Seperti ada yang menghantam kepalaku keras-keras. Kelopak mataku pun terasa seperti mengembang. Aku coba menyembunyikan ini agar ia tak menyadari apa yang sedang terjadi pada diriku.
Baru sekali ini di dalam hidupku, aku secara langsung mendengar perjuangan yang sedemikian beratnya di tengah gemerlapnya peradaban ini.
Seolah apa yang baru saja dikatakan pria ini membuat berbagai persoalan yang kualami sangat kerdil di hadapannya. Aku sangat kerdil di hadapan pria ini.
Namun, aku tidak mengerti kenapa justru tidak ada jejak kesedihan apa pun di sorot matanya; meskipun tubuhnya menyiratkan hal sebaliknya. Alih-alih aku dapat merasakan ketegaran sekuat bangunan-bagunan tinggi nan kokoh yang menjulang di luar sana.
"Yang susah kalau mau minum, mana panas pisan di sini nyah, kemarau."
"Kalau begitu, Bapak tunggu disini sebentar ya, Pak." kataku tanpa menimbang-nimbang lagi.
"Adik mau ke mana?"
"Mau beli minum dan makanan buat Bapak."
"Enggak usah atuh, Dik. Enggak enak saya ngerepotin. Mending buat jajan Adik aja."
Ya Tuhan, bagaimana bisa dengan kondisinya yang begitu memprihatinkan ini, ia masih bisa mengatakan kata "Enggak usah", "Enggak enak". Aku bisa merasakan bahwa penolakannya itu bukan sekadar basa-basi orang yang ditawari kursi jabatan. Sama sekali bukan.
Adakah seorang pengemis yang bertipe seperti itu? Malahan, aku lah yang kali ini harusnya merasa tidak enak. Tidak usah terlalu perhitungan dalam berbuat kebaikan. Aku benar-benar linglung sekarang.