Mohon tunggu...
Sandra Buana Sari
Sandra Buana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Pascasarjana MIK

Mahasiswa Pascasarjana MIK yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosiologi Agama: Peran Harmoni dan Makna Hidup di Tengah Ketidakpastian Ekonomi dan Sosial

9 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:04 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kita dapat melihat peran agama yang signifikan dalam kasus di Magelang. Ketika seorang pedagang es teh menjadi korban olok-olok, Gus Miftah, seorang tokoh agama yang seharusnya tampil untuk menyerukan empati kepada Masyarakat, malah berbuat sebaliknya. Maka tokoh agama lain memberikan padangan untuk menekankan pentingnya menghormati martabat setiap orang, terutama mereka yang berada di posisi rentan.

Seharusnya tokoh agama seperti Gus Miftah tidak mengolok-olok Masyarakat yang berkekurangan dan mengayomi semua kalangan dengan tutur bahasa yang tidak menyakiti siapapun, agar dapat memnunjukan bahwa agama mengajarkan bagaimana manusia memiliki nilai-nilai seperti kasih sayang, keadilan, dan solidaritas. Dengan cara ini, agama dapat menjadi jembatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan.

3. Agama dalam Ketidakpastian Ekonomi

Di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat, agama sering kali menjadi tempat berlindung bagi individu yang merasa termarjinalkan. Insiden tersebut menjadi pengingat akan adanya ketimpangan sosial yang dapat menciptakan konflik interpersonal. Sebagaimana disoroti dalam berita Tirto.id, pedagang es teh yang menjadi subjek olok-olok adalah simbol dari perjuangan kelas pekerja yang rentan terhadap diskriminasi sosial.

Agama seharusnya dapat berfungsi sebagai penyeimbang melalui program-program berbasis keagamaan seperti zakat, sedekah, dan filantropi lainnya. Nilai-nilai agama yang menekankan pentingnya membantu sesama menciptakan peluang bagi komunitas untuk saling mendukung di tengah ketidakpastian ekonomi. Dalam hal ini, tokoh agama seperti Gus Miftah seharusnya berperan sebagai pembawa nilai-nilai moral tetapi juga sebagai penggerak inisiatif kolektif untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial.

ANALISIS SOSIAL YANG LEBIH MENDALAM

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, memungkinkan orang untuk berbagi informasi dan opini dalam hitungan detik. Namun, dalam banyak kasus, platform ini juga dapat menyorot dan memperbesar konflik menjadi isu yang jauh lebih besar. Contoh nyata adalah insiden olok-olok terhadap pedagang es teh di Magelang. Awalnya, kejadian ini mungkin hanya dianggap sebagai lelucon tidak pantas dalam lingkup lokal. Namun, berkat kekuatan media sosial, peristiwa tersebut menyebar luas dan memicu perdebatan nasional tentang kesenjangan sosial dan empati di masyarakat.

Dalam konteks ini, media sosial berperan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memberikan ruang untuk menyoroti ketidakadilan, sehingga banyak orang dapat bersuara dan mendukung korban. Di sisi lain, penyebaran cepat tanpa kendali sering kali menyebabkan situasi menjadi lebih panas. Banyak pengguna yang tidak mengetahui konteks penuh ikut berkomentar, sering kali dengan emosi, sehingga menambah tekanan sosial terhadap pihak-pihak yang terlibat.

Kasus Magelang memperlihatkan bagaimana sentimen sosial dapat dengan cepat bergeser dari empati ke kemarahan publik. Pedagang es teh yang menjadi korban awalnya mendapat simpati luas, tetapi perdebatan berkembang menjadi kritik terhadap sistem sosial yang dianggap tidak adil. Dalam situasi ini, media sosial dapat menjadi alat refleksi sosial, tetapi juga menciptakan ruang untuk polarisasi dan misinformasi.

Gus Miftah yang melakukan pengolok-olokan ini menjadi isu, bagaimana tokoh agama yang seharusnya meninggikan dan merangkul semua orang, malah merendahkan dan menyakiti hati rakyat kecil. Peran tokoh agama yang lain dan permintaan maaf dari Gus Miftah kepada Bapak penjual the menjadi penting dalam meredam situasi ini. Dengan pendekatan yang mengedepankan empati, seharusnya ia mampu membawa diskusi kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari agama. Dengan kejadian itu Gus Miftah tidak menyerukan penghormatan terhadap martabat manusia, dan menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa media sosial bisa digunakan untuk mengkritik tokoh masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dan menjadi media membantu menkritisi masalah sosial dan digunakan untuk membangun solidaritas sesama.

Implikasi untuk Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun