"Ibu hanya akan terus menyayangimu semampunya, meminta kebaikan untukmu pada Tuhan setulusnya, Nak.
"Tetaplah jadi anak Ibu walau derita menderamu, walau limpah dunia memelukmu, Ibu akan selalu membersamaimu dalam doa dan ikhtiar yang Ibu mampu".
Aku menjadi terisak dan mengangguk penuh penghargaan sekaligus rasa haru dengan menatap lembut wajah Ibuku.
Kini, di pelataran sajadah aku bersimpuh menangis, mengingat akan Ibuku yang semasa kecilku dulu menjadi mutiara dan bidadariku.
Ia telah mengajarkan banyak hal, sampai menjadikan aku pribadi yang kata orang begitu hangat dan ringan tangan. Itu semua aku dapat dari Ibu, Ibu terbaik yang pernah menjadi cahaya masa kecilku dan kini wasiat serta nasihatnya jadi pelita langkahku pada altar dunia yang kerap kali menipu.
Ibu, salamku padamu yang kini di surga menatapku, semoga aku tak pernah mengecewakanmu. Sebagaimana daun yang gugur terhempas angin. Waktu yang maju tanpa bisa diputar kembali.
Dan, kasihmu yang tercurah bak mata air yang mengalir tanpa pernah terhenti. Tanpa penyesalan akan sebuah harapan, semoga aku menjadi wujud harapan yang dulu semasa hidupmu senantiasa kau semogakan.
Bu, sudilah memberiku maaf atas setiap kata yang seharusnya tak terlontar. Perihal kehilangan yang tak pernah lagi kutemukan, terima kasih dan selamat jalan, Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H