarang, aku takut mereka akan mengambil sesuatu dariku... sesuatu yang lebih berharga daripada kekayaan."
Mira terdiam, hatinya mencelos. Dia bisa merasakan bahwa ada kebenaran yang begitu kelam di balik kata-kata Arga, namun sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara tawa kecil dari kamar anak-anak terdengar, memecah keheningan malam. Tawa yang biasanya membuat Arga tersenyum, kini terdengar seperti lonceng kematian yang menghantui batinnya.
Di dalam hati Arga, ia tahu bahwa waktunya semakin dekat. Bayangan yang pernah ia temui di Rumah Hening akan datang untuk mengambil apa yang telah ia janjikan. Dan apa yang paling berharga baginya sekarang, bukanlah emas, bukanlah kekayaan---melainkan tawa riang dari Bagas dan Laras, anak-anaknya yang polos, yang tanpa disadari telah ia pertaruhkan dalam keserakahannya.
Malam itu, Arga hanya bisa menatap anak-anaknya yang tertidur, tangisannya tertahan di tenggorokan. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar:
"Maafkan Ayah... Maafkan Ayah..."
Meskipun hatinya sering gelisah, Arga tetap bertahan pada ilusi bahwa ia bisa menghindari bayaran dari kesepakatannya. Namun, bayangan dari kegelapan itu semakin sering datang dalam mimpinya. Setiap malam, ia terbangun dengan keringat dingin, merasa bahwa ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan kamar tidurnya. Dan suara tawa serak yang pernah ia dengar di Rumah Hening kini mulai muncul di telinganya saat malam semakin larut.
Dan akhirnya, ketika kekayaan telah melampaui apa yang pernah ia bayangkan, dan keluarganya tampak begitu sempurna, malam kelam itu tiba. Malam saat bayangan dari perjanjian itu datang menagih janji yang Arga buat.
Malam itu, bulan purnama menggantung di langit seperti mata dingin yang mengawasi, memancarkan sinar perak yang menembus kabut tebal di Kampung Selaksa. Di dalam rumah Arga, udara terasa berat, dipenuhi kecemasan yang sulit dijelaskan. Istrinya, Mira, terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat seperti kertas, sementara dua anaknya tergeletak di sampingnya, napas mereka terengah-engah.
Arga duduk di ruang tamu, menggigil, meski api di perapian masih menyala hangat. Bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak bergerak liar seolah memiliki nyawa. Setiap desah angin, setiap derak kayu yang memuai, terasa seperti suara asing yang datang untuk mengambil sesuatu darinya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dalam benaknya, terngiang suara tawa yang pernah ia dengar di malam pertama ia memasuki Rumah Hening---suara yang kini seperti mengerumuni pikirannya tanpa ampun.