Dengan mata yang terbakar oleh rasa putus asa dan kemarahan, Arga memutuskan untuk mengambil jalan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia ingin membuktikan kepada semua orang---dan kepada nasib buruk yang selalu menghantuinya---bahwa ia bisa bangkit. Bahwa ia bisa menjadi kaya, meskipun itu berarti harus mengorbankan segalanya. Bagi Arga, tidak ada yang lebih buruk dari kemiskinan yang telah menghancurkan hidupnya, sehingga ia rela mengorbankan apapun demi kekayaan, demi kebebasan dari belenggu yang selama ini menjeratnya.
Malam itu, hutan di sekitar "Rumah Hening" dipenuhi keheningan yang mencekam. Langit di atas hutan gelap tanpa bintang, hanya bulan purnama yang menggantung di cakrawala, menyinari jalur setapak kecil yang membawa Arga menuju ke tempat ia tak pernah bayangkan akan menginjakkan kakinya. Setiap langkah diiringi oleh gemerisik dedaunan, suara burung hantu yang sesekali terdengar dari kejauhan, dan bisikan angin dingin yang menusuk kulitnya.
"Rumah Hening" berdiri di depan Arga seperti sosok makhluk tua yang terlupakan. Jendela-jendelanya tertutup debu, pintu kayunya berderit seperti mengerang pelan saat dibuka. Begitu Arga melangkah masuk, aroma kayu tua dan tanah basah menyergap hidungnya. Di dalam, hanya ada kegelapan, diterangi sedikit oleh sinar bulan yang menembus celah atap yang sudah mulai runtuh.
Di tengah ruangan utama, sebuah altar berdiri, dikelilingi oleh cermin-cermin besar yang kotor, dan patung-patung kuno yang bentuknya menyerupai makhluk-makhluk aneh dengan wajah mengerikan. Altar itu dipenuhi lilin yang menyala, meski Arga tidak tahu siapa yang menyalakannya. Di atas altar, sebuah mangkuk hitam besar terbuat dari batu, penuh dengan cairan kental yang berwarna merah tua seperti darah.
Arga merasa tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang merayapi setiap inci kulitnya. Ia tahu, tidak ada jalan kembali. Suara kakek misterius yang ia temui malam itu masih terngiang di telinganya, suaranya berat, penuh janji sekaligus ancaman:
"Kekayaan datang dengan harga. Apakah kau siap membayar harganya, Arga?"
Sekarang, di hadapan altar itu, Arga harus menjawab pertanyaan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ia mendekati altar dengan kaki gemetar, jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa hampir pecah. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya yang dipenuhi rasa cemas, namun ada kilatan harapan yang samar di matanya---harapan bahwa kemiskinan yang selalu menghantuinya akan segera berakhir.
Tiba-tiba, dari kegelapan ruangan, terdengar suara berat dan dalam yang bergema di sekelilingnya. Suara itu tidak berasal dari mana pun, tapi ada di mana-mana.
"Apa yang kau inginkan, Arga?" suara itu menembus udara seperti gemuruh petir di malam gelap.
Arga tersentak, suaranya bergetar saat menjawab, "Aku... aku ingin kaya. Aku ingin terbebas dari kemiskinan ini."
Sunyi sejenak. Lalu suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih dingin, seolah merasuk ke dalam tulang-tulangnya.