Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obrolan di Dalam Masjid

15 Juli 2023   16:28 Diperbarui: 15 Juli 2023   16:46 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menepi dan memarkirkan sepeda motorku untuk menunaikan salat ashar di salah satu masjid di bilangan sektor 1, Bintaro, Jakarta.

Seusai wudhu dan setibanya aku di dalam masjid, aku yang terlambat menunaikan salat berjamaah, mendapati isi masjidnya sudah sepi dan menyisakan dua laki-laki berbusana Muslim warna putih duduk dengan agak berjarak.

Satu orang sedang duduk ber-tafakkur, satunya lagi khusu' melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran lembaran demi lembaran pada mushaf-nya.

Baca juga: Foto Lama

Di sisi lain, kulihat seorang pria paruh baya berbaju hijau tua tengah berbaring di bagian sisi kiri ruangan dalam masjid tersebut. Entah mengapa tiba-tiba ia terbangun ketika menyadari kehadiranku di sana.

Aku mencoba tak mengindahkaannya dan segera meletakkan jaket dan tas ranselku di samping salah tiang dalam masjid ini, lalu segera salat.

Aku dapat merasakan pria berbaju hijau tua memperhatikanku sepanjang rakaat salatku. Selepas salam, laki-laki itu langsung mendekatiku.

Dari jarak dekat, aku bisa melihat dengan jelas sosoknya yang memakai baju dan celana yang sangat lusuh, gigi bolong di tengah, badan kurus, dan ditambah bau matahari.

Jujur, aku sempat tak nyaman dengan kehadiran pria ini yang secara mendadak. Terlebih, aku bahkan melewatkan zikir dan rangkaian doa seperti yang biasanya aku lakukan selepas salat.

Dalam benakku, aku sempat berpikiran bahwa pria akan berusaha melobiku untuk sejumlah uang, dengan dalih ongkos pulang, belum makan seharian, kecopetan, tersesat dan berbagai modus lainnya.

Aku bukannya alergi terhadap pengemis atau gelandangan, tapi aku hanya cukup selektif dalam memberi kepada orang-orang sejenis itu.

Pemikiran ini bukan tanpa sebab, karena aku pernah menjadi "korban". Aku pikir, dulu orang seperti mereka benar-benar membutuhkan bantuan. Namun, ternyata dugaanku salah ketika di suatu hari aku mendapati tak hanya satu atau dua orang yang melakukan "pekerjaan" serupa.

Hingga tibalah percakapanku antara aku dengan si pria malang yang ada di depanku ini. Ia mulai membuka, "Dik, saya datang dari jauh," katanya, kembali tanpa basa-basi.

"Sudah satu bulan penuh saya di Jakarta tapi enggak punya kerjaan tetap." Ia mengambil jeda untuk kemudian melanjutkan, "Saya datang kesini teh enggak ada yang bawa. Saya cuma modal nekat dengan hanya membawa duit 300 ribu waktu itu.

"Ternyata susah pisan nyah nyari kerja di sini." Keluhnya dengan logat khas yang aku tahu adalah bahasa Sunda. Sementara aku terus mendengarkannya tanpa interupsi.

"Saya mah pengennya ppu.. pulang aja sekarang ke kampung. Udah capek begini-begini terus." Ia semakin mengeluh dengan nada terbata-bata.

"Pengennya mah ada orang baik yang mau nolongin."

Nolongin? Orang baik? Batinku mulai menerka-nerka. Aku semakin paham arah pembicaraan ini pada akhirnya. Namun, aku belum bergeming dari tempatku. Padahal, rasanya ingin sekali mengatakan bahwa aku harus pergi karena aku sedang buru-buru dan lekas meninggalkannya. 

Sayangnya sisi dalam diriku berkata lain. Aku hanya diam dan terus mendengarnya berceloteh. Selama sekian menit, ia nyaris mengulangi perkataan-perkataan yang sama.

Akan tetapi, sejauh ia bercerita, aku belum mendengar kata "minta" apa-apa darinya. Aku malah curiga. Selama beberapa saat, hanya ada hening yang membekukan kami berdua.

"Saya teh ya, pengennya pulang ka kampung. Jakarta memang keras pisan ya, Dik." Akhirnya ia kembali berbicara dan kembali hening untuk beberapa saat. 

Aku mencoba untuk mencerna kalimat demi kalimat yang telah ia lontarkan. Dan aku baru menyadari bahwa dua laki-laki berbagi kokoh tadi sudah tidak ada lagi di tempatnya. Barangakali mereka keluar dari pintu lainnya saat aku fokus menyimak keluhan pria malang ini.

Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada laki-laki malang ini. 

"Memang Bapak dari mana asalnya?" tanyaku.

"Saya dari Tasik, dik." Maksudnya Tasikmalaya.

"Kalau begitu, kenapa Bapak bisa ada di tempat ini sekarang?"

"Saya mah memang begini hidupnya. Jalan-jalan aja setiap hari enggak ada tujuan.

"Pas lagi jalan tadi nyah, panas pisan, sakalian denger adzan langsung ke sini, untuk salat."

Karena sejak tadi aku belum mendengar ia meminta apa pun, maka aku langsung menembaknya dengan pertanyaan, "Emang ongkos pulang ke sana berapa, Pak?"

"Delapan puluh ribu, Dik".

"Apa selama ini Bapak pernah usaha ngumpulin uang buat ongkos pulang? Usaha apa saja gitu biar terkumpul".

Entah gerangan apa yang membuatku bertanya seperti itu, yang jelas aku hanya ingin memastikan lagi bahwa ia bukanlah seorang peminta-minta yang malas bekerja. Peminta-minta di sini maksudku adalah sebagai "profesi" kesehariannya tentu saja.

Pikirku, lagipula ia sendiri lah yang pertama kali membuka percakapan ini, maka tak salah apabila aku coba sedikit menanggapinya.

Selain itu, aku juga penasaran seberapa besar upayanya itu agar ia mampu bertahan hidup di Jakarta.

"Enggak pernah bisa, Dik." Ia kemudian menimpali.

"Begini, Pak." Aku mulai memberi pengertian kepadanya. "Saya sebenarnya masih pelajar dan saya juga masih berusaha mencari pekerjaan untuk tambahan biaya kuliah.

Saya enggak bisa berbuat banyak, tapi saya berharap agar ada seorang dermawan yang bisa menolong Bapak."

Aku sudah mulai tidak tahan dan segera memakai jaket dan meraih ranselku. Beberapa saat kemudian, aku sedikit menunggu bagaimana tanggapannya atas pernyataanku barusan.

Awalnya, aku mengira ia akan mencoba membujukku dan berupaya lebih keras lagi. Sebaliknya, yang kudapati ia malah tersenyum dan memberikan tangan kanannya untuk bersalaman. Lalu ia berkata, "Enggak apa-apa Dik. Saya ngerti, kok."

Aku menghela napas sebentar. Mengalihkan pandangan darinya, tapi tak segera beranjak dari dudukku.

Beberapa detik setelahnya, aku hadapkan lagi wajahku padanya. Dengan ragu aku kembali bertanya dan dengan segera juga ia menjawabnya.

"Terus, sehari-harinya bapak tinggalnya di mana?"

"Yah di mana aja, Dik. Kadang-kadang di Masjid. Tapi kalau malam semua Masjid kan suka dikonci nyah, palingan bisa tidur di luarnya aja. Kadang-kadang di Halte, di pinggir jalan juga sering, di depan-depan toko gitu juga sering".

Kini aku sedikit lebih dekat dengan wajahnya, menatapanya lekat-lekat dan kembali melontarkan pertanyaan bak sedang menginterogasi seorang penjahat.

"Memangnya Bapak betul-betul enggak kenal satu pun orang di Jakarta?"

"Engak ada. Saya datang ke sini karena di kampung cari kerja susah. Awalnya, saya pikir enak kerja di Jakarta. Kayak orang-orang. Ternyata lebih susah lagi teh di Jakarta." jelasnya.

Aku terus menyimak rangkaian kisahnya sambil sesekali memperhatikan sepasang pakaian yang dikenakan pria ini.

Aku mulai bisa membuat kesimpulan bahwa ia sudah lama sekali tidak mandi maupun mencuci pakaiannya.

Ada kemungkinan semenjak kedatangannya ke Jakarta, ia tak pernah membawa benda berharga satu pun, kecuali tas gantung kecil warna hijau yang entah apa isinya. Mungkin mimpi-mimpi dan harapan yang juga sudah lusuh.

"Saya pernah waktu di Kampung Rambutan, pas pertama kali sampai di Jakarta, tanya-tanya ke orang soal pekerjaan yang bisa saya kerjakan tapi enggak ada." Ia mulai bercerita lagi.

"Terus saya jalan kaki ke sana-ke sini. Seringnya juga saya nyari di daerah Pondok Indah buat bisa jadi tukang kebun atau apa aja gitu."

"Kalau makan sehari-hari gimana, Pak?" Suaraku berat.

"Biasanya saya makan bekas sisa orang orang kalau pas di halte, Dik." 

"Maksudnya, Pak?"

"Saya mah makannya ngambil dari sampah. Ya sisa-sisanya itu untuk saya makan. Pokoknya apa we lah yang masih bisa dimakan di tong-tong sampah."

Seperti ada yang menghantam kepalaku keras-keras. Kelopak mataku pun terasa seperti mengembang. Aku coba menyembunyikan ini agar ia tak menyadari apa yang sedang terjadi pada diriku.

Baru sekali ini di dalam hidupku, aku secara langsung mendengar perjuangan yang sedemikian beratnya di tengah gemerlapnya peradaban ini.

Seolah apa yang baru saja dikatakan pria ini membuat berbagai persoalan yang kualami sangat kerdil di hadapannya. Aku sangat kerdil di hadapan pria ini.

Namun, aku tidak mengerti kenapa justru tidak ada jejak kesedihan apa pun di sorot matanya; meskipun tubuhnya menyiratkan hal sebaliknya. Alih-alih aku dapat merasakan ketegaran sekuat bangunan-bagunan tinggi nan kokoh yang menjulang di luar sana.

"Yang susah kalau mau minum, mana panas pisan di sini nyah, kemarau."

"Kalau begitu, Bapak tunggu disini sebentar ya, Pak." kataku tanpa menimbang-nimbang lagi.

"Adik mau ke mana?"

"Mau beli minum dan makanan buat Bapak."

"Enggak usah atuh, Dik. Enggak enak saya ngerepotin. Mending buat jajan Adik aja."

Ya Tuhan, bagaimana bisa dengan kondisinya yang begitu memprihatinkan ini, ia masih bisa mengatakan kata "Enggak usah", "Enggak enak". Aku bisa merasakan bahwa penolakannya itu bukan sekadar basa-basi orang yang ditawari kursi jabatan. Sama sekali bukan.

Adakah seorang pengemis yang bertipe seperti itu? Malahan, aku lah yang kali ini harusnya merasa tidak enak. Tidak usah terlalu perhitungan dalam berbuat kebaikan. Aku benar-benar linglung sekarang.

Segera setelah aku keluar, kucari warung terdekat sekitar sini untuk membeli nasi bungkus. Sayangnya tidak berhasil aku dapatkan. Maka, aku ambil saja uang sepuluh ribu rupiah yang tersisa di dompetku untuk membelikannya satu botol air mineral besar dan dua buah roti kemasan.

Setelah kembali kepada pria tadi, aku mulai mencoba untuk mencairkan kembali suasana dengan membuka percakapan.

"Kalau boleh tahu, apa Bapak sudah berkeluarga?"

"Belum saya mah, Dik. Masih bujang." Padahal aku sangat yakin usianya sekitar 50-an lebih.

"Terus kalau orang tua atau saudara?" lanjutku.

"Tinggal Bapak saya yang ada, Dek. Udah tua banget. Umurnya seratus tahunan lebih."

"Saudara, Pak? Adik atau Kakak?"

"Enggak ada, dik." Ia menggeleng pelan. Aku diam, ia pun diam.

Dadaku kini lagi-lagi bergemuruh hebat. Dengan berat aku kembali mengajukan pertanyaan.

"Bapak rencananya kalau sudah dikampung nanti mau kerja apa?"

"Apa aja, Dik. Nyangkul tanah orang atau apa pun lah. Daripada di sini, udah enggak kuat lagi."

"Ya sudah, Pak. Ini untuk Bapak." Ku sodorkan roti dan minuman yang sedari tadi di tanganku.

"Maaf sekali, Pak. Saya belum bisa membantu banyak. Saya cuma bisa kasih ini. Mohon diterima ya" Pak." Ia menyambutnya dengan agak ragu.

Setelah izin meminta diri, dalam waktu tak sampai satu menit sudah tak tampak lagi ke mana arahnya pergi. Mungkin ia hanya perlu terus berjalan dan berjalan, meninggalkanku yang masih termangu di dalam masjid.

Berjalan entah ke mana, yang terpenting ia pasti akan tiba juga sampai ke tujuannya. Ke mana tujuannya? Ke manapun ia ingin pergi, yang jelas ia harus terus berjalan dan tak menyimpan dari jalannya.

Sama halnya seperti orang yang tidak bisa berenang, ia harus terus bergerak dan bergerak, berusaha untuk mencapai tepi bagaimanapun juga caranya.

Sebab, jika ia hanya diam dan pasrah di tengah-tengah air, cepat atau lambat pasti tenggelam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun