Sementara itu, pemerintah telah berkomitmen untuk mempercepat program reformasi agraria sebagai upaya mencegah dan menyelesaikan sengketa tanah.
Program ini mencakup legalisasi aset melalui penerbitan sertifikat tanah, redistribusi tanah untuk petani, serta penguatan kapasitas lembaga-lembaga terkait seperti BPN dan pemerintah daerah.
Namun, Kompol Sandy mengingatkan bahwa reformasi agraria tidak cukup hanya menjadi kebijakan di atas kertas.
"Harus ada evaluasi yang kontinu dan pelibatan masyarakat dalam setiap tahap pelaksanaannya. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa program ini tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu," katanya.
Pembentukan lembaga pengawas khusus untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) dinilai strategis untuk mengatasi potensi korupsi, maladministrasi, dan konflik dalam pengelolaan tanah.
"Lembaga ini diharapkan bersifat independen, fokus pada pertanahan, meningkatkan kepercayaan publik, serta mendorong transparansi melalui digitalisasi," ujarnya.
Namun menurut Kompol Sandy, tantangan seperti biaya, risiko tumpang tindih wewenang, resistensi internal, dan birokrasi tambahan perlu diperhatikan.
"Alternatif lain meliputi memperkuat Inspektorat Jenderal ATR/BPN, kolaborasi dengan lembaga pengawas yang ada, pengawasan digital berbasis teknologi, dan peningkatan transparansi publik. Kesimpulannya, meski pembentukan lembaga pengawas khusus merupakan solusi potensial, evaluasi mendalam dan pengoptimalan opsi alternatif dapat menjadi langkah lebih efisien," imbuhnya.
Dampak Positif Penyelesaian Sengketa
Jika dikelola dengan baik, penyelesaian sengketa tanah dapat membawa dampak positif yang signifikan, baik secara sosial maupun ekonomi. Kompol Sandy mencatat beberapa manfaat yang dapat diraih:
Meningkatkan rasa keadilan di masyarakat: Penyelesaian yang adil akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan penegak hukum.
Meningkatkan iklim investasi: Kepastian hukum atas tanah akan menarik lebih banyak investor, baik domestik maupun asing.