'Wahai mutiaraku sayang, aku telah dipenjara rindu bertahun-tahun, dijajah resah sedari hari pertama engkau angkat kaki dari gubuk tua kita, hingga tadi akhirnya aku bisa memelukmu.
'Semua aku tanggung, Nak. Aku tidak meminta apa pun kecuali dirimu, tidak meminta apa pun kecuali masa-masa seperti dulu ketika aku dapat membelai hitam rambutmu, hanya meminta potongan hidup yang meninggalkanku, Nak, agar potongan hidupku itu kembali dan melengkapi aku yang sudah hampir tiba pada batas waktuku'.
"Sang Ibu menangis tersedu-sedan, menahan perihnya kenyataan, bahwa belahan jiwanya, satu-satunya harta paling berharga yang dia miliki akhirnya mengingkari tentang dirinya.
"Betapa hancur, bumi layaknya penjara kepedihan dan langit adalah atap-atap penyiksaan, sedangkan wajah mutiaranya kini buram disaput air mata yang menggenangi mata tuanya".
Kali ini Ibuku kata-katanya sedikit terpancing emosi.
"Sang Ibu menghentak bumi dan menyalak pada langit, dengan segala kesedihan yang begitu dalam, mungkin lebih dalam dari samudera yang paling dalam. Tentang betapa kecewanya dia terhadap mutiara hatinya.
"Bertahun lamanya dia lewati dengan harap akan binar wajah mutiaranya, setelah tirai kerinduan tersibak malah lara yang kini dia dapat.
"Malang nian nasib sang Ibu, Nak ..." Kini nada bicaranya kembali melemah.
"Dia dicampakkan oleh mutiara hati satu-satunya, setelah begitu banyak derita yang dia tanggung semasa hidupnya".
Kelihatannya, emosi Ibuku seolah sedang diaduk-aduk oleh ceritanya sendiri. Ibuku kini tergugu dalam tuturnya, menyampaikan tentang empati dan keprihatinan sosok Ibu dalam ceritanya.
Sepersekian detik kemudian aku bertanya kembali, "Kemudian apa lagi yang terjadi, Bu? Air matamu begitu deras meluncur bagai aliran sungai jeram, apakah kemalangan yang lebih memilukan terjadi?"