"Lambat laun, restu yang memayunginya memberikan banyak andil. Tentang keberkahan doa Ibu, tentang betapa hebatnya ketulusan hati seorang bidadari surga yang jadi penjaga kita di dunia.
"Singkatnya, sang anak telah jadi saudagar kaya."
Napas Ibu terdengar sedikit mendesah. "Akan tetapi, ...
Ibu menghentikan kalimatnya sejenak dan mulai melanjutkan.
"Akan tetapi, harga mahal harus dibayar olehnya. Dia kehilangan tawadhu-nya, lupa tujuannya, dan menjadi bukan dirinya". Lanjut Ibu dan matanya menjadi agak sayu.
"Pelajaran yang dia enyam dari sang Ibu luluh-lantak tergerus oleh nikmat duniawi. Hingga harta paling berharga yang dulu dia tinggal sebagai tujuan untuk kembali, kini benar-benar dia tinggal dan lupakan.
"Sementara sang Ibu, terus merangkai jutaan doa, bagi sang mutiara hati, mungkin hingga langit tak memiliki ruang lagi untuk menampungnya. Betapa hebat doa dan ketulusannya itu.
"Satu-satunya sumber kebahagiaan miliknya, dia relakan pergi agar mendapati dunia dan bahagianya. Dan, sang anak kemudian namanya menjadi mahsyur sampai menyeberangi samudera.
"Sang ibu menangkap kemahsyuran itu, lantas ia bertanya kepada angin malam,Â
'Mengapa mutiaraku tak jua pulang, sebagaimana janjinya dulu, Aku yang renta sudah hampir sampai batasku menanggung rindu. Merindu senyum manisnya, merindu mengusap rambutnya, bahkan merindu mendengar dengkur lelahnya di kala malam.
'Mengapa tak jua pulang, Nak? Aku mampu menanggung semua bentuk derita, aku mampu mengenyam berbagai sulit, tetapi tidak dengan jauh darimu. Kau mutiara paling berhargaku, pulanglah nak, Ibu rindu'.