Mohon tunggu...
Sandra Buana Sari
Sandra Buana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Pascasarjana MIK

Mahasiswa Pascasarjana MIK yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosiologi Agama: Peran Harmoni dan Makna Hidup di Tengah Ketidakpastian Ekonomi dan Sosial

9 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Agama telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, tidak hanya sebagai pedoman spiritual tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial dan memberikan makna dalam situasi penuh ketidakpastian (Durkheim, 1912). Sejak kecil, agama mengajarkan nilai-nilai moral dan membentuk ikatan sosial melalui tradisi seperti sholat berjamaah atau berbagi makanan selama Ramadan. Namun, di era modern, peran agama menghadapi tantangan baru, seperti sekularisasi, tekanan ekonomi, dan konflik sosial yang sering kali memperburuk ketimpangan yang ada (Giddens, 2006).

Salah satu contoh nyata dari tantangan ini adalah insiden sosial di Magelang, di mana seorang pedagang es teh menjadi korban olok-olok dalam sebuah acara publik. Peristiwa ini mencerminkan tidak hanya ketimpangan sosial tetapi juga pentingnya peran agama dalam menciptakan empati dan solidaritas. Dalam kasus ini, Gus Miftah, sebagai seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh besar, mendapat kritik karena tindakannya yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang seharusnya menyerukan kasih sayang dan keadilan. Insiden ini menjadi pengingat akan tanggung jawab tokoh agama dalam membangun harmoni sosial, terutama di tengah masyarakat yang menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sosial.

Dari sudut pandang sosiologi agama, Emile Durkheim memandang agama sebagai perekat sosial yang menciptakan solidaritas melalui norma dan ritual bersama. Dalam konteks ini, agama menjadi "lem" yang menghubungkan individu dalam komunitas, memberikan rasa aman dan arah di saat mereka menghadapi tantangan hidup. Di sisi lain, Karl Marx melihat agama sebagai "candu masyarakat," yang meskipun memberikan pelipur lara, dapat mengalihkan perhatian dari upaya untuk memperbaiki kondisi sosial secara struktural. Sementara itu, Max Weber menyoroti potensi agama sebagai motor perubahan sosial, seperti bagaimana etika kerja Protestan mendorong perkembangan kapitalisme di Eropa.

Dalam dunia modern yang semakin kompleks, media sosial telah menjadi alat komunikasi utama, tetapi juga sering memicu polarisasi. Insiden Magelang menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan sebagai ruang publik untuk menyoroti ketidakadilan, tetapi juga dapat memperburuk situasi melalui penyebaran informasi yang tidak terkontrol. Dalam teori Anthony Giddens tentang budaya yang dimediasi (mediated culture), media sosial menjadi platform yang mencerminkan interaksi sosial dalam era digital, di mana nilai-nilai agama sering kali diuji dalam konteks yang lebih luas.

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi relevansi agama dalam menghadapi tantangan modernitas, menggunakan teori sosiolog klasik untuk memberikan perspektif yang mendalam. Dengan menganalisis kasus pedagang es teh di Magelang, tulisan ini menyoroti peran tokoh agama dalam menciptakan harmoni sosial, pentingnya empati dalam interaksi sosial, dan bagaimana media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Dengan demikian, tulisan ini mengajukan bahwa agama, jika dipraktikkan dengan nilai-nilai keadilan dan solidaritas, tetap relevan sebagai sumber harmoni sosial di tengah dinamika dunia modern.

 AGAMA SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan bahwa agama hadir tidak hanya sebagai kepercayaan pribadi, tetapi juga sebagai pengikat hubungan antar manusia. Misalnya, tradisi seperti saling berbagi makanan selama Ramadan atau membantu tetangga yang membutuhkan adalah contoh nyata bagaimana agama mengajarkan solidaritas dan kepedulian.

Menurut sosiolog Emile Durkheim, agama membantu menciptakan rasa kebersamaan dengan menyusun sistem nilai dan norma yang bisa diikuti bersama. Ini seperti membangun "lem sosial" yang menyatukan individu menjadi komunitas melalui nilai dan norma bersama (Durkheim, 1912), terutama saat menghadapi situasi sulit. Dengan begitu, agama memberikan arah sekaligus penguatan ketika kehidupan terasa penuh ketidakpastian.

Pandangan Klasik tentang Agama

1. Karl Marx: Agama sebagai Candu Masyarakat

Marx menyebut agama sebagai "candu masyarakat," menggambarkan bagaimana agama menjadi pelipur lara bagi mereka yang menghadapi penderitaan, tetapi juga dapat mengalihkan perhatian dari upaya memperbaiki kondisi sosial (Marx, 1844). Contohnya seorang petani miskin yang tetap bekerja keras setiap hari, percaya bahwa ada kehidupan yang lebih baik menanti setelah kematian. Bagi Marx, kepercayaan ini mungkin membuat sang petani bertahan, tetapi juga mengalihkan perhatian dari upaya memperbaiki keadaan di dunia nyata.

2. Emile Durkheim: Agama sebagai Perekat Sosial

Durkheim melihat agama dari sisi lain. Ia percaya bahwa ritual keagamaan seperti upacara adat atau perayaan besar bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga momen yang mempererat hubungan sosial. Ketika masyarakat berkumpul untuk berdoa bersama, misalnya, ada rasa kebersamaan yang membuat semua orang merasa lebih kuat menghadapi tantangan. Dalam arti ini, agama menjadi alat yang sangat efektif untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman.

3. Max Weber: Agama sebagai Motor Perubahan Sosial

Berbeda dengan Marx dan Durkheim, Weber menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dapat mendorong perubahan sosial, seperti etika kerja Protestan yang berkontribusi pada lahirnya kapitalisme (Weber, 1905). Ia mencontohkan etika kerja Protestan yang mendorong lahirnya kapitalisme di Eropa. Di Indonesia, kita bisa melihat semangat serupa dalam nilai gotong royong yang sering dihidupkan oleh ajaran agama. Misalnya, ketika sebuah masjid mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana, itu menunjukkan bagaimana agama mampu mendorong aksi nyata yang membawa perubahan positif.

TANTANGAN DAN PELUANG AGAMA DI ERA MODERN 

Di era modern, agama menghadapi tantangan seperti sekularisasi, teknologi, dan keberagaman budaya (Giddens, 2006). Media sosial menjadi alat komunikasi yang memungkinkan isu-isu sosial menjadi sorotan, seperti kasus pedagang es teh di Magelang, yang menunjukkan bagaimana agama dan tokoh agama diuji di ruang publik (Morissan, 2023).

1. Tantangan Modernitas

Dalam kehidupan modern, agama sering kali dihadapkan pada tantangan baru, seperti sekularisasi, teknologi, dan keberagaman budaya. Misalnya, dengan munculnya media sosial, isu kecil seperti olok-olok terhadap pedagang es teh di Magelang bisa dengan cepat menjadi viral. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa meski teknologi menghubungkan banyak orang, dampaknya bisa memicu konflik sosial yang sulit dikendalikan.

Namun, agama masih memiliki peran besar dalam membantu manusia menavigasi dunia modern. Banyak komunitas agama yang mulai menggunakan teknologi untuk menjangkau lebih banyak orang, seperti melalui ceramah daring atau kampanye sosial berbasis nilai keagamaan. Dengan cara ini, agama tetap relevan di tengah perkembangan zaman.

2. Agama sebagai Sumber Harmoni Sosial

Kita dapat melihat peran agama yang signifikan dalam kasus di Magelang. Ketika seorang pedagang es teh menjadi korban olok-olok, Gus Miftah, seorang tokoh agama yang seharusnya tampil untuk menyerukan empati kepada Masyarakat, malah berbuat sebaliknya. Maka tokoh agama lain memberikan padangan untuk menekankan pentingnya menghormati martabat setiap orang, terutama mereka yang berada di posisi rentan.

Seharusnya tokoh agama seperti Gus Miftah tidak mengolok-olok Masyarakat yang berkekurangan dan mengayomi semua kalangan dengan tutur bahasa yang tidak menyakiti siapapun, agar dapat memnunjukan bahwa agama mengajarkan bagaimana manusia memiliki nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan solidaritas. Dengan cara ini, agama dapat menjadi jembatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan.

3. Agama dalam Ketidakpastian Ekonomi

Di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat, agama sering kali menjadi tempat berlindung bagi individu yang merasa termarjinalkan. Insiden tersebut menjadi pengingat akan adanya ketimpangan sosial yang dapat menciptakan konflik interpersonal. Sebagaimana disoroti dalam berita Tirto.id, pedagang es teh yang menjadi subjek olok-olok adalah simbol dari perjuangan kelas pekerja yang rentan terhadap diskriminasi sosial.

Agama seharusnya dapat berfungsi sebagai penyeimbang melalui program-program berbasis keagamaan seperti zakat, sedekah, dan filantropi lainnya. Nilai-nilai agama yang menekankan pentingnya membantu sesama menciptakan peluang bagi komunitas untuk saling mendukung di tengah ketidakpastian ekonomi. Dalam hal ini, tokoh agama seperti Gus Miftah seharusnya berperan sebagai pembawa nilai-nilai moral tetapi juga sebagai penggerak inisiatif kolektif untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial.

ANALISIS SOSIAL YANG LEBIH MENDALAM

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, memungkinkan orang untuk berbagi informasi dan opini dalam hitungan detik. Namun, dalam banyak kasus, platform ini juga dapat menyorot dan memperbesar konflik menjadi isu yang jauh lebih besar. Contoh nyata adalah insiden olok-olok terhadap pedagang es teh di Magelang. Awalnya, kejadian ini mungkin hanya dianggap sebagai lelucon tidak pantas dalam lingkup lokal. Namun, berkat kekuatan media sosial, peristiwa tersebut menyebar luas dan memicu perdebatan nasional tentang kesenjangan sosial dan empati di masyarakat.

Dalam konteks ini, media sosial berperan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memberikan ruang untuk menyoroti ketidakadilan, sehingga banyak orang dapat bersuara dan mendukung korban. Di sisi lain, penyebaran cepat tanpa kendali sering kali menyebabkan situasi menjadi lebih panas. Banyak pengguna yang tidak mengetahui konteks penuh ikut berkomentar, sering kali dengan emosi, sehingga menambah tekanan sosial terhadap pihak-pihak yang terlibat.

Kasus Magelang memperlihatkan bagaimana sentimen sosial dapat dengan cepat bergeser dari empati ke kemarahan publik. Pedagang es teh yang menjadi korban awalnya mendapat simpati luas, tetapi perdebatan berkembang menjadi kritik terhadap sistem sosial yang dianggap tidak adil. Dalam situasi ini, media sosial dapat menjadi alat refleksi sosial, tetapi juga menciptakan ruang untuk polarisasi dan misinformasi.

Gus Miftah yang melakukan pengolok-olokan ini menjadi isu, bagaimana tokoh agama yang seharusnya meninggikan dan merangkul semua orang, malah merendahkan dan menyakiti hati rakyat kecil. Peran tokoh agama yang lain dan permintaan maaf dari Gus Miftah kepada Bapak penjual the menjadi penting dalam meredam situasi ini. Dengan pendekatan yang mengedepankan empati, seharusnya ia mampu membawa diskusi kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari agama. Dengan kejadian itu Gus Miftah tidak menyerukan penghormatan terhadap martabat manusia, dan menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa media sosial bisa digunakan untuk mengkritik tokoh masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dan menjadi media membantu menkritisi masalah sosial dan digunakan untuk membangun solidaritas sesama.

Implikasi untuk Masyarakat

Insiden olok-olok terhadap pedagang es teh di Magelang bukan hanya sebuah peristiwa yang mencerminkan dinamika konflik sosial, tetapi juga pelajaran penting bagi masyarakat tentang empati, penghormatan, dan tanggung jawab sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak situasi serupa yang terjadi, meskipun tidak selalu mendapatkan sorotan media. Oleh karena itu, insiden ini dapat menjadi cerminan untuk para tokoh agama agar menjaga ucapan dan perbuatannya sesuai dengan kaidah agama dan posisinya sehingga dapat merangkul dan membangun masyarakat yang lebih harmonis.

1. Pentingnya Empati dalam Interaksi Sosial

Salah satu pelajaran utama dari insiden ini adalah pentingnya empati. Ketika seseorang mampu melihat situasi dari sudut pandang orang lain, maka tindakan yang merugikan, seperti olok-olok, yang dilakukan Gus Miftah dapat dihindari. Empati tidak hanya membantu individu mengontrol perilaku, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang lebih saling mendukung. Dalam konteks agama, nilai empati selalu ditekankan sebagai bagian dari ajaran universal yang melampaui perbedaan keyakinan.

2. Peran Pendidikan dalam Menanamkan Nilai-Nilai Sosial

Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Insiden seperti ini mengingatkan kita bahwa nilai-nilai seperti saling menghormati, memahami perbedaan, dan tidak merendahkan orang lain harus diajarkan sejak dini.

3. Penggunaan Media Sosial Sebagai Public sphere

Media sosial adalah alat yang kuat untuk menyebarkan informasi, tetapi juga dapat menjadi sarana konflik jika digunakan tanpa pemahaman yang cukup. Untuk kasus ini media sosial berfungsi sebagai ruang publik modern di mana masyarakat dapat berdiskusi, dan mengkritik, tindakan Gus Miftah yang tidak pantas dilakukan oleh tokoh agama. sehingga tokoh Masyarakat lebih berperilaku dengan pantas dan dapat belajar dari kasus terdahulu untuk mencegah konflik serupa.

Media sosial adalah alat komunikasi modern yang tidak hanya menyebarkan informasi tetapi juga menjadi ruang diskusi sosial. Dalam teori komunikasi, konsep ini dikenal sebagai public sphere atau ruang publik, di mana individu dapat berpartisipasi dalam diskusi tentang isu-isu penting dalam masyarakat. Menurut Anthony Giddens, media sosial mencerminkan budaya yang dimediasi (mediated culture), di mana teknologi komunikasi modern memberikan pengaruh signifikan pada cara masyarakat berinteraksi dan memahami isu-isu sosial (Giddens, 2006; Morissan, 2023).

Dalam konteks kasus Gus Miftah, media sosial telah menjadi platform utama untuk mengkritisi tindakannya yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang tokoh agama. Hal ini mencerminkan peran media sosial sebagai sarana kontrol sosial di era digital, sebagaimana dijelaskan dalam perspektif teori konflik. Menurut Karl Marx, kritik sosial mencerminkan perjuangan antara kelompok yang lebih kuat dengan mereka yang merasa tertindas atau diabaikan (Morissan, 2023)

4. Pentingnya Kepemimpinan Moral dalam Komunitas

Respons Gus Miftah memberikan pelajaran bahwa tokoh masyarakat memiliki peran kunci dalam membangun harmoni sosial. Dengan menunjukkan sikap bijaksana dan menyerukan nilai-nilai luhur, Gus Miftah menjadi teladan bagaimana konflik dapat diselesaikan dengan cara yang bermartabat.

KESIMPULAN

Dalam perspektif sosiologi agama, sebagaimana dijelaskan oleh Anthony Giddens dan sosiolog klasik seperti Marx, Durkheim, dan Weber, agama tidak hanya berfungsi sebagai pedoman moral tetapi juga sebagai konstruksi sosial yang memberikan makna, solidaritas, dan arah di tengah ketidakpastian sosial dan ekonomi. Di era modern, media sosial sebagai bagian dari budaya yang dimediasi (mediated culture) berperan penting dalam menciptakan ruang diskusi baru, di mana nilai-nilai keagamaan sering diuji dalam interaksi sosial yang lebih luas. Agama tetap relevan sebagai sumber harmoni sosial jika nilai-nilai keadilan, empati, dan solidaritas ditegakkan oleh tokoh agama dan masyarakat (Durkheim, 1912; Weber, 1905). Media sosial, sebagai ruang publik modern, dapat melengkapi fungsi agama dalam membangun solidaritas dan akuntabilitas (Giddens, 2006; Morissan, 2023).

Kasus Gus Miftah mencerminkan tantangan dalam menjaga nilai-nilai sakral agama saat dihadapkan dengan kritik publik di media sosial. Mengacu pada teori Durkheim, agama dapat menjadi alat perekat sosial yang efektif, tetapi tindakan individu yang menyimpang dari nilai-nilai tersebut dapat menciptakan disintegrasi. Dalam kasus ini, media sosial berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, sebagaimana dijelaskan oleh teori konflik Marx, di mana masyarakat bawah menggunakan ruang digital untuk menuntut keadilan dari tokoh yang memiliki pengaruh lebih besar.

Namun, insiden ini juga menunjukkan bahwa agama tetap relevan sebagai sumber harmoni jika tokoh agama mampu menegakkan nilai-nilai keadilan dan empati. Sebagaimana dijelaskan oleh teori fungsional Durkheim, masyarakat dapat kembali ke stabilitas baru ketika semua komponen, termasuk tokoh agama, beradaptasi untuk memperkuat tatanan sosial melalui nilai-nilai yang inklusif dan menghormati martabat manusia.

Dengan demikian, media sosial dan agama dapat berfungsi saling melengkapi dalam membangun solidaritas dan akuntabilitas, asalkan keduanya digunakan dengan bijak. Tokoh agama, seperti Gus Miftah, memiliki tanggung jawab besar untuk mempraktikkan nilai-nilai agama yang tidak hanya bersifat ritualistik tetapi juga menginspirasi perubahan sosial yang positif, sebagaimana diuraikan dalam teori perubahan sosial Weber.

DAFTAR PUSTAKA

Durkheim, E. (1912). The elementary forms of religious life.
Giddens, A. (2006). Sosiologi. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Marx, K. (1844). Economic and philosophic manuscripts.
Weber, M. (1905). The Protestant ethic and the spirit of capitalism.

detikcom. (2024, Desember 9). Viral olok-olok penjual es teh saat acara di Magelang, Gus Miftah minta maaf. Detik.

https://www.detik.com/jateng/berita/d-7669841/viral-olok-olok-penjual-es-teh-saat-acara-di-magelang-gus-miftah-minta-maaf

Morissan. (2023). Teori komunikasi dan ruang publik di era digital. Bandung: Penerbit XYZ.

Tirto.id. (2024, Desember 9). Ada apa dengan Gus Miftah dan pedagang es teh, kenapa v

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun