Semisal Taman Bunga
Teratai itu merekah.
Pada lembah kehinaan.
Meretas seluruh tuju di antara kejijikan.
Mata yang biasa menilai zahir.
Tak lama pun ia mengembang.
Menghilangkan sekat pembeda.
Tentang makna keindahan.
Menyadarkan arogansi dahulu kala.
Aku petik indahnya.
Aku sambangi bersama cinta.
Aku rawat bersama ketulusan.
Kita pun masih mereka-reka.
Mencintai nafsu atau kata hati.
Namun, terkadang kita tertipu.
Tak mampu bedakan.
Antara dua hal itu.
Maka, terciptalah suatu idealisme.
Tentang suatu yang terbungkus rapi.
Dan, yang tampak kelakar.
Kita tak pernah bisa menilai lewat kenetralan.
Karena kita adalah jiwa yang senang bersandar.
Maka carilah cahaya dari langit.
Karena kau tak'kan temukannya di bumi.
Carilah sinar bulan kala malam.
Karena kau tak'kan dapatinya kala senja atau siang.
Maka kita terus menanam benih-benih keraguan.
Benih yang mengaburkan kala ia tumbuh.
Semakin menjauhkanmu pada rumahmu dulu.
Maka, hanya ada mimpi sebagai pelarian.
Atau, pertemuan nyata dengan Tuhan.
Agar engkau dapati segala teka-teki.
Agar kau ungkap bongkahan puzzle yang hilang.
Kita hanya biduk-biduk kehidupan.
Yang semakin dekat dengan keabadian.
Mencintai penuh buta.
Mencintai lupa tulus.
Atau, mencintai lewat ketulusan yang membuta.
Kita tak akan pernah bisa menjawabnya.
Karena esensi cinta belum kita serahkan pada pemiliknya.
Lalu, tetiba kita jadi teratai.
Kita jadi perawat bunga.
Kita jadi pencinta.
Atau, kita jadi yang berpulang.
Kita hanya bisa menunggu bersama mereka yang menunggu.
Tentang terkuaknya fakta.
Sejarah, kini, dan esok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI