Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Hari Bersama Ibu

17 Juni 2023   05:41 Diperbarui: 18 Juni 2023   18:54 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bukan kemalangan Nak, tapi kekuatan dari ketulusan seorang Ibu". timpal Ibuku.

"Sang anak yang mulai gentar hatinya, mulai sadar akan kesalahannya tanpa disadari meneteskan air mata antara takut, menyesal, atau sedih, tak begitu jelas muasalnya. Dia sedikit bergumam sembari merengek, tetapi tetap dengan gaya angkuh menatap punggung ibunya yang menangis tersuruk membelakanginya".

"Suasana yang cerah berawan, tiba-tiba dirangkul mendung gelap dan derai hujan mulai turun menerpa bumi.

"Sang Ibu dengan segala harap dan rindu yang berubah jadi luka, benar-benar terluka, berteriak mengarahkan acungan jari kepada mutiaranya, dan mengatakan, 'Engkau yang kucinta dengan segenap hati dan hidupku, dengan seluruh ketulusan yang bahkan alam iri atasnya, kini engkau mencampakkanku.

Maka, demi itu semua aku memohon kepada langit batukanlah anak yang hatinya telah membatu ini, tunjukkan padanya Tuhan, bahwa hatiku sakit, begitu sakit hingga tak mampu kubendung dan tahan lagi!'

"Maka dengan kuasa Tuhan, sang anak durhaka yang sudah sedari tadi menangis dan menatap ngeri, memohon ampun pada Ibundanya. Namun, itu semua terlambat, benar-benar terlambat.

"Doa hati yang tulus dipenuhi kasih lagi kebaikan ditambah menjadi korban aniaya dan kedurhakaan, tak mungkin bisa ditolak langit.

"Jadilah sang anak batu yang tersungkur dalam sujud penyesalan, tak mampu meminta hati Ibundanya kembali dan jadi simbol kekuatan hati dan ketulusan seorang yang bernama Ibu".

Aku menyeka air mataku sendiri, yang juga jatuh karena entah terharu atau ngeri mendengar sedu-sedan cerita Ibu yang penuh penghayatan seolah Ibu sendiri yang jadi tokoh dalam ceritanya.

Tak lama kemudian Ibu kembali bertutur, "Anakku sayang, maafkanlah Ibu yang mungkin sering menyakiti hatimu, membuatmu marah yang tanpa Ibu sadar dengan kemarahan itu.

"Sang Ibu di kisah tadi, bahkan tak pernah membentak mutiara hilangnya seumur hidup yang dimilikinya. Maka, semoga engkau senantiasa menjadi anak yang hatinya putih tak menghitam karena dunia, menjadi mutiara yang tetap indah meski hilang ditelan rantau dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun