Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Semisal Taman Bunga

15 Januari 2024   03:51 Diperbarui: 15 Januari 2024   05:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Bunga. (sumber: PEXELS)

Semisal Taman Bunga

Teratai itu merekah.

Pada lembah kehinaan.

Meretas seluruh tuju di antara kejijikan.

Mata yang biasa menilai zahir.

Tak lama pun ia mengembang.

Baca juga: Ruang dengan Tuhan

Menghilangkan sekat pembeda.

Tentang makna keindahan.

Menyadarkan arogansi dahulu kala.

Semisal taman bunga.

Aku petik indahnya.

Aku sambangi bersama cinta.

Aku rawat bersama ketulusan.

Kita pun masih mereka-reka.

Mencintai nafsu atau kata hati.

Namun, terkadang kita tertipu.

Tak mampu bedakan.

Antara dua hal itu.

Maka, terciptalah suatu idealisme.

Tentang suatu yang terbungkus rapi.

Dan, yang tampak kelakar.

Kita tak pernah bisa menilai lewat kenetralan.

Karena kita adalah jiwa yang senang bersandar.

Maka carilah cahaya dari langit.

Karena kau tak'kan temukannya di bumi.

Carilah sinar bulan kala malam.

Karena kau tak'kan dapatinya kala senja atau siang.

Maka kita terus menanam benih-benih keraguan.

Benih yang mengaburkan kala ia tumbuh.

Semakin menjauhkanmu pada rumahmu dulu.

Maka, hanya ada mimpi sebagai pelarian.

Atau, pertemuan nyata dengan Tuhan.

Agar engkau dapati segala teka-teki.

Agar kau ungkap bongkahan puzzle yang hilang.

Kita hanya biduk-biduk kehidupan.

Yang semakin dekat dengan keabadian.

Mencintai penuh buta.

Mencintai lupa tulus.

Atau, mencintai lewat ketulusan yang membuta.

Kita tak akan pernah bisa menjawabnya.

Karena esensi cinta belum kita serahkan pada pemiliknya.

Lalu, tetiba kita jadi teratai.

Kita jadi perawat bunga.

Kita jadi pencinta.

Atau, kita jadi yang berpulang.

Kita hanya bisa menunggu bersama mereka yang menunggu.

Tentang terkuaknya fakta.

Sejarah, kini, dan esok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun