Rindu yang Berkarat
Seorang pujangga berkata padaku.
Lalu, dia menatap tajam.
Hamparan langit malam.
Yang menyeka dirinya dengan pekat.
Dan, membunuh bebintang.
Melamar keheningan.
Dan, membiarkan cinta bermunajat.
Menyambangi hati sang kekasih.
Yang terjarak ruang dan perih
Lalu, aku bertanya.
Pada sang pujangga tua.
"Apakah itu bukan kerinduan?"
Lalu, dia menjawab;
Itu bukanlah kerinduan tapi itu cinta.
"Maka, katakan padaku tentang rindu".
Rindu adalah saat hatimu bersamanya dan hatinya bersamamu.
Dan, ia diciptakan jarak yang menjajah hati.
Melumat kisah-kisah bahagia nan haru menjadi keabstrakan.
Dan, engkau maupun dia bersemayam pada ruang dimensi yang sama.
Tanpa menyakiti tanpa mengkhianati.
Lalu, aku bertanya lagi.
"Aku masih tak mengerti perbedaannya."
Sang punjangga berkata.
Cinta itu datang karena alasan dan alasan itu adalah cinta itu sendiri.
Namun, rindu itu datang karena adanya
pohon cinta yang ditanam dua hati.
Namun, karena perantauan jasad antara keduanya.
Maka, jarak mengambil alih pohon cinta itu.
Dan, dua hati itu terus terpaut kepadanya lewat sapaan kepada langit maupun rintihan pada bumi
yang terjembatani lewat jarak.
Aku mengangguk
dan pujangga itu berlalu.
Maka, aku memuisikan tentang kepulangan.
Tentang harapan.
Dan, tentang cinta serta kerinduan.
Pada biduk yang mana kini hatimu berpijak.
Sementara hatiku telah tertambat.
Pada langit-langit rumahmu.
Dan, cintaku memangilmu.
Namun, aku juga ingin merinduimu.
Yang aku tak tahu apakah engkau pernah menilik walau hanya bayangku.
Aku hanya berkata pada cinta.
Hanya bertutur pada rindu.
Berteman dengan sepi.
Dan, bekerja merajut mimpi.
Bila aku beruntung mungkin aku akan menjadi insan yang kau rindu.
Dan, itu adalah apa yang kini kuingin.
Walau hanya harap kosong yang ditertawakan angin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H