Baru-baru ini seorang analis keuangan yang berusia tiga puluh tahun mengeluh kepada psikiater karena selama beberapa bulan dia cenderung menunda-nunda pekerjaannya. Tim Psikiater telah menyelidiki perasaannya terhadap majikannya dan bagaimana hal itu berkaitan dengan perasaannya tentang kewenangan pada umumnya, terutama terhadap orang tuanya.Â
Psikiater telah memeriksa sikapnya terhadap pekerjaan dan keberhasilan, dan bagaimana hal ini berkaitan dengan perkawinannya, identitas seksualnya, hasratnya untuk bersaing dengan suaminya, dan ketakutannya terhadap kompetisi semacam itu. Meskipun dia memenuhi standar dan pekerjaan psikoanalisis yang melelahkan ini, dia terus menunda pekerjaannya seperti biasa.Â
Akhirnya, pada suatu hari, Psikiater memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.Â
"Apakah kamu menyukai kue tar?" Tanya Psikiater kepadanya.Â
Wanita ini menjawab bahwa dia menyukainya.Â
"Bagian mana dari kue itu yang paling kamu sukai?," tanya Psikiater lebih lanjut, "kuenya atau krimnya?"Â
"Oh, tentu saja krimnya!" Jawabnya dengan penuh semangat.
"Bagaimana kamu memakan kue itu?" Psikiater bertanya setengah mendesak, sambil merasakan bahwa mungkin dia adalah psikiater paling bodoh di dunia ini.Â
"Saya akan menghabisi krimnya lebih dahulu," jawabnya.Â
Setelah menanyakan bagaimana dia memakan kuehnya, Psikiater beralih ke masalah lain untuk memeriksa kebiasaan kerjanya, dan sebagaimana diharapkan, Psikiater menemukan bahwa pada hari tertentu dia memanfaatkan jam kerja pertamanya untuk mengerjakan segala sesuatu yang lebih memuaskan dirinya, dan enam jam berikutnya dipakainya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak disukainya.Â
Psikiater memberi tahu dia bahwa bila dia memaksa dirinya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak disenanginya pada jam pertama, dia bisa bebas menikmati enam jam berikutnya.Â
"Menurut saya," kata Psikiater, "satu jam penderitaan yang diikuti enam jam kesenangan lebih baik daripada satu jam kesenangan yang diikuti enam jam penderitaan."Â
Dia menyetujui saran itu, dan karena pada dasarnya dia adalah wanita yang berkemauan kuat, dia tidak menunda pekerjaannya lagi.Â
Proses
Menunda kepuasan merupakan proses penjadwalan kepedihan dan kesenangan hidup demi meningkatkan kesenangan dengan menghadapi dan mengalami penderitaan lebih dahulu dan berupaya mengatasinya. Ini adalah cara yang layak untuk menjalani kehidupan.Â
Proses penjadwalan ini dipelajari oleh sebagian besar anak-anak sejak usia dini, kadang-kadang sejak mereka berusia lima tahun. Misalnya, kadangkala pada saat bermain dengan temannya, seorang anak yang berusia lima tahun akan mempersilakan kawannya untuk bermain lebih dahulu sehingga dia bisa menikmati gilirannya. Pada usia enam tahun, anak-anak akan mulai memakan kue mereka lebih dahulu sebelum mereka menikmati krimnya.Â
Selama belajar di Sekolah Dasar, kemampuan dini untuk menunda kepuasan ini dilatih setiap hari, khususnya melalui pekerjaan rumah. Pada usia dua belas tahun, pada umumnya anak-anak sudah dapat duduk tenang tanpa disuruh orang tua dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sebelum mereka menonton TV. Pada umur lima belas atau enam belas tahun, sikap demikian sangat diharapkan pada usia remaja dan ini dianggap normal.Â
Akan tetapi, pada usia ini menjadi jelas bagi para pendidik mereka bahwa sejumlah besar anak remaja tidak mampu mencapai kondisi yang normal. Anak remaja yang berusia lima belas atau enam belas tahun nampaknya sukar mengembangkan kemampuan untuk menunda kepuasan, walaupun banyak di antara mereka mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Bahkan nampaknya beberapa anak remaja kurang memiliki kemampuan ini. Mereka adalah para siswa yang bermasalah.Â
Meskipun tingkat kepandaian mereka cukup baik atau berada di atas rata-rata, nilai rapor mereka sangat rendah karena mereka tidak mau berusaha. Mereka sering membolos atau bahkan tidak mau sekolah lagi. Mereka hanya menuruti kata hati mereka sehingga sikap seperti ini juga mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Mereka sering terlibat perkelahian, terjerumus dalam perangkap obat terlarang, dan kerapkali berurusan dengan polisi. Bermain sekarang, membayar kemudian, menjadi motto mereka.Â
Demikianlah, para psikolog dan ahli psikoterapi dipanggil untuk menangani mereka. Tetapi pada umumnya upaya untuk menangani kasus mereka sudah terlambat dilakukan. Anak-anak remaja ini sangat benci pada setiap usaha untuk mencampuri gaya hidup mereka yang hanya menuruti kata hati mereka.Â
Meskipun kebencian mereka ini dapat diatasi oleh para ahli terapi dengan sikap yang ramah, bersahabat, dan tidak menghakimi, dorongan hati mereka sering begitu keras sehingga hal itu menghalangi partisipasi mereka dalam proses psikoterapi. Mereka tidak mau menepati jam konsultasi mereka. Mereka menghindari semua masalah yang penting dan menyakitkan. Karena itu, biasanya usaha untuk mengatasinya mengalami kegagalan, dan anak-anak ini tidak mampu melanjutkan sekolah mereka.Â
Pola kegagalan ini terus berlanjut hingga mereka dewasa dan sering diakhiri dengan perkawinan yang tidak bahagia, kecelakaan, dan yang lebih parah, berakhir di rumah sakit jiwa atau di penjara.Â
Mengapa bisa begitu? Mengapa sebagian besar anakanak mampu mengembangkan kemampuan untuk menunda kepuasan, sedangkan sebagian kecil dari mereka gagal mengembangkan kemampuan ini. Jawaban yang tepat dan logis sukar diperoleh. Peranan faktor keturunan tidak jelas. Variabel yang ada tidak bisa dikendalikan demi pembuktian ilmiah. Namun sebagian besar tanda yang agak jelas mengarah pada kualitas orang tua sebagai faktor penentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H