Mohon tunggu...
Madjid Lintang
Madjid Lintang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang biasa yang masih terus belajar.

Di hadapan Tuhan aku hanya sebutir debu yang tak berarti. Pembelajar yg tak henti belajar, dan seorang hamba Tuhan yang penuh dosa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menunda Kepuasan

6 Oktober 2020   09:10 Diperbarui: 6 Oktober 2020   09:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Menurut saya," kata Psikiater, "satu jam penderitaan yang diikuti enam jam kesenangan lebih baik daripada satu jam kesenangan yang diikuti enam jam penderitaan." 

Dia menyetujui saran itu, dan karena pada dasarnya dia adalah wanita yang berkemauan kuat, dia tidak menunda pekerjaannya lagi. 

Proses

Menunda kepuasan merupakan proses penjadwalan kepedihan dan kesenangan hidup demi meningkatkan kesenangan dengan menghadapi dan mengalami penderitaan lebih dahulu dan berupaya mengatasinya. Ini adalah cara yang layak untuk menjalani kehidupan. 

Proses penjadwalan ini dipelajari oleh sebagian besar anak-anak sejak usia dini, kadang-kadang sejak mereka berusia lima tahun. Misalnya, kadangkala pada saat bermain dengan temannya, seorang anak yang berusia lima tahun akan mempersilakan kawannya untuk bermain lebih dahulu sehingga dia bisa menikmati gilirannya. Pada usia enam tahun, anak-anak akan mulai memakan kue mereka lebih dahulu sebelum mereka menikmati krimnya. 

Selama belajar di Sekolah Dasar, kemampuan dini untuk menunda kepuasan ini dilatih setiap hari, khususnya melalui pekerjaan rumah. Pada usia dua belas tahun, pada umumnya anak-anak sudah dapat duduk tenang tanpa disuruh orang tua dan menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sebelum mereka menonton TV. Pada umur lima belas atau enam belas tahun, sikap demikian sangat diharapkan pada usia remaja dan ini dianggap normal. 

Akan tetapi, pada usia ini menjadi jelas bagi para pendidik mereka bahwa sejumlah besar anak remaja tidak mampu mencapai kondisi yang normal. Anak remaja yang berusia lima belas atau enam belas tahun nampaknya sukar mengembangkan kemampuan untuk menunda kepuasan, walaupun banyak di antara mereka mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Bahkan nampaknya beberapa anak remaja kurang memiliki kemampuan ini. Mereka adalah para siswa yang bermasalah. 

Meskipun tingkat kepandaian mereka cukup baik atau berada di atas rata-rata, nilai rapor mereka sangat rendah karena mereka tidak mau berusaha. Mereka sering membolos atau bahkan tidak mau sekolah lagi. Mereka hanya menuruti kata hati mereka sehingga sikap seperti ini juga mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Mereka sering terlibat perkelahian, terjerumus dalam perangkap obat terlarang, dan kerapkali berurusan dengan polisi. Bermain sekarang, membayar kemudian, menjadi motto mereka. 

Demikianlah, para psikolog dan ahli psikoterapi dipanggil untuk menangani mereka. Tetapi pada umumnya upaya untuk menangani kasus mereka sudah terlambat dilakukan. Anak-anak remaja ini sangat benci pada setiap usaha untuk mencampuri gaya hidup mereka yang hanya menuruti kata hati mereka. 

Meskipun kebencian mereka ini dapat diatasi oleh para ahli terapi dengan sikap yang ramah, bersahabat, dan tidak menghakimi, dorongan hati mereka sering begitu keras sehingga hal itu menghalangi partisipasi mereka dalam proses psikoterapi. Mereka tidak mau menepati jam konsultasi mereka. Mereka menghindari semua masalah yang penting dan menyakitkan. Karena itu, biasanya usaha untuk mengatasinya mengalami kegagalan, dan anak-anak ini tidak mampu melanjutkan sekolah mereka. 

Pola kegagalan ini terus berlanjut hingga mereka dewasa dan sering diakhiri dengan perkawinan yang tidak bahagia, kecelakaan, dan yang lebih parah, berakhir di rumah sakit jiwa atau di penjara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun