Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Perspektif Bahagia Menghadapi Masa Pensiun

19 Januari 2024   16:08 Diperbarui: 20 Januari 2024   02:55 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pensiun. (SHUTTERSTOCK/polymanu)

Dulu saya hampir tidak pernah mempertanyakan apa yang terjadi pada saya jika saya sudah purna tugas (pensiun) dari pekerjaan saya saat ini sebagai seorang pegawai negeri. Ya, hal seperti ini barangkali belum terasa relevan bagi mereka yang masih berusia di bawah 30 tahun bahkan di bawah 40 tahun. 

Namun setelah menjalani lebih dari 17 tahun sebagai seorang pegawai negeri, kini saya mulai menyempatkan diri untuk berpikir atau merenungkan hal-hal terkait masa pensiun saya.

Jika Tuhan berikan rejeki dan umur, maka saya hanya punya sekitar 16 tahun lagi untuk menyandang status sebagai abdi negara ini. Artinya, saat ini sudah lebih 50% dari masa bekerja sebagai pegawai negeri telah saya lewati. 

Renungan saya barangkali semakin kuat manakala menyadari bahwa para senior saya ketika saya baru menjadi pegawai negeri (tahun 2006), satu per satu mereka sudah memasuki usia pensiun. 

Dan saat-saat dimana kami bisa bertemu pun menyadarkan bahwa kami sudah tidak lagi semuda sepuluh-lima belas tahun lalu. Semangat memang masih muda, namun fisik kami tidak bisa lagi dibohongi. 

Bagi yang sudah berkeluarga, anak-anak pun kini sudah semakin besar. Dalam bekerja, cara berpikir, atau secara karir pun sudah semakin matang, banyak pertimbangan, dengan jam terbang yang tidak lagi sedikit. Sehingga memang (suka tidak suka) hal-hal terkait masa pensiun tidak lagi boleh dianggap sebagai remeh temeh atau dipikirkan hanya sambil lalu saja.

Faktanya, waktu memang tidak bisa kita tahan (apalagi untuk diulang), dan jika sejak sekarang kita tidak bijak menyikapinya, bukan tidak mungkin penyesalanlah yang kelak akan kita terima.

Dari beberapa diskusi ringan dari para senior, saya menangkap kesan bahwa masa pensiun masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan, meskipun ada sebagian yang terang-terangan mengatakan ingin segera pensiun dini (menurut saya argumen mereka tentang ini tidak begitu kuat dan lebih sering cenderung emosional). 

Persoalan mendasarnya sebagaian besar terkait dengan penghasilan di masa pensiun yang pastinya jauh berkurang dibandingkan ketika masih aktif bekerja, yang mana hal ini berdampak kepada hampir seluruh aspek kehidupan. Tidak sedikit pula di antara mereka (yang saya dengar) belum memiliki rencana secara spesifik mengenai apa yang akan mereka lakukan setelah pensiun.

Setidaknya potret tersebut tergambar dari data-data yang ada. Misalnya sebuah artikel menceritakan hasil survei dari sebuah perusahaan asuransi menunjukkan bahwa hanya 54% orang yang mengaku sudah menyusun rencana spesifik apa yang akan dikerjakan setelah pensiun. 

Survei tersebut juga menunjukkan lebih dari tiga perempat responden masih mengandalkan simpanan dana tunai dan hampir separo mengandalkan warisan serta skema jaminan pensiun pemerintah. 

Tidak hanya itu, responden Indonesia memperkirakan memasuki masa pensiun pada usia 58 tahun dan mulai mengalami gangguan kesehatan pada usia 63 tahun.

***

Pemerintah Republik Indonesia memiliki kebijakan tentang masa kerja pegawai negeri (bervariasi bergantung jabatan) berikut dengan tunjangan/penghasilan yang akan diterima. Hal ini sebetulnya patut disyukuri, dimana seorang pensiunan pegawai negeri tetap mendapatkan perhatian dan fasilitas dari negara. 

Namun di Indonesia, usia pensiun sudah dianggap sebagai usia tidak produktif lagi. Berbeda dengan negara semisal Jepang, dimana pemerintah dan masyarakatnya memberikan porsi tertentu dimana para lansia sekalipun dapat tetap berproduksi bahkan berkarya

Seorang teman di Jepang pernah bercerita bahwa ada banyak lansia yang tetap bekerja sebagai petani, yang mana sektor pertanian sudah kurang diminati orang-orang yang lebih muda. 

Tidak hanya itu, di negara sakura tersebut para pensiunan tetap mendapat perhatian melalui komunitas-komunitas lansia. Di sana mereka tidak hanya mendapatkan relasi sosial yang baik, namun juga menjadikan kesempatan untuk tetap bisa berkontribusi kepada masyarakat. 

Sebuah artikel memberikan informasi menarik bahwa yang menjadi motivasi utama para lansia di Jepang adalah mereka ingin memberi makna bagi masyarakat dengan cara membantu orang lain, bukan gaji atau penghasilan semata.

Mereka merasa terlalu cepat untuk pensiun. Mereka merasa masih kuat dan sehat dan selalu siap untuk belajar sesuatu yang baru, membagian pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda, alih-alih bersantai-santai sebagaimana layaknya orang pensiun. 

"Life begin (again) at 70", begitu kira-kira gambaran tentang hal tersebut sebagaimana saya kutip dari sebuah media elektronik. 

Konon bahkan di Jepang masih banyak ditemukan lansia berusia lebih dari 100 tahun dengan kondisi yang masih sehat dan bahagia. Tetap bekerja meskipun sudah lanjut usia diyakini menjadi faktor positif untuk mempertahankan kesehatan fisik dan mental.

***

Menilik cerita saya di atas barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa salah satu hal utama yang membedakan situasi seseorang setelah pensiun adalah perspektif dan makna pensiun itu sendiri. 

Setidaknya secara garis besar ada 2 (dua) perspektif tentang pensiun. Pertama, pensiun dimaknai sebagai sebuah akhir. Mereka yang berpandangan seperti ini memandang pensiun sebagai saat untuk tidak bekerja lagi, beristirahat, berhenti dari rutinitas, serta meninggalkan semua kesibukan yang telah dilakukan setiap hari selama lebih dari 20 atau 30 tahun sebelumnya.

Dan kedua, mereka yang memandang pensiun (justru) sebagai sebuah awal untuk memulai sesuatu yang baru. Sepertinya cara berpikir ini tidak lagi menggantungkan istilah 'bekerja' sebagai sebuah kewajiban yang bisa jadi mengekang kebebasan atau kegembiraan. 

Bekerja tidak lagi diukur dalam situasi formal dengan aturan-aturan ketat dan sebagainya. Bekerja senyatanya adalah sebuah panggilan untuk berbuat sesuatu, memberi sesuatu, menghasilkan sesuatu, yang mana sesuatu itu adalah segala yang terbaik dari bakat, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya. 

Saya tidak bermaksud untuk tendensius, namun dari apa yang saya amati bahwa mereka yang memiliki cara pandang pertama cenderung menjadikan pekerjaan tersebut sebagai alat untuk memuaskan keinginan dan kebutuhannya dirinya sendiri. 

Jika cara berpikir seperti itu dipertahankan, maka masa pensiunnya kemungkinan akan diisi dengan kesibukan mengenai bagaimana cara mencukupkan kebutuhan dengan sumber daya yang (sayangnya) sudah semakin terbatas. 

Kebutuhan yang dimaksud misalnya (melanjutkan survei perusahaan asuransi yang saya singgung di awal) dimana sebagaian besar responden di Indonesia menyebutkan bahwa uang pensiun akan digunakan untuk kebutuhan rumah, kesehatan, dan pendidikan anak-anak.

Sedikit saya tambahkan, sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga nirlaba pada orang-orang yang memasuki masa persiapan pensiun (MPP) pada perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode survei ARS (Anxiety Rating Scale) tahun 2016 dan 2017. 

Mereka menemukan bahwa data bahwa 63% responden mengalami kondisi cemas sedang hingga panik, sementara 37% mengaku mengalami cemas ringan. Masalah kecemasan diantaranya disebabkan masalah emosi-spritual (51%), masalah psikologis (29%), dan masalah keuangan (21%). 

Selain itu, sebuah riset lain menjelaskan bahwa selain dampak psikologis, kondisi pensiun juga dapat mempengaruhi fisiologis seseorang. Secara fisiologis pensiun bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya kepekaan, atau juga disebut penyakit retirement syndrome. Gejala lainnya yang juga dapat muncul saat seseorang memasuki masa pensiun adalah gejala post power syndrome. 

Kondisi tersebut umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau jabatan tertentu, namun ketika sudah tidak menjabat lagi cenderung memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Hal ini bisa terlihat dari menurunnya tingkat kepercayaan diri, murung dan menutup diri dari pergaulan, merasa kesepian atau tidak diperhatikan, serta mudah tersinggung atau berpikir negatif pada orang lain. 

Saya menyadari dan bisa membayangkan tentunya tidak mudah jika kita berada di posisi seperti itu. Tanpa bermaksud berasumsi terlalu jauh, saya hanya penasaran apakah ada korelasi antara cara berpikir ini dengan angka harapan hidup di Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 dimana pria 69 tahun dan wanita 72 tahun. 

Kalau dibandingkan dengan negara-negara Asean misalnya, sebuah artikel dari media Kompas menyebutkan bahwa posisi Indonesia pada angka harapan hidup berada di posisi ke-6, di bawah Singapura (85,4 tahun), Thailand (80,2 tahun), Malaysia (79,9 tahun), Brunei Darussalam (78,2 tahun), dan Timor Leste (77,4 tahun).

***

Baiklah kita cukupkan membahas persoalan pensiun dari kacamata/perspektif yang pertama. Saya tentunya berharap dapat memasuki dan menjalani masa pensiun dengan cara pandang kedua: yang lebih cerah, lebih optimis, dan lebih berwarna tentunya. Karena itu saya ingin memandang bahwa pensiun bukan sebagai sebuah akhir, alih-alih sebagai sebuah titik awal untuk memasuki sebuah periode baru dalam hidup. 

Seperti layaknya sebuah buku, bagi saya pensiun adalah sebuah bab (yang pastinya bukan bab penutup) dari rangkaian bab-bab lain sebelumnya. 

Untuk bisa melanjutkan menulis cerita pada sebuah bab tentunya sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh kisah pada bab-bab sebelumnya. 

Oleh karena itu sebelum menulis kisah pada bab pensiun, maka kita harus bisa menulis bab dimana kita masih aktif bekerja, masih sehat, dan masih produktif.

Jika kisah pekerjaan yang ditulis adalah sebuah cara memenuhi ambisi dalam hal ekonomi atau posisi semata, maka saya kuatir ceritanya akan berubah manakala kita pensiun nanti. Karena semua itu adalah hal-hal yang sangat terbatas dan sangat sementara. Ia akan hilang serta merta ketika saya sudah tidak menjabat atau memiliki banyak hal lagi. Dan lagi, hal-hal yang tidak melekat itu sepertinya tidak hanya mudah berakhir, ia juga gampang terlupakan.

Saya sendiri tidak bermimpi memiliki masa pensiun yang dibayang-bayangi post power syndrome, sekalipun saya menampik adanya kemungkinan untuk itu tetap ada. Namun menurut saya setidaknya perlu ada upaya yang bisa kita dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa pensiun tiba. Pertama, memandang pekerjaan (lagi-lagi) sebagai sebuah kesempatan untuk berkembang dan bertumbuh. 

Fokus dan reward atas pekerjaan bagi adalah sebuah kesadaran penuh bahwa kita semakin memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman, serta kompetensi. Dengan demikian kita semakin mampu berperan secara aktif dan bisa memberikan perubahan dan kemajuan pada unit atau organisasi di mana kita bekerja saat ini. 

Kedua, dengan memiliki fokus yang seperti di atas, maka kita akan merasa siap jika diminta untuk memimpin sebuah kegiatan, proyek, atau bahkan menduduki jabatan tertentu. Semua itu bukan sebagai tujuan akhir, alih-alih sebagai jembatan untuk dapat semakin belajar, berkembang, dan berkontribusi dengan lebih maksimal. 

Tidak hanya itu, sebuah posisi juga adalah sebagai alat sekaligus kesempatan untuk bisa melayani dan membantu orang-orang lain untuk dapat belajar dan berkembang seperti kita. Proses ini akan terjadi berkelanjutan sampai masa kita pensiun, tidak masalah posisi atau jabatan apa yang kita duduki kelak.

Oleh karena itu pensiun tidak lagi didefisiniskan sebagai hilangnya prestige tertentu ketika masih aktif bekerja, tetapi justru sebagai sebuah keberlanjutan proses belajar, memimpin, dan melayani pada dimensi dan situasi yang berbeda. Senada dengan berbagai teori motivasi yang sering kita baca, sumber kebahagiaan itu adalah manaka sesorang bisa tetap diakui, diterima, bahkan bisa memberi makna di tengah-tengah lingkungan masyarakat dimana dia berada.

Dalam prakteknya, barangkali sejak awal kita telah membiasakan diri untuk hidup bermasyarakat dan bersosialisasi dengan lingkungan, organisasi/lembaga, atau komunitas yang tepat, yang bisa membantu kita menyalurkan perhatian, pengalaman dan pengetahuan, dan dapat saling bertukar pikiran. Hal itu bisa berupa organisasi profesi, keagamaan, sosial, budaya, paguyuban, dan lain sebagainya.

Atau jika ingin sedikit lebih 'progresif', kita dapat menyusun sebuah agenda atau project, bisa sendiri atau bersama beberapa teman untuk dijalankan sebelum atau setelah masa purna tugas. 

Saya pernah mendengar dari beberapa senior bahwa di antara mereka ada yang berniat untuk touring keliling Pulau Jawa dengan sepeda motor, membuka usaha kebun sawit atau bengkel mobil, menjalankan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. 

Ada pula yang ingin beralih profesi menjadi guru/dosen, pengurus lembaga agama, konsultan, dan lain sebagainya. 

Kalau saya sendiri berharap setelah pensiun masih bisa mengajar di sebuah kampus kecil di kampung halaman saya, aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan, sambil bercocok tanam ala kadarnya di pekarangan rumah.

Apapun itu, masa pensiun yang cepat atau lambat pasti akan tiba. Mau seberapa panjang atau singkat pun yang Tuhan berikan pada kita, tentunya di sepanjang kesempatan itulah bisa kita tuliskan menjadi sebuah bab dari rangkaian bab pada buku kehidupan kita. 

Semoga bab itu menjadi bab yang terindah, sebelum kita menerima bab penutup. Dan untuk menerima suatu masa yang sedemikian indah tersebut, sudah sepatutnyalah kita menyambutnya dengan bahagia[!]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun