Mohon tunggu...
Sandra Buana Sari
Sandra Buana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Pascasarjana MIK

Mahasiswa Pascasarjana MIK yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosiologi Agama: Peran Harmoni dan Makna Hidup di Tengah Ketidakpastian Ekonomi dan Sosial

9 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:04 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KESIMPULAN

Dalam perspektif sosiologi agama, sebagaimana dijelaskan oleh Anthony Giddens dan sosiolog klasik seperti Marx, Durkheim, dan Weber, agama tidak hanya berfungsi sebagai pedoman moral tetapi juga sebagai konstruksi sosial yang memberikan makna, solidaritas, dan arah di tengah ketidakpastian sosial dan ekonomi. Di era modern, media sosial sebagai bagian dari budaya yang dimediasi (mediated culture) berperan penting dalam menciptakan ruang diskusi baru, di mana nilai-nilai keagamaan sering diuji dalam interaksi sosial yang lebih luas. Agama tetap relevan sebagai sumber harmoni sosial jika nilai-nilai keadilan, empati, dan solidaritas ditegakkan oleh tokoh agama dan masyarakat (Durkheim, 1912; Weber, 1905). Media sosial, sebagai ruang publik modern, dapat melengkapi fungsi agama dalam membangun solidaritas dan akuntabilitas (Giddens, 2006; Morissan, 2023).

Kasus Gus Miftah mencerminkan tantangan dalam menjaga nilai-nilai sakral agama saat dihadapkan dengan kritik publik di media sosial. Mengacu pada teori Durkheim, agama dapat menjadi alat perekat sosial yang efektif, tetapi tindakan individu yang menyimpang dari nilai-nilai tersebut dapat menciptakan disintegrasi. Dalam kasus ini, media sosial berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, sebagaimana dijelaskan oleh teori konflik Marx, di mana masyarakat bawah menggunakan ruang digital untuk menuntut keadilan dari tokoh yang memiliki pengaruh lebih besar.

Namun, insiden ini juga menunjukkan bahwa agama tetap relevan sebagai sumber harmoni jika tokoh agama mampu menegakkan nilai-nilai keadilan dan empati. Sebagaimana dijelaskan oleh teori fungsional Durkheim, masyarakat dapat kembali ke stabilitas baru ketika semua komponen, termasuk tokoh agama, beradaptasi untuk memperkuat tatanan sosial melalui nilai-nilai yang inklusif dan menghormati martabat manusia.

Dengan demikian, media sosial dan agama dapat berfungsi saling melengkapi dalam membangun solidaritas dan akuntabilitas, asalkan keduanya digunakan dengan bijak. Tokoh agama, seperti Gus Miftah, memiliki tanggung jawab besar untuk mempraktikkan nilai-nilai agama yang tidak hanya bersifat ritualistik tetapi juga menginspirasi perubahan sosial yang positif, sebagaimana diuraikan dalam teori perubahan sosial Weber.

DAFTAR PUSTAKA

Durkheim, E. (1912). The elementary forms of religious life.
Giddens, A. (2006). Sosiologi. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Marx, K. (1844). Economic and philosophic manuscripts.
Weber, M. (1905). The Protestant ethic and the spirit of capitalism.

detikcom. (2024, Desember 9). Viral olok-olok penjual es teh saat acara di Magelang, Gus Miftah minta maaf. Detik.

https://www.detik.com/jateng/berita/d-7669841/viral-olok-olok-penjual-es-teh-saat-acara-di-magelang-gus-miftah-minta-maaf

Morissan. (2023). Teori komunikasi dan ruang publik di era digital. Bandung: Penerbit XYZ.

Tirto.id. (2024, Desember 9). Ada apa dengan Gus Miftah dan pedagang es teh, kenapa v

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun