Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Indonesia Klaim Obat Covid-19 Pertama di Dunia Efektif 98%, di Prancis Diteliti Tak Bermakna

17 Agustus 2020   04:58 Diperbarui: 17 Agustus 2020   21:49 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rektor Universitas Airlangga M. Nasih meminta semua pihak mendukung agar obat kombinasi Covid-19 temuan tim gabungan Unair, Badan Intelijen Negara, TNI AD, dan BPOM bisa segera mendapatkan izin produksi dan izin edar. Ia mengklaim obat ini bakal menjadi obat Covid-19 pertama di dunia. Nasih menjelaskan, meski obat ini berasal dari kombinasi berbagai macam obat, namun BPOM menganggapnya sebagai sesuatu yang baru. 

"Tentu karena ini akan menjadi obat baru maka diharapkan ini akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia," katanya dalam konferensi pers di Mabes TNI AD, Jakarta, seperti dilansir Tempo Sabtu, 15 Agustus 2020. Kombinasi beberapa jenis obat tersebut tampaknya bukan pertama kali di dunia, karena sudah banyak diteliti di dunia Internasional. 

Di Prancis penelitian lebih ilmiah dengan design penelitian  studi kasus-kontrol  dalam tingkat pemberantasan virus pada hari ke-6 setelah pengobatan hasilnya tidak berbeda secara bermakna antara pasien yang diobati dengan hidroksikloroquin dan azitromisin, pasien yang diobati dengan lopinavir-ritonavir dan pasien yang tidak diobati dengan pengobatan anti-virus tertentu. 

Bahkan WHO telah menerima rekomendasi dari the Solidarity Trial's International Steering Committee  (Komite Pengarah Internasional Percobaan Solidaritas) untuk menghentikan percobaan hydroxychloroquine dan lopinavir / ritonavir. the Solidarity Trial's International Steering Committee didirikan oleh WHO untuk menemukan pengobatan COVID-19 yang efektif untuk pasien yang dirawat di rumah sakit. 

Wabah penyakit SARS-CoV-2 dan dinamai Covid-19 dapat berkembang menjadi pneumonia progresif parah dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), kegagalan multiorgan, dan kematian. Hingga saat ini belum ada obat terapeutik khusus untuk infeksi virus corona. Pengobatan hodroksi klorokuin dan lopinavir-ritonavir baru-baru ini dilaporkan gagal menunjukkan hasil yang signifikan.

Nasih meminta TNI, Polri, BIN, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Kimia Farma, dan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mau membuang ego sektoral mereka. "Karena menurut hemat kami, yang selama ini menghambat proses sehingga ada obat asli Indonesia itu adalah adanya ego sektoral. Ini yang selama ini menyebabkan prosesnya panjang," tuturnya.

Nasih menuturkan di banyak negara berbagai macam obat tunggal sudah diberikan pada pasien Covid-19. Obat-obat inilah yang pihaknya jadikan rujukan. Ada tiga kombinasi obat yang dihasilkan Unair dan telah mengikuti uji klinis. 

Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci."Ternyata setelah kami kombinasikan daya penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam dan baik. Untuk kombinasi tertentu itu sampai 98 persen efektivitasnya," katanya.

Dengan Obat yang tidak berbeda Penelitian di Perancis hasil berbeda, tak bermakna

Meski mengklaiam sebagai obat yang pertama di dunia, ternyata obat tersebut pernah diteliti di dunia Internasional dengan menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan  Sami Hraiechm dkk yang dilaporkan dalam jurnal Annals of Intensive Care volume 10 ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. 

Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang kurang bagus dalam pembersihan virus dalam pemberian  kombinasi hydroxychloroquine dan azithromycin atau lopinavir dan ritonavir pada sindrom gangguan pernapasan akut terkait SARS-CoV-2

Penghambatan in vitro penyebaran virus juga telah dilaporkan dengan klorokuin sebelum atau setelah infeksi SARS-CoV-2. Hydroxychloroquine telah ditemukan lebih kuat daripada chloroquine untuk menghambat SARS-CoV-2 in vitro dan laporan terbaru menunjukkan bahwa 70% dari 20 pasien yang diobati hydroxychloroquine non-ICU memiliki hasil PCR negatif dalam sampel nasofaring pada hari ke-6 ( D6) pasca-inklusi  dan pada semua 6 pasien yang diobati dengan kombinasi hidroksikloroquin dan azitromisin (hidroksiklorokuin-azitromisin).

Untuk mengevaluasi hasil ini pada pasien unit perawatan intensif (ICU), peneliti menilai secara retrospektif pada ARDS sedang hingga berat keefektifan kombinasi hidroksikloroquin-azitromisin mengenai hilangnya virus pada hari ke-6 pengobatan dan hari ke-6 dari evolusi ARDS sebagai dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan lopinavir-ritonavir dan kelompok kontrol tanpa pengobatan antivirus apa pun.

Pasien inklusi dengan  kriteria ARDS 2 5 hari setelah konfirmasi diagnosis dan 1 2 hari setelah onset pengobatan. PCR nasofaring negatif untuk SARS-CoV-2 pada hari ke-6 setelah memulai pengobatan diamati pada 5 (38%) pasien dari kelompok lopinavir-ritonavir dibandingkan dengan 3 (18%) pasien dari kelompok hydroxychloroquine-azithromycin dan dari kelompok kontrol . 

Pada hari ke 6 setelah onset ARDS, PCR negatif hanya pada 9 pasien, 5 dari kelompok lopinavir-ritonavir, 2 dari kelompok hydroxychloroquine-azithromycin dan 2 dari kelompok kontrol.

Ketika mempertimbangkan hanya pasien yang telah menerima pengobatan anti-virus dalam 5 hari setelah timbulnya gejala COVID-19, peneliti menemukan bahwa tidak satupun dari mereka  memiliki PCR negatif 6 hari setelah dimulainya pengobatan di hydroxychloroquine-azithromycin dibandingkan dengan pada kelompok lopinavir-ritonavir.

Pada hari ke 6 setelah ARDS, mortalitas adalah 4,4%, semua korban berada di bawah ventilasi mekanis (MV) tanpa perbedaan terkait parameter ventilasi, penggunaan adjuvan dan skor SOFA. 

Tindak lanjut terbaru yang dilakukan 38 7 hari setelah permulaan pengobatan mengungkapkan bahwa 37 pasien masih hidup (82%), 12 (92%) pada kelompok lopinavir-ritonavir, 15 (88%) pada kelompok hydroxychloroquine-azithromycin dan 10 pasien. (67%) pada kelompok kontrol. Sepuluh pasien masih di ICU, 6 (35%) dari kelompok hydroxychloroquine-azithromycin, dan 4 (31%) dari kelompok lopinavir-ritonavir.

Dalam studi kasus-kontrol ini, tingkat pemberantasan virus pada hari ke-6 setelah pengobatan tidak berbeda secara bermakna antara pasien yang diobati dengan hidroksikloroquin dan azitromisin, pasien yang diobati dengan lopinavir-ritonavir dan mereka yang tidak diobati dengan pengobatan anti-virus tertentu. 

Tidak ada perbedaan negatif SARS-CoV-2 PCR yang ditemukan antara kelompok 6 hari setelah memenuhi kriteria ARDS sedang hingga berat. Kelompok sebanding, kecuali untuk tingkat keparahan yang lebih tinggi saat masuk pada pasien kontrol, yang lebih sering dipindahkan ke ICU hanya ketika membutuhkan Ventilasi Mekanik, karena masuknya pasien secara besar-besaran di wilayah Prancis ini.

Meskipun PCR positif tidak identik dengan perkembangan virus aktif, hasil ini menyoroti fakta bahwa tidak ada pengobatan yang mampu mencapai pembersihan virus secara cepat pada pasien ARDS, seperti yang telah disarankan dalam satu laporan pada pasien yang tidak parah. 

Menunggu hasil uji coba terkontrol secara acak yang sedang berlangsung, dokter harus meresepkan perawatan ini dengan mempertimbangkan kurangnya alasan saat ini dan rasio risiko-manfaat dalam bentuk yang parah. 

Selain itu, mengingat kurangnya pembersihan virus pada pasien yang paling parah, penggunaan obat-obat penekan kekebalan harus diseimbangkan dengan hati-hati pada populasi ini.

WHO Menerima Rekomendasi hentikan penelitian

WHO telah menerima rekomendasi dari the Solidarity Trial's International Steering Committee  (Komite Pengarah Internasional Percobaan Solidaritas) untuk menghentikan percobaan hydroxychloroquine dan lopinavir / ritonavir percobaan. the Solidarity Trial's International Steering Committee didirikan oleh WHO untuk menemukan pengobatan COVID-19 yang efektif untuk pasien yang dirawat di rumah sakit.

Komite Pengarah Internasional merumuskan rekomendasi berdasarkan bukti untuk perawatan hydroxychloroquine vs standar dan untuk lopinavir / ritonavir vs perawatan standar dari hasil sementara uji coba Solidaritas, dan dari tinjauan bukti dari semua uji coba yang disajikan di KTT WHO 1-2 Juli tentang penelitian dan inovasi COVID-19.

Hasil uji coba sementara ini menunjukkan bahwa hydroxychloroquine dan lopinavir / ritonavir menghasilkan sedikit atau tidak ada penurunan pada kematian pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit jika dibandingkan dengan perawatan standar. Penyelidik persidangan solidaritas akan menghentikan persidangan dengan segera.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga pernah mendesal ke Indonesia untuk menghentikan uji coba dan penggunaan klorokuin dalam pengobatan pasien Corona. Sumber anonim mengatakan kepada Reuters bahwa sebenarnya WHO telah memberi tahu Kementerian Kesehatan Indonesia untuk menunda pengobatan memakai obat klorokuin. Dikutip dari Reuters, Erlina Burhan seorang dokter yang membantu menyusun pedoman pengobatan virus Corona COVID-19 sekaligus anggota Asosiasi Pulmonolog Indonesia pun mengkonfirmasi bahwa asosiasi tersebut telah menerima saran baru dari WHO untuk menangguhkan pengobatan-pengobatan tersebut.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), institusi yang mengatur kebijakan kesehatan di Amerika Serikat, juga telah menghapus panduan dosis pada chloroquine dari website resmi mereka. 

Chloroquine atau pil kina digunakan untuk mengobabi malaria, arthritis dan penyakit lainnya yang menyerang imun. Namun, pamor obat ini kembali naik setelah Trump dan negara lainnya menggunakan chloroquine untuk penanganan pasien yang terinfeksi virus corona. 

Departemen Makanan dan Obat (FDA) Amerika Serikat tidak menyetujui obat ini untuk mengobati Covid-19. Para ahli juga telah memperingatkan bahwa obat tersebut belum terbukti menyembuhkan dan berbahaya karena belum teruji secara klinis. 

Dalam situs resmi FDA per  1 Juli 2020 telah disebutkan tinjauan FDA tentang masalah keamanan dengan penggunaan hydroxychloroquine dan chloroquine untuk merawat pasien rawat inap dengan COVID-19. 

Khususnya tentang laporan masalah irama jantung yang serius dan masalah keamanan lainnya, termasuk darah dan gangguan sistem getah bening, cedera ginjal, serta masalah dan kegagalan hati.

Mengapa Hasil Penelitian berbeda

Klaim dua penelitian yang berbeda tersebut adalah hal yang wajar dalam dunia kedokteran. Perbedaan tersebut biasanya terjadi karena design penelitian yang berbeda. Perbedaan itu bisa saja berbeda dalam karakteristik obyek penelitian atau metodologi penelitian. Hanya saja dalam klaim yang dilakukan tim tim gabungan Unair, Badan Intelijen Negara, TNI AD, dan BPOM mungkin para pakar kedokteran khususnya farmakologi belum bisa menilai dengan cermat karena sampai saat ini hasil penelitian tersebut belum pernah diplubikasikan pada jurnal ilmiah Internasional peer review.

Obat yang diklaim sebagai membasmi covid19 seperti Lopinavir, Ritonavir, Azithromycin, Doxycycline dan  Hydrochloroquine baik tunggal maupun kombinasj sudah banyak diteliti di berbagai belahan dunia. 

Banyak klaim pengobatan dan pencegahan Covid19 dari berbagai negara yang kadang tidak ilmiah dan cenderung menyesatkan masyarakat dunia. Sehingga New York Time dan banyak media indtenasional dunia berusaha menyusun tingkat kepercayaan ilmiah berdasarkan bukti ilmiah berbagai metode pengobatan, pencegahan dan pemeriksaan Covid19 di dunia. 

Corona Virus Drug and Teatment Tracker yang disusun New York Time menyebutkan sampai saat ini anti virus yang paling direkomendasikan dengan bukti ilmiah yang meyakinkan adalah Remdicivir. Sedangkan Lopinavir, Hidroksikloroquin adalah anti virus dengan bukti ilmiah yang tidak menjanjikan.

Tampaknya sampai saat ini para ilmuwan dan regulasi pemerintah di dunia dengan berbagai alasan dan faktor kepentingan tertentu terlalu terburu buru melakukan publikasi tentang penemuan obat dan vaksin meski belum dilakukan tahapan prosedur ilmiah yang lazim dilakukan. 

Hal ini juga mengingatkan pada pengumuman penemuan vaksin Covid19 oleh presiden Rusia, yang ternyata belum pernah diplubikasikan dalam jurnal ilmiah internasional peer revieew dan belum dilakukan penelitian fase III. Bahkan presiden Rusia tersebut berusaha keras untuk melakukan pendaftaran ijin penggunaan vaksin tersebut pada regulasi setempat.

Penemuan obat baru mulai dari penelitian hingga pendaftaran obat baru memang tidak mudah, bahkan perusahaan farmasi Pfizer pernah mengungkapkan dalam youtube berjudul "Before it Became a Medicine TV" yang berdurasi 60 detik. Video ini menjelaskan beberapa fakta menarik tentang perjalanan dalam menemukan senyawa baru untuk menyelamatkan hidup seseorang. 

Penemuan obat membutuhkan keterlibatan 1.600 ilmuwan,  menemukan 87 struktur protein yang berbeda, memerlukan 500.000 tes laboratorium, telah meneliti 5000 senyawa untuk satu obat, mempertimbangkan 36 uji klinis untuk satu obat dan telah melakukan  8.500 relawan pasien. 

Memang dalam keadaan darurat ini menghadapi wabah pandemi covid19 ini harus membutuhkan waktu yang cepat untuk segera menemukan obat. Tetapi juga jangan terburu buru dan harus cermat dengan melihat berbagai referensi ilmiah yang lain bukan hanya melihat satu penelitian saja. Karena keselamatan manusia pengguna obat adalah yang paling utama bukan sekedar demi kepentingan tertentu saja. 

Saat ini kunci penentu utama adalah BPOM untuk mengijinkan apakah obat yang diklaim pertama di dunia itu apakah efektif dan aman digunakan bagi masyarakat Indonesia khususnya. 

Tentunya dasar penilaian ijin tersebut bukan hanya sekedar klaim penelitian sepihak, tetapi harus melihat bukti ilmiah berbagai referensi ilmiah di dunia dan rekomendasi institusi kesehatan internasional yang kredibel seperti WHO, CDC atau FDA. Semoga para pakar kesehatan bisa lebih cepat menemukan pencegahan dan pengobatan Covid19.

Referensi

  1. Sami Hraiech, Jrmy Bourenne, Khaldoun Kuteifan, Julie Helms, Julien Carvelli, Marc Gainnier, Ferhat Meziani & Laurent Papazian. Lack of viral clearance by the combination of hydroxychloroquine and azithromycin or lopinavir and ritonavir in SARS-CoV-2-related acute respiratory distress syndrome. Annals of Intensive Care volume 10, Article number: 63 (2020)
  2. WHO discontinues hydroxychloroquine and lopinavir/ritonavir treatment arms for COVID-19  
  3. Cao B, Wang Y, Wen D, et al. A trial of Lopinavir-Ritonavir in adults hospitalized with severe Covid-19. N Engl J Med. 2020. 
  4. Gautret P, Lagier JC, Parola P, et al. Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-randomized clinical trial. Int J Antimicrob Agents. 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun