Di sisi lain, penghapusan PT juga bisa menjadi pemulihan terhadap hak-hak konstitusional yang sebelumnya 'terlukai' dengan kebijakan PT (remedy of constitutional rights).
Keuntungan pertama akan diperoleh khususnya partai-partai kecil untuk mengusung calon presidennya masing-masing.
Di samping itu, yang kedua, opsi kandidat presiden pun makin beragam. Bagusnya lagi, dengan adanya penghapusan PT akan lebih mempermudah presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan, lantaran tidak terjadi intervensi partai lainnya yang dominan dalam parlemen.
Akan tetapi, penghapusan PT juga memiliki sisi kelemahan yang patut untuk dipertimbangkan.
Pertama, akan mengakibatkan rawannya kepentingan individu yang bisa diperoleh melalui pencalonan presiden, seperti seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden hanya untuk kepentingan individu.
Kedua, dari aspek keamanan nasional akan berakibat pada perluasan potensi konflik hingga pelanggaran pemilu akibat capres yang terlalu banyak.
Dari segi efisiensi, tentu alokasi anggaran pemilu semakin membengkak (high cost election). Setidaknya, alokasi dana pemilu dapat disalurkan ke bidang-bidang yang dapat meningkat kesejahteraan rakyat. Meski begitu, asumsi ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan riset mendalam terkait efisiensi dana kampanye.
Dari segi dasar hukum juga harus dipahami bahwa belum ada landasan hukum yang kuat soal penghapusan PT.
Masyarakat selama ini hanya memahami secara kontekstual bahwa Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 sebagai penghapusan ambang batas pencalonan presiden.
Padahal, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 9 UU No.8 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, dalam putusan itu tidak ada penegasan pembatalan norma tentang PT.
Dengan demikian, masih diperlukan lagi dasar hukum baik berupa undang-undang atau pun regulasi lainnya tentang ada atau tidaknya penghapusan PT.