Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ujung Bayonet dan Merah Putih

18 Agustus 2018   18:12 Diperbarui: 18 Agustus 2018   19:07 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu saja refleks membuang muka manakala mata itu menatapku. Tak pernah aku habis pikir, bagaimana mungkin selama dua setengah tahun seorang pria hidup seatap dengan seorang perempuan remaja tapi tahan untuk tidak menyentuhnya. Apalagi kalau mengingat laki-laki ini seorang tentara. Jepang pula!

Pernah kutanyakan itu padanya. Dan senyum seperti saat inilah yang selalu diberikannya sebagai jawab....

Pernah memang beberapa kali dia kudapati menatapku dengan pandangan lain. Pandangan laki-laki. Penuh keinginan untuk terpuaskan. Tapi tiap-tiap kali dia hanya menggertakkan gigi, kemudian bergegas berlalu.

Dengan bercanda, dia mengataiku 'gadis tolol', dengan logat Jepang-nya yang lucu. Lalu katanya lagi, dia melakukan itu bukan karena nekad. Bagi laki-laki Jepang, terutama dari kalangan bushido, pendekar, melakukan bunuh diri adalah simbol kehormatan. Aku tidak mengerti, bagaimana tindakan putus asa bisa menjadi simbol kehormatan. Kembali dia tertawa.

Kutanya lagi, apa masalahnya sampai dia mau 'mati terhormat' begitu. Wajahnya mendadak serius. Tapi dia tidak lagi murung. Dia berkata, Amerika sudah masuk sampai ke jantung Jepang. Bukan hanya itu, tambahnya, 'burung-burung' mereka melepaskan maut. Bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Aku tak tahu, apa itu bom atom. Kalau bom yang biasa dijatuhkan dari pesawat tempur, aku sudah sering melihatnya. Sangat mengerikan...! Melihat cara bercerita Matsuda-san, sepertinya bom atom itu jauh lebih dahsyat daripada bom biasa. Ia menjelaskan, bom atom itu kekuatannya seribu kali bom biasa. Saat itu, kota Hiroshima sudah rata dengan tanah. Penduduknya puluhan ribu mati.

Aku menggigil. Dia mengelus kepalaku. Kata-kata berikutnya terdengar pahit meski ia mengucapkannya sembari tersenyum. Katanya, aku saja yang bukan orang Jepang merasa begitu. Apalagi dia, yang orang Jepang. Apalagi, dia punya banyak kerabat di kota itu. Sungguh malu yang luar biasa baginya sebagai kesatria, tidak bisa mencegah malapetaka hingga menimpa tanah airnya.

Aku memintanya, apa pun yang terjadi, dia harus berjanji padaku untuk tetap hidup, jangan bunuh diri. Dia terbahak-bahak. Lega rasanya mendengar dia bisa terbahak seperti itu. Dia berjanji. Demi aku, tegasnya.

Selama tiga hari, walau mukanya suram, sikap tegapnya sudah tetap pulih. Tapi sore itu, ia kembali runtuh...! Aku kaget, dia meledak dalam tangis!... Baru kali itu aku melihatnya menangis demikian pilu. Melihatnya seperti itu, aku tak berani bertanya-tanya dulu. Duka yang dirasakannya kali ini terlihat sangat berat.

Besoknya, Matsuda-san jatuh sakit. Dia sampai mengigau gara-gara demam tinggi. Aku panggilkan dokter dari markas. Saat itu, aku sudah kembali ke Jakarta. Tapi aku tidak berkumpul dengan keluargaku karena mereka masih dalam persembunyian, takut pada Kempei Tai yang masih mengancam. Jadi, karena sudah di Jakarta, aku bisa memakai radiogram yang ada di rumah dinas untuk memanggil dokter militer.

Aku tidak terancam diganggu lagi. Para serdadu angkatan darat yang waktu malam itu bersama Matsuda-san menangkap kami sudah tewas dalam pertempuran dengan Amerika, kata Matsuda-san, saat mereka ditarik menjadi bala bantuan di Iwo Jima.

Kata dokter, Matsuda-san menderita flu berat. Dia harus beristirahat paling sedikit lima hari. Tidak boleh dinas dulu. Selain kondisi fisiknya tidak mungkin, takutnya penyakit itu juga menular pada banyak prajurit. Padahal, di saat keadaan Jepang yang kritis seperti ini, tenaga satu serdadu sangat berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun