Laras. Mereka dikenal ramah dan selalu berusaha hidup tenang, namun ada satu hal yang selalu mengusik kebahagiaan mereka---tidak adanya keturunan. Tahun demi tahun berlalu, namun rahim Laras tetap kosong, dan harapan mereka semakin memudar.Di tengah keputusasaan, Laras mendengar bisikan yang menakutkan dari seorang wanita tua yang dikenal dengan nama Nyi Ranti, dukun sakti yang tinggal di dalam hutan. Orang-orang desa selalu menjauh dari Nyi Ranti karena ilmunya dipercaya terhubung dengan kekuatan gelap. Namun, ketika semua jalan terang tertutup, Darma dan Laras akhirnya mendatangi Nyi Ranti, berusaha memohon pertolongannya untuk mendapatkan seorang anak.
Di sebuah desa yang tersembunyi dari gemerlap kota besar, hiduplah sepasang suami istri bernama Darma danPertemuan dengan Kegelapan
Hutan itu sunyi saat Darma dan Laras tiba di rumah Nyi Ranti, sebuah pondok tua yang tampak ditelan oleh akar-akar pohon besar di sekitarnya. Bau dupa menyengat menusuk hidung saat mereka mengetuk pintu kayu yang lapuk.
"Masuk," terdengar suara berat dari dalam, tanpa sedikit pun tanda keramahtamahan.
Dengan ragu, mereka melangkah masuk. Di dalam ruangan gelap, Nyi Ranti duduk dengan senyum aneh yang tak pernah menyentuh matanya. "Kalian datang untuk meminta anak, bukan?"
Darma menelan ludah, mengangguk pelan. "Kami... Kami ingin keturunan."
Nyi Ranti menatap Laras dengan tajam. "Anak akan datang, tapi bukan tanpa harga. Kalian siap membayar?"
Laras yang telah kehabisan harapan, tanpa berpikir panjang, menjawab, "Kami siap."
Senyuman Nyi Ranti semakin lebar, terlalu lebar. "Kalau begitu, kita mulai." Malam itu, di tengah kegelapan, ritual dijalankan. Laras meminum ramuan pahit, merapal doa yang tidak ia mengerti, sementara Nyi Ranti membisikkan mantra kuno ke dalam telinga mereka, memanggil kekuatan dari dunia yang tak terlihat.
Kelahiran yang Menakutkan
Sembilan bulan setelah malam kelam itu, Laras melahirkan sepasang anak kembar. Malam kelahiran mereka diliputi oleh petir yang mengguncang langit dan angin kencang yang menyapu seluruh desa.
Anak pertama, seorang bayi perempuan bernama Ayu, lahir dengan kulit seputih kapas dan wajah seindah malaikat. Namun, anak kedua, Kirana, lahir dengan mata merah darah dan kulit yang keabu-abuan. Suara tangisannya terdengar seperti jeritan mahluk lain---tidak manusiawi.
Nyi Ranti yang hadir saat persalinan menatap Kirana dengan tatapan kosong. "Dia bukan untuk dunia ini," katanya singkat. "Hanya satu anak yang akan hidup."
Malam itu, tanpa Darma dan Laras mampu mencegahnya, Kirana lenyap. Bayi yang terlahir dari perjanjian gelap itu hilang di tengah malam, dibawa oleh bayangan yang hanya bisa dilihat oleh Nyi Ranti. Namun, perasaan lega tidak pernah datang. Laras tidak bisa mengusir bayangan Kirana dari pikirannya. Malam-malam berikutnya, ia sering terbangun oleh suara tangisan yang berasal dari sudut gelap rumah mereka, meski Kirana sudah lama tiada.
Ayu dan Kematian Misterius
Ayu, anak pertama yang tersisa, tumbuh dengan kecantikan yang memukau. Namun, keindahan itu segera terhenti oleh sesuatu yang mengerikan. Saat Ayu menginjak usia delapan tahun, hal-hal aneh mulai terjadi. Setiap kali Ayu bermain di luar rumah, anak-anak lain yang berada di dekatnya akan jatuh sakit, dan beberapa bahkan meninggal dengan cara yang misterius.
Penduduk desa mulai takut, dan bisikan-bisikan tentang kutukan mengelilingi keluarga Darma dan Laras. Setiap malam, Ayu sering berbicara sendirian, tatapannya kosong, tetapi suara-suara yang keluar dari mulutnya bukan miliknya. Suaranya sering berubah, menjadi lebih dalam, lebih menyeramkan, seolah-olah ada yang berbicara melalui dirinya.
"Dia masih di sini," kata Ayu suatu malam, suaranya berbisik ketika Laras menemukannya berdiri di jendela, menatap bulan dengan mata yang kosong.
"Siapa yang masih di sini, Nak?" Laras bertanya, tubuhnya bergetar.
"Kirana. Dia selalu bersama kita," jawab Ayu, sambil tersenyum kecil.
Kebenaran yang Mengerikan
Laras tidak bisa lagi menahan ketakutannya. Ia bergegas menemui Nyi Ranti, berharap bisa mendapatkan jawaban. Nyi Ranti yang sudah menanti dengan tenang menatap Laras dengan tatapan dingin.
"Kamu telah membangunkan yang seharusnya tidur," kata Nyi Ranti tanpa basa-basi. "Kirana mungkin telah hilang secara fisik, tapi rohnya tetap terhubung dengan saudara kembarnya. Kekuatan mereka terikat. Setiap langkah Ayu adalah bayangan Kirana. Setiap tawa Ayu membawa kematian bagi yang lain."
Laras gemetar. "Apa yang bisa kami lakukan? Bagaimana kami bisa menghentikan ini?"
Nyi Ranti menggeleng. "Tidak ada yang bisa menghentikan kematian yang telah dipanggil. Ini adalah harga yang harus kalian bayar. Kirana akan selalu membalaskan dendamnya atas kehilangan nyawanya."
Malam itu, Laras pulang dengan hati yang dipenuhi ketakutan. Ia tahu bahwa kutukan itu tidak akan pernah pergi. Ayu mungkin hidup, tapi dia bukan satu-satunya anak yang ada di rumah itu.
Akhir yang Mencekam
Pada malam purnama berikutnya, teror akhirnya mencapai puncaknya. Suara tawa Ayu terdengar di seluruh desa, tapi kali ini lebih dalam, lebih menyeramkan. Ketika Laras dan Darma menemukan Ayu di kamar, mereka melihat bayangan yang tidak biasa di belakangnya---seorang anak lain, dengan mata merah yang berkilat di kegelapan.
"Kirana..." Laras berbisik ketakutan.
Bayangan itu tersenyum. "Aku datang untuk mengambil yang seharusnya menjadi milikku," suara itu keluar dari mulut Ayu, tapi jelas itu bukan suaranya.
Seketika, seluruh ruangan diliputi oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Ayu, atau Kirana yang menguasai tubuhnya, mulai berjalan perlahan ke arah Laras dan Darma. Setiap langkahnya membuat lantai kayu di bawahnya berderit, dan dengan setiap detik yang berlalu, ruangan semakin gelap.
"Apa yang kau inginkan dariku?!" teriak Darma, suaranya pecah oleh ketakutan.
"Aku ingin apa yang kalian ambil dariku," bisik Kirana dari mulut Ayu.
Kirana membalas dendam karena ia merasa dikhianati dan direnggut hak hidupnya sejak lahir. Sebagai anak kembar yang lahir dari perjanjian gelap, Kirana dianggap sebagai "keturunan iblis" dan tidak diperbolehkan untuk hidup. Orang tuanya, Darma dan Laras, bersama Nyi Ranti, memutuskan untuk mengambil nyawanya begitu ia lahir. Kirana tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan kehidupan seperti saudara kembarnya, Ayu, yang diperbolehkan hidup meskipun berasal dari rahim yang sama.
Rasa sakit dan marah Kirana tumbuh dari kenyataan bahwa ia tidak pernah mendapatkan haknya sebagai seorang anak, dan ia merasa bahwa Ayu yang seharusnya hidup sebagai manusia mendapatkan kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya juga. Kirana, yang terikat secara rohani dengan Ayu, melihat setiap momen kehidupan saudara kembarnya sebagai pengingat akan kehidupan yang dicuri darinya.
Dendam Kirana muncul dari perasaan ketidakadilan dan keinginan untuk membalas atas apa yang terjadi padanya---ia menginginkan orang tuanya merasakan kehilangan dan ketakutan yang ia rasakan saat hak hidupnya dirampas. Kehadirannya yang menyeramkan melalui tubuh Ayu adalah caranya untuk menuntut keadilan dan mengambil kembali apa yang menurutnya seharusnya menjadi miliknya.
Namun, saat itu, sebuah ide gila muncul dalam benak Laras. Ia berlari ke dapur, mengambil cermin besar yang dulu diberikan oleh Nyi Ranti sebagai bagian dari ritual. Ia mengangkatnya di depan Ayu.
"Kirana! Lihatlah dirimu!" teriak Laras.
Ayu terdiam, dan bayangan di belakangnya mulai bergetar. Kirana, yang telah menguasai tubuh Ayu, melihat pantulan dirinya di cermin. Untuk pertama kalinya, ia melihat wujudnya yang rusak, sebuah roh yang tertinggal di antara dunia manusia dan kegelapan.
"Ini bukan aku... bukan aku yang kau janjikan!" jerit Kirana, suaranya pecah menjadi ribuan bisikan yang menakutkan.
Cermin itu mulai retak, tetapi dengan setiap retakan, bayangan Kirana semakin memudar. Suara tangisnya memenuhi ruangan, hingga akhirnya... semuanya lenyap. Cermin pecah berkeping-keping, dan tubuh Ayu jatuh pingsan ke lantai.
Laras mendekati putrinya dengan hati yang berdebar. Ayu membuka matanya perlahan, menatap ibunya dengan wajah polos. "Ibu? Apa yang terjadi?"
Kirana telah pergi, namun Laras tahu, bayangan gelap akan selalu menghantui mereka. Setiap kali bulan purnama tiba, Laras bisa merasakan hawa dingin yang familiar, seolah Kirana belum sepenuhnya menghilang. Bayangannya akan selalu mengintai, menunggu waktu untuk kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H