Pemberlakuan ambang batas parlemen bukanlah hal baru dalam pemilu di Indonesia.
Tercatat, penerapan ambang batas parlemen diberlakukan dengan besaran yang berbeda-beda mulai dari 2,5% pada pemilu 2009, 3,5% pada pemilu 2014, dan 4% pada pemilu 2019.
Di atas kertas, penerapan ambang batas parlemen dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik, sistem nasional, sehingga sistem presidensial dapat berjalan tanpa banyak hambatan.
Artinya, tidak adanya partai politik di parlemen diharapkan dapat mempercepat proses pengambilan keputusan di parlemen dan mendukung kinerja Presiden sebagai lembaga eksekutif.Â
Namun di sisi lain, penerapan ambang batas parlemen di DPR justru untuk menyederhanakan partai politik atau menghalangi masuknya partai baru/kecil ke DPR.
Motif ini terlihat sangat jelas dengan ditetapkannya ambang batas parlemen yang erat kaitannya dengan faktor politik dan kepentingan partai.
Mekanisme ambang batas parlemen pada dasarnya lebih menguntungkan partai-partai besar yang sudah cukup mapan. Oleh karena itu, ambang batas parlemen cenderung memperkuat munculnya partai-partai kartel.
Dalam partai kartel, seringkali sulit bagi partai baru untuk masuk arena pemilu dan mendapatkan dukungan dari pemilih.
Partai politik yang memperoleh kursi, terutama koalisi besar dan partai-partai yang berkuasa, sering kali berusaha mencegah munculnya partai-partai baru berkuasa dan tidak dapat memperoleh kursi di parlemen. Partai-partai mapan cenderung mendukung penerapan ambang batas parlemen dalam pemilu.
Aturan ambang batas parlemen tidak hanya menyangkut partai politik mana yang berhak mendapat kursi dan melampaui ambang batas persentase, tetapi ambang batas parlemen juga berdampak pada terbuangnya suara pemilih pada partai yang tidak mampu melampaui persentase minimum ambang batas parlemen.
Pemilu 2009 menghasilkan 19.047.481 suara terbuang. Sedangkan pemilu tahun 2014 menghasilkan 2,9 juta suara terbuang, dan pada pemilu terakhir tahun 2019, jumlah suara terbuang meningkat menjadi 13,5 juta suara.