Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu yang Berkarat

30 Maret 2024   01:12 Diperbarui: 30 Maret 2024   01:26 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rindu yang Berkarat

Seorang pujangga berkata padaku.

Tentang cinta dan rindu.

Lalu, dia menatap tajam.

Hamparan langit malam.

Yang menyeka dirinya dengan pekat.

Dan, membunuh bebintang.

Baca juga: Penuh Kecemburuan

Melamar keheningan.

Dan, membiarkan cinta bermunajat.

Menyambangi hati sang kekasih.

Yang terjarak ruang dan perih

Lalu, aku bertanya.

Pada sang pujangga tua.

"Apakah itu bukan kerinduan?"

Lalu, dia menjawab;

Itu bukanlah kerinduan tapi itu cinta.

"Maka, katakan padaku tentang rindu".

Rindu adalah saat hatimu bersamanya dan hatinya bersamamu.

Dan, ia diciptakan jarak yang menjajah hati.

Melumat kisah-kisah bahagia nan haru menjadi keabstrakan.

Dan, engkau maupun dia bersemayam pada ruang dimensi yang sama.

Tanpa menyakiti tanpa mengkhianati.

Lalu, aku bertanya lagi.

"Aku masih tak mengerti perbedaannya."

Sang punjangga berkata.

Cinta itu datang karena alasan dan alasan itu adalah cinta itu sendiri.

Namun, rindu itu datang karena adanya

pohon cinta yang ditanam dua hati.

Namun, karena perantauan jasad antara keduanya.

Maka, jarak mengambil alih pohon cinta itu.

Dan, dua hati itu terus terpaut kepadanya lewat sapaan kepada langit maupun rintihan pada bumi

yang terjembatani lewat jarak.

Aku mengangguk

dan pujangga itu berlalu.

Maka, aku memuisikan tentang kepulangan.

Tentang harapan.

Dan, tentang cinta serta kerinduan.

Pada biduk yang mana kini hatimu berpijak.

Sementara hatiku telah tertambat.

Pada langit-langit rumahmu.

Dan, cintaku memangilmu.

Namun, aku juga ingin merinduimu.

Yang aku tak tahu apakah engkau pernah menilik walau hanya bayangku.

Aku hanya berkata pada cinta.

Hanya bertutur pada rindu.

Berteman dengan sepi.

Dan, bekerja merajut mimpi.

Bila aku beruntung mungkin aku akan menjadi insan yang kau rindu.

Dan, itu adalah apa yang kini kuingin.

Walau hanya harap kosong yang ditertawakan angin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun